Alhamdulillah.
Dari Aisyah, dia berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا صلاة بحضرة الطعام ، ولا هو يدافعه الأخبثان (رواه مسلم، رقم 560)
“Tidak (sempurna) shalat seseorang ketika makanan telah disiapkan, juga dalam keadaaan menahan dua hajat." (HR. Muslim, no. 560)
Syekh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya, ''Jika makanan sudah dihidangkan sementara dia sudah menginginkannya, apakah dia boleh medahulukan makan, walau sampai keluar waktu (shalat)."
Maka beliau menjawab, "Ini terjadi perbedaan, sebagian ulama mengatakan, 'Boleh mengakhirkan shalat kalau perhatiannya sudah terpaut dengan makanan yang sudah dihidangkan tersebut, walaupun menyebabkan keluar waktu.' Akan tetapi kebanyakan ulama mengatakan bahwa tersedianya hidangan makanan, bukan merupakan uzur seseorang mengakhirkan shalat hingga waktunya berakhir. Akan tetapi uzur hidangan makanan adalah terkait dengan shalat berjamaah. Maksudnya bahwa seseorang itu ada uzur untuk meninggalkan shalat berjamaah ketika makanan telah dihidangkan sedangkan hatinya sudah terpaut dengannya, maka hendaknya dia makan terlebih dahulu kemudian pergi ke masjid, kalau dia mendapatkan shalat berjamaah, itu bagus, tapi kalau tidak mendapatkannya, tidak mengapa.
Akan tetapi hal itu jangan dijadikan kebiasaan, maksudnya makanan selalu disuguhkan saat masuk waktu shalat, sebab hal itu berarti dia memang berencana meninggalkan shalat berjamaah. Ketentuan ini berlaku jika kasusnya terjadi kebetulan saja, maka ketika itu ada uzur untuk meninggalkan shalat berjamaah dan dia dibolehkan makan sampai kenyang. Karena kalau dia hanya makan satu atau dua suap saja, bisa jadi hatinya akan semakin terikat dengannya.
Berbeda dengan seseorang yang dalam kondisi terpaksa untuk memakan makanan haram yang dia dapatkan, seperti bangkai, apakah kita dapat katakan kepadanya, kalau anda tidak mendapatkan kecuali bangkai dan hal itu dapat menyelamatkan dari kebinasaan, maka makanlah bangkai sampai kenyang? Atau kita katakan ‘Makanlah sesuai dengan kadar darurat? Yang benar adalah kita katakan kepadanya ‘Makanlah sesuai kebutuhan darurat, kalau cukup dengan dua suapan, maka jangan makan suapan ketiga.'
Apakah soal makan malam dapat diqiyaskan dengan sesuatu yang mengganggu, seseorang seperti buang air kecil dan besar serta buang angin (kentut)?
Jawabannya adalah ya, dapat diqiyaskan dengannya. Bahkan terdapat dalam Shahih Muslim, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا صلاة بحضرة طعام ولا هو يدافعه الأخبثان
“Tidak (sempurna) shalat ketika makanan telah dihidangkan dan juga ketika seseorang menahan dua buang hajat." Maksudnya buang air kecil dan besar. Termasuk juga di dalamnya buang angin.
Kaidahnya adalah bahwa semua yang dapat mengganggu kekhusyuan seseorang dalam shalat, misalnya dirinya tertarik kepadanya jika itu perkara yang diinginkan, atau takut kepadanya kalau hal itu perkara yang dibenci, maka hendaknya perkara itu sudah diatasi sebelum mulai shalat.
Dapat kita simpulkan di sini suatu faedah; yaitu bahwa inti dan ruh shalat adalah kehadiran hati, oleh karena itu Nabi sallallahualaihi wa sallam memerintahkan untuk menghilangkan semua yang menghalangi hal itu sebelum seseorang memulai shalatnya." (Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, jilid 13, pertanyaan no. 588)
Beliau rahimahullah juga ditanya, "Kalau seseorang menahan kencing dan khawatir kalau buang hajatnya dahulu, dia akan tertinggal shalat berjamaah, apakah dia boleh menunaikan shalat dalam keadaan menahan buang hajat demi untuk mendapatkan shalat berjamaah, atau dia buang hajat dahulu, meskipun ketinggalan shalat berjamaah?"
Maka beliau menjawab, "Hendaknya dia buang hajat dahulu lalu berwudhu, meskipun ketinggalan shalat berjamaah, karena hal ini termasuk uzur, karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا صـلاة بحضرة طعام ، ولا هـو يدافعه الأخبثان
“Tidak (sempurna) shalat seseorang ketika makanan telah dihidangkan dan tidak juga dalam kondisi menahan dua buang hajat."
(Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, jilid 13, pertanyaan no. 589).
Wallahu a’lam