Alhamdulillah.
Yang pertama : Terdapat dalam riwayat dari jalur yang berbeda baik dengan redaksi yang singkat atau redaksi yang panjang; bahwasannya Umar Bin Khathab Radliyallahu Anhu pernah mengasingkan Nashir bin Al Hajjaj ke Bashrah agar tidak menimbulkan fitnah kepada para wanita Madinah baik yang dikemas secara singkat atau secara panjang lebar :
Riwayat Ibnu Syubbah dalam “Tarikhul Madinah” (2/762 ) Dari Qatadah, dan Al Kharaaithi dalam kitab “ I’tilalul Qulub ” ( 2/392 ), Ibnul Jauzi dalam kitab “ Dzammu Al Hawa”( Halaman 123 ) Dari Muhammad bin Al Jahm bin Utsman bin Abi Al Jahm dari bapaknya dari kakeknya dengan redaksi yang amat panjang.
Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab “Hilyatul Auliya” ( 4/322 ), Ibnu ‘Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq” (62/21) dari As Sya’bi dan Ibnu Sa’ad dalam kitab “Ath-Thabaqaat” (3/216) Dari Abdullah bin Buraidah dan Ibnu Asakir dalam kitab “Taarikh Dimasyk” (62/23) dari Muhammad Bin Sirin.
Ringkasannya adalah; Sesungguhnya Umar bin Al Khaththab Radliyallahu Anhu pernah berjalan mengelilingi lorong Madinah dan mendengar seorang wanita bersenandung Sya’ir seraya berdesah :
هل من سبيل إلى خمر فأشربها ** هل من سبيل إلى نصر بن حجاج
“Duhai adakah jalan yang menyampaikanku kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai apakah ada sarana untuk sampai dan mendapatkan Nashr bin Hajjaj ”.
Lalu Umar memanggil dan minta didatangkan pemuda yang bernama Nashr bin Al Hajjaj dan dia adalah seorang pemuda yang teramat tampan, maka Umar pun mencukur rambutnya akan tetapi pemuda ini semakin tampan dan Umar-pun mengasingkannya ke Bashrah agar tidak menimbulkan fitnah di kalangan para wanita Madinah saat itu.
Kemudian di utuslah utusan ke Bashrah yang meminta agar Nasher bin Al Hajjaj kembali ke tanah kelahirannya dan dikatakan padanya bahwasannya tidak ada dosa apapun yang dia lakukan, namun Nasher menolak dan enggan kembali ke Madinah seraya berkata: Selagi masih hidup, saya enggan kembali (ke Madinah).”
Kisah semacam ini diriwayatkan oleh tidak sedikit dari kalangan para ulama’ di antaranya As Sam’aani dalam kitab “Al Ansaab” (3/156 ), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam salah satu judul pada kitab “Majmu’ Alfatawa”, (11/552), (15/313), (28/109), (28/ 371), Dan riwayat Ibnu Al Qayyim dalam kitab “I’laam Al Muwaqqi’in ” (4/284), dan al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “ Al Ishobah ” ( 6/382 ). Dan Ibnu Muflih dalam kitab “ Al Aadab As Syar’iyyah (3/132) demikian juga riwayat dari ulama’-ulama’ yang lain.
Dan Imam Ad Daaruquthni Rahimahullah dalam kitabnya “ Al Mu’talaf wa Al Mukhtalaf ” (4/2205 ) mengatakan : “Disebutkan bahwasannya Nasher bin Al Hajjaj adalah Ibnul Hajjaj bin ‘Alath As Sulamy yang pada zaman kehalifahan Umar bin Al Khaththab termasuk salah seorang pemuda yang sangat tampan, yang karena ketampanannyalah seorang wanita Madinah bersenandung :
هل من سبيل إلى خمر فأشربها ** أم هل سبيل إلى نَصْر بن حَجَّاج
“ Duhai adakah jalan yang menyampaikanku kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai adakah sarana untuk sampai dan mendapatkan Nashr bin Hajjaj ”.
Para ulama yang lain meriwayatkan pula dengan ungkapan yang hampir sama, mereka adalah :Ibnu Abdil Barr dalam kitab “Al Isti’aab” (1/326), Ibnu Makula dalam kitab “Al Ikmaal” ( 1/560 ), dan Ibnu Al Atsier dalam kitab “Usudi Ghoobah” (1/ 456 ).
Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata : “Aku mendapati dalam kitab “Al Mughribin” karangan Abu Al Hasan Al Madaaini dari jalur Al Walid Bin Said dia berkata: Umar Radliyallahu anhu mendengar penduduk Madinah membicarakan Nasher bin Al Hajjaj, mereka berkata: Abu Dzuaib adalah pemuda tertampan di Madinah. Lalu Umar memerintahkan untuk memanggilnya. Tatkala dia telah datang, Umar berkata kepadanya : Sungguh engkaulah yang mengganggu pikiranku, maka pergilah engkau dari Madinah, lalu dia berkata: Jika anda hendak mengeluarkanku dari Madinah maka bawalah aku ke Bashrah Wahai Umar. Dan disebutkanlah kisah Nasher bin Al Hajjaj yang amat masyhur”.
“Fathul Bari” ( 12/159-160 ).
Kisah ini sangatlah terkenal dan banyak diulas di kitab-kitab para Ulama’, yang diriwayatkan dari jalur yang bermacam-macam dan amat banyak, akan tetapi banyak riwayat-riwayat dari jalur-jalur tertentu yang tidak terlepas dari perdebatan akan kesahihannya, dan jalur yang paling sahih adalah jalur riwayat Abdullah bin Buraidah yang diriwayatkan secara Mursal, meski begitu penyebutan dan penyebarannya pada kitab-kitab para imam-imam dan cendekiawan muslim disertai dengan ulasan sejarah dan biografi dan dengan penyebarannya yang meluas dari berbagai jalur riwayat menunjukkan dan sebagai bukti akan keorisinilan kisah tersebut.
Yang Kedua: Kalau kita menilik dari perspektif Fiqih, maka hal tersebut masuk pada masalah mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi. Maka secara umum, menimpakan kerugian atau bahaya atas kemaslahatan pribadi demi kemaslahatan umum itu lebih diutamakan dan sangat dianjurkan.
Badruddin Az Zarkasyi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab : “Al Mantsuur Fiel Qowaid Al Fiqhiyyah” (1/348-349): “Ibnu Abdis Salaam berkata: Para Ulama bersepakat untuk menolak keburukan yang lebih besar dalam perkara dunia, dan Ibnu Ad Daqiq Al Id berkata: Di antara kaidah besar dan mencakup hajat manusia secara umum adalah mencegah dan menghalangi dua kerusakan besar dengan memilih yang lebih ringan di antara keduanya jika memang salah satu dari keduanya pasti akan terjadi. Hendakya menghasilkan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan yang lebih ringan dari keduanya.”
Dia berkata: Hal itu bersifat umum, bukan berarti keumuman yang mutlak sekiranya kalau memang terjadi maka kaidah yang diatas tadi yang diterapkan.
As Syaikh Izzuddin Abdus Salaam berkata: Apabila terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka diambillah yang paling banyak kemaslahatannya atau kebaikannya di antara keduanya dengan mengenyampingkan yang paling rendah”.
Dan As Sarakhsi Rahimahullah berkata dalam kitab “Al Mabsuth”( 9/45 ) : “Jika telah diputuskan untuk mengasingkan seseorang; maka yang demikian itu atas dasar kemaslahatan dan kebaikan bersama bukan atas dasar pemberian dan penegakan sangsi belaka. Sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasllam telah mengasingkan orang yang di sebut-sebut sebagai seorang waria dari Madinah, dan juga Umar Bin Khaththab Radliyallahu Anhu telah mengasingkan Nasher Bin Al Hajjaj dari Madinah ketika dia mendengar seorang wanita yang bersenandung:
هَلْ مِنْ سَبِيلٍ إلَى خَمْرٍ فَأَشْرَبُهَا ** أَوْ هَلْ سَبِيلٌ إلَى نَصْرِ بْنِ حَجَّاجِ
“Duhai adakah jalan yang menyampaikanku kepada khamr lalu aku meneguknya ** Duhai adakah sarana untuk sampai dan mendapatkan Nashr bin Hajjaj”
Maka Umar-pun mengasingkan pemuda tampan tersebut bukan karena ketampanannya semata yang menyebabkan dia diasingkan, akan tetapi keputusan yang demikian itu diambil demi kebaikan dan kemaslahatan bersama”.
Al Aluusi Rahimahullah berkata : “Seorang pemimpin boleh mengambil keputusan berupa pengasingan demi kemaslahatan yang ia pandang lebih baik, sebagaimana Umar bin Al Khaththab Radliyallahu Ta’ala Anhu telah mengambil keputusan yang benar dengan mengasingkan Nasher bin Al Hajjaj ke kota Bashrah karena ketampanannya yang menimbulkan fitnah disebagaian kalangan wanita di Madinah.” Tafsir Al Aluusi ( 9/280 ).
Meski ada yang mengatakan: sesungguhnya para wanita penduduk Bashrah-pun akan terkena fitnah dengan ketampanannya setelah dia diasingkan ke kota Bashrah, maka apa yang harus kita perbuat? Kita telah mengalihkan fitnah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan sama sekali kita tidak mengatasi akar permasalahannya!!
Maka jawaban akan hal demikian adalah :
Yang pertama: Pengasingannya dari negaranya dan kepindahannya dari tanah kelahirannya itu menyerupai hukuman, yang akan melemahkan dorongan fitnah dalam dirinya maupun yang lainnya, dan mengajarkan kepada para manusia bagaimana memerangi hawa nafsu dan mencela segala bentuk kekejian maka jika seseorang yang hidup di zaman Umar Bin Khaththab -yang syetan saja takut kepadanya dan memilih menghindar dengan kehadirannya- mengerti bahwasannya tidaklah pemuda ini diasingkan melainkan karena ditakutkan meluasnya fitnah. Seakan-akan dia (Umar) menyeru kepada penduduk Bashrah: Takutlah dan hindarkanlah oleh kalian fitnah, sungguh aku telah mengasingkan pemuda ini ke negara kalian agar aku tidak terganggu dengan fitnah yang akan timbul dari ketampanannya, maka berhati-hatilah kalian dari fitnah yang akan terjadi.
Yang kedua: Sesungguhnya perasaan orang yang diasingkan itu sama sekali berbeda dengan orang yang tinggal di tanah kelahirannya, karena dia di negeri pengasingan akan disibukkan dengan kondisi kejiwaannya, upaya mencari penghasilan dan pekerjaan hal ini jelas akan mengurangi kemakmuran dan kesejahtraannya sebagaimana yang ia rasakan dan dapatkan di negaranya. Karena di negeri asalnya di mana ia bisa berkumpul dan bersenda gurau dengan keluarga dan handai tolannya, dan tentu saja sedikit banyak hal semacam ini akan mengurangi ketampanannya dan menyibukkan dirinya dari sekedar memberikan perhatian kepada dirinya dan ketampanannya.
Syikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata :
“Pengasingan Nasher bin Al Hajjaj dari Madinah dan dari tanah kelahirannya menuju ke Bashrah oleh Umar bin Al Khaththab, yaitu tatkala Umar mendengar senandung kegelisahan seorang wanita akan ketampanan Nasher bin Hajjaj, dan mula-mula yang dilakukan adalah perintah untuk menggunduli rambutnya agar ketampanannya menjadi pudar karena ketampanannya inilah yang menggoda dan menjadikan fitnah sebagian wanita. Ketika Umar melihat setelah digunduli rambutnya dan hal itu tidak mengurangi ketampanannya karena memang dia adalah pemuda yang paling tampan, maka Umar mengasingkannya ke Kota Bashrah; dan pengasingan ini bukan karena dosa yang telah ia perbuat juga bukan karena kekejian yang layak mendapatkan hukuman, akan tetapi karena menimbulkan fitnah di kalangan para wanita. Lalu diperintahkanlah untuk menghilangkan ketampanannya yang disitulah letak penyebab timbulnya fitnah, dan sesungguhnya pengasingannya dari tanah kelahirannya akan melemahkan cita-cita, angan-angan dan juga badannya, dan dia akan diketahui oleh banyak orang bahwa ia sedang dihukum. Masalahnya adalah adanya kekhawatiran akan timbulnya kekejian sebelum terjadinya peruatan mesum, bukan sekedar pemberian sangsi belaka” dari kitab.” (Majmu Al Fatawa, 15/313 ).
Yang ketiga: Sesungguhnya pengasingannya akan memberikan dan mendatangkan pemahaman kepada masyarakat serta mendidik jiwa-jiwa generasi muda guna memerangi fitnah yang akan timbul. Juga mengajarkan kepada para pemimpin satu masalah penting dalam perpolitikan yang dilandaskan kepada Syari’ah dan bagaimana mengedepankan kemaslahatan umum atas kemaslahatan pribadi dan individu. Juga menjelaskan sesungguhnya fitnah yang paling besar adalah fitnah wanita.
Yang keempat: Diantara indikasi dari Kemuliaan dan keagungan kota Madinah adalah disingkirkannya penyebab yang menimbulkan fitnah terhadap wanita, maka dia dijauhkan ke negara lain sebagi wujud penjagaan bagi kemuliaan dan keagungan Madinah.
Wallahu A’lam bis Showaab…