Alhamdulillah.
..Pertama :
Apabila seorang perempuan telah mengambil maharnya sebelum berhubungan suami-istri maka sudah menjadi haknya jika dia memanfaatkannya, karena sesungguhnya dia telah memilikinya dengan hanya sekedar telah terucap akad nikah.
Ibnu Qudamah al Maqdisi berkata, “ Seorang wanita memiliki maharnya dengan akad nikah, dan hal ini merupakan pendapat para ulama secara umum.” Dari kitab Al Mughni ( 10 /121 ).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (39 / 172), “Pada dasarnya seorang istri memiliki maharnya baik yang dibayar secara tunai maupun yang dibayar kemudian dengan sekedar telah berlangsungnya akad nikah, karena sesungguhnya akad nikah merupakan akad di mana seorang suami mendapatkan pengganti mahar; dan seorang istri memiliki apa yang diberikan secara sempurna sebagaimana jual beli. Akan tetapi kepemilikan ini sewaktu-waktu dihadapkan pada pembatalan baik secara keseluruhan maupun sebagiannya selama tidak ada hal-hal yang mengikat mahar tersebut atau menetapkannya ”.
Kedua :
Wakaf merupakan akad kelaziman yang tidak dibolehkan diminta kembali atau dibatalkan. Terdapat dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (44/119), “Jumhur ulama’ fiqih; Al Malikiyyah, As Syafi’iyyah, Al Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad dari Al Hanafiyyah berpendapat dalam satu Madzhab, bahwa sesungguhnya wakaf itu selama bersumber dari seseorang yang dia memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk mengatur hartanya dan sempurna segala persyaratannya maka menjadi sebuah kelaziman, dan menjadi terputuslah hak-hak orang yang berwakaf dalam mengatur sesuatu yang diwakafkan dengan tindakan campur tangan apapun yang akan mengganggu tujuan wakaf.”
Maka barang-barang yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijual, dihibahkan dan diwariskan ; dan yang demikian itu sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi Wasallam kepada Umar bin Khatthab Radliyallahu Anhu :
تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، وَلاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ
“Bersedakahlah dengan asal – harta yang diwakafkan – nya, tidak di jual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”
Karena sesungguhnya wakaf merupakan tabarru (sumbangan) atau sedekah yang dilarang untuk dijual, dihibahkan dan diwariskan maka menjadi sebuah kepatutan dengan sekedar sighot atau ungkapan yang dilontarkan oleh orang yang mewakafkan sebagaimana ungkapan orang yang memerdekakan budak ”.
Dan bisa dilihat jawaban soal nomer ( 13720 ).
Ketiga :
Apabila seorang suami menceraikan istrinya sebelum bermesraan dan berhubungan badan dengannya, maka dia dapat mengambil kembali separo dari harta yang diberikan kepada istrinya saat akad nikah sebagaimana kesepakatan para ulama’ ; dan karena Firman Allah Ta’ala :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (سورة البقرة: 237)
“Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 237)
Dan apabila sang istri telah membelanjakan atau memanfaatkan mahar yang telah diberikan, baik dengan menjualnya, mewakafkannya, menghibahkannya atau hal-hal lain yang semacamnya yang melenyapkan kepemilikan, maka baginya mengembalikan separo dari harga mahar yang disebutkan pada saat akad nikah; karena mustahil dia mengembalikan persisi seperti harta yang telah diberikan.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Dan apabila seorang istri telah hilang kepemilikannya dari harta mahar baik dengan menjualnya, menghibahkannya atau dipergunakannya untuk memerdekakan budak, maka sang suami tidak berhak membatalkan tindakan yang telah dilakukan oleh istrinya hanya karena dia menceraikannya sebelum menggaulinya, bahkan harta yang telah dibelanjakan tersebut telah hilang kepemilikannya seperti kebinasaan, maka sebagai gantinya mahar yang telah diberikan dikembalikan kepada suami setengahnya dan hal ini disesuaikan dengan mahar yang berlaku dilingkungan dimana istri tersebut tinggal namun jika tidak demikian maka dinilai dengan jumlah uang.” Raudlotut Thalibin (7/ 310).
Disebutkan dalam kitab Kassyaful Qina (5/141), “Dan apabila seorang istri telah membelanjakan maharnya dengan menjualnya, menghibahkannya, memerdekakan budak atau digadaikan; maka karena yang demikian itu sang suami dilarang minta di kembalikan setengahnya. Karena sesungguhnya hal ini merupakan transaksi yang menjadikan berpindahnya kepemilikan atau bahkan menghalangi pemiliknya untuk memanfaatkannya, maka dilarang untuk mengembalikan kepada sang suami.
Maka ditetapkanlah hak suami sebagaimana dilarang mengembalikannya dengan ukuran harga nominal jika tidak ada mahar yang berlaku dilingkungan tersebut, maka dia mengambil setengah dari nilai mahar yang disebutkan saat akad nikah atau setengah dari nilai mahar yang disepakati dimasyarakat ”
Dan berdasarkan apa yang ditanyakan diatas : maka tanah yang telah diwakafkan ditaksir harganya oleh orang yang berpengalaman dalam bidang tersebut, kenudian bagi suami setengah dari nilai harta yang disebutkan saat akad nikah.
Akan tetapi patut bagi sang suami jika kondisi hidupnya berkelebihan dan kondisi istrinya berkekurangan agar memaafkan dan menggugurkan haknya, karena yang demikian merupakan berbuat ihsan kepada istri dan mengangkat kesulitan darinya, dan baginya – suami – pahala dan imbalan dari Allah dengan menggugurkan bagian dari haknya. Allah Ta’ala berfirman :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (سورة البقرة: (237
“Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Baqarah: 237)
Syaikh As Sa’di Rahimahullah mengungkapkan, “Kemudian dia berkeinginan untuk memaafkan, dan sesungguhnya barangsiapa yang memberikan kemaafan maka dia sangat dekat dengan ketakwaannya, karena wujud ihsan dan kebaikannya yang menuntun dia untuk berlapang dada, dan karena keberadaan manusia tidak selayaknya dia menghambat dirinya untuk berbuat ihsan dan yang ma’ruf, dan melupakan keutamaan yang hal itu merupakan tingkatan yang paling tinggi dalam berinteraksi dan pergaulan sesama manusia, karena interaksi sesama manusia terdiri dari dua tingkatan :
·Adakalanya keadilan dan kebijaksanaan yang wajib, yaitu mengambil kewajiban, dan memberikan hal-hal yang wajib.
·Dan adakalanya berbuat keutamaan dan kebajikan atau Ihsan, yaitu : memberikan sesuatu yang bukan merupakan kewajiban dan toleransi dalam hak-hak dan mengekang dari apa-apa yang bergelora dalam jiwa.
Maka tidak sepatutnya bagi para manusia melupakan tingkatan ini meskipun hanya disepenggal waktu-waktu, khususnya bagi siapa saja yang antara anda dan dia ada interaksi, atau berbaur satu sama lain, maka sesungguhnya Allah Ta’ala akan memberikan balasan bagi orang-orang yang melakukan kebajikan dengan keutamaan dan kemulyaan ”.
Dan dengan ini Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah Maha melihat dengan apa yang kalian perbuat.”
Dari kitab “ Taisir Al Kariim Ar Rahman Fie Tafsiri kalami annadimin ” ( 1 / 105 ).