Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Seorang Wanita Yang Berhadats Kecil Melakukan Thawaf, Apakah Konsekuensinya ?

Pertanyaan

Barang siapa yang telah melaksanakan thawaf ifadhoh dan thawaf qudum pada saat ibadah haji tanpa wudhu, dan sekarang dia ingin kembali melakukan thawaf lagi, maka apa yang harus dia lakukan ?
Apakah dia harus berihram lagi dari miqat dan berniat untuk thawaf ifadhah, atau berihram kemudian menyelesaikan umrahnya dengan bertahallul kemudian setelah itu baru melaksanakan thawaf ifadhah tanpa ihram yang baru ?, atau bagaimana yang seharusnya dilakukan ?
Apakah dia wajib membayar dam (denda) ?, apalagi dia melakukan yang dilarang seperti; memakai wangi-wangian, mencukur rambut. Jika dia harus membayar dam, apakah boleh ditunda sampai dia mempunyai dana yang cukup atau harus ditunaikan setelah thawaf ifadhoh dan sebelum meninggalkan Makkah ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Telah dijelaskan pada jawaban soal nomor: 34695 tentang perbedaan para ulama –rahimahullah- akan syaratnya suci dari hadats pada saat thawaf, diantara para ulama –mereka adalah jumhur ulama- berpendapat bahwa suci dari hadats kecil menjadi syarat sahnya thawaf. Sedangkan pendapat yang kedua bahwa suci dari hadats kecil bukan termasuk syarat sahnya thawaf, maka orang yang berhadats (kecil) tetap dianggap sah thawafnya.

Berdasarkan perbedaan pendapat pada masalah tersebut, bahwa bagi mereka yang bertempat tinggal di Makkah tidak diperbolehkan melakukan thawaf tanpa bersuci terlebih dahulu, sebagai jalan tengah dari perbedaan para ulama –rahimahullah- dan untuk lebih berhati-hati.

Adapun bagi mereka yang setelah menyelesaikan manasiknya kemudian pulang ke negaranya, maka kami berharap tidak apa-apa (thawaf dalam keadaan tidak suci dari hadats) dan manasiknya tetap sah insya Alloh, berdasarkan pendapat kedua yang menyatakan bahwa suci tidak termasuk syarat sahnya thawaf, inilah pendapat yang kuat dan mempunyai analisanya sendiri.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Inilah yang mampu menenangkan jiwa kami, bahwasanya tidak disayaratkan dalam thawaf untuk besuci dari hadats kecil, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa akan lebih utama dan lebih sempurna dan lebih meneladani Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan tidak selayaknya dicela karena menyelisihi pendapat jumhur ulama, akan tetapi terkadang seseorang secara mendesak akan berpendapat dengan pendapat Syeikh Islam, sebagai contoh: Jika ada seseorang yang berhadats ditengah-tengah thawaf sedangkan kondisinya sangat penuh sesak, maka pendapat yang mewajibkannya untuk berwudhu kemudian kembali lagi ke tengah-tengah desakan banyak orang, apalagi jika thawaf sebelumnya sudah hampir selesai, maka akan menghadapi kesulitan yang sangat. Ketika tingkat kesulitannya berat dan tidak nampak nash secara gamblang, maka tidak selayaknya kita mewajibkan semua orang untuk melakukannya, bahkan sebaiknya kita mengikuti yang lebih memudahkan; karena mewajibkan semua orang kepada sebuah kesulitan tanpa adanya dalil yang jelas akan bertentangan dengan firman Alloh –Ta’ala-:

( يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر ) البقرة / 185 " .

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al Baqarah: 185)

(Asy Syarhu Al Mumti’: 7/263)

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam