Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Jenis dan contoh bercanda yang dibolehkan dan hukum candaan yang bersifat imajinatif

Pertanyaan

Saya membaca di fatwa-fatwa anda yang menyatakan bahwa hukum bercanda adalah diperbolehkan jika mengandung unsur kebenaran,  apakah anda bisa menjelaskan perkara tersebut disertai dengan contoh-contoh ? dan apakah boleh bercanda dengan menggunakan kata-kata yang menyindir, seperti isyarat seseorang melalui nada suaranya bahwa yang ia maksud adalah sesuatu yang lain dari ucapannya ? dan apakah diperbolehkan bercanda dengan hal-hal yang bersifat imajinatif ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama : sebagaimana telah diketahui secara luas di kalangan umat Islam: bahwa berbohong adalah haram dalam segala bentuknya, bahkan perihal buruknya perilaku bohong dan dilarangnya berbohong adalah sesuatu yang menjadi kesepakatan semua agama, dan  merupakan fitrah akal sehat manusia, apapun aliran agama yang dianutnya.

Dan wajib bagi seorang muslim untuk berkata jujur dalam ucapannya didalam situasi apapun. Allah ta’ala berfirman:

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

التوبة / 119 .

(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar !), At-Taubah /119.

Dari Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‏إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا   رواه البخاري ( 6094 ) ، ومسلم (2607)

"Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat disisi Allah sebagai seorang pendusta." Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6094), dan Muslim (2607).

Dan dari Abdillah bin ‘Amr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا ؛ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ  رواه البخاري ( 34 ) ، ومسلم (58)

"Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang". Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (34), dan Muslim (58).

Kedua : larangan bercanda yang mengandung unsur kebohongan ditetapkan dalam Sunnah.

Dari Bahz bin Hakim berkata: telah menceritakan kepada kami [bapakku] dari [kakekku] dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ ، وَيْلٌ لَهُ ، وَيْلٌ لَهُ رواه أبو داود (4990 ) ، وحسَّنه الألباني في " صحيح أبي داود " ( 4990)

"Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya." Diriwayatkan oleh Abu Daud (4990), dan dimasukkan dalam golongan Hadis Hasan oleh Al-Al-bani dalam “Sahih Abi Daud” (4990)

Ada juga larangan untuk meninggalkan unsur kebohongan dalam bercanda:

Dari Abi Umamah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا ، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا ، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ . رواه أبو داود ( 4800 ) ، وحسنه الألباني في " سلسلة الأحاديث الصحيحة " برقم (273

"Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan kedustaan meskipun bershifat gurau, Dan aku juga menjamin rumah di syurga yang paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik." Diriwayatkan oleh Abu Daud (4800), dan digolongkan  Hasan oleh Al-Albani dalam “silsilah al-Ahadis as-Sahihah” (273).

Dan dari Abdillah bin Mas’ud berkata:

لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ رواه البخاري في " الأدب المفرد " (387

dan sebagian dusta itu tidak pantas dijadikan sesuatu yang serius dan canda. Seorang laki-laki tidak boleh berjanji kepada anaknya kemudian ia tidak menunaikan janjinya itu. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam “ al-adab al-mufrad” (387).

Ketiga: bercanda dilihat dari kejujuran dan kebohongan memiliki beberapa bentuk:

Bentuk Yang pertama : bercanda yang jujur dan tidak ada unsur bohong di dalamnya.

Bercanda seperti ini hukum asalnya adalah diperbolehkan, asalkan dilakukan sesekali dan tidak berlebihan sehingga menimbulkan masalah yang serius.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

Para Ulama berpendapat: bercanda yang dilarang adalah bercanda yang berlebihan dan dilakukan terus menerus, yang dapat menyebabkan tawa dan kerasnya hati, dan menyebabkan lalai mengingat Allah ta’ala dan tidak focus dalam menjalankan kewajiban agama, dan dalam banyak kasus menyebabkan permusuhan, menimbulkan kedengkian, dan mejatuhkan wibawa  dan kehormatan.

Adapun bercanda yang jauh dari hal-hal yang disebutkan maka diperbolehkan  seperti yang pernah  dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam terkadang sesekali bercanda dalam beberapa kesempatan dan untuk suatu kemaslahatan, untuk menghibur dan menenangkan hati orang yang diajak bicara, yang seperti ini sama sekali tidak ada larangan, bahkan termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan (sunnah mustahbbah), jika seperti yang digambarkan dalam kategori ini. Akhir kutipan dari “al-Adzkar” hlm. (377).

Bentuk yang kedua: bercanda yang mengandung kebohongan.

Bercanda seperti ini adalah bercanda yang dilarang  sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam Hadis Bahz bin Hakim

Ditanyakan kepada Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: mengenai seseorang yang berbicara didepan banyak orang dengan perkataan dan cerita-cerita yang dibuat-buat, semuanya adalah kebohongan, apakah yang demikian diperbolehkan ?

Beliau menjawab: adapun mengenai seseorang yang berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat agar orang lain tertawa; atau untuk tujuan lainnya: maka sesungguhnya yang demikian adalah termasuk permbuatan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bahz bin Hakim, telah menceritakan kepada kami [bapakku] dari [kakekku] dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya."

Dan dari Abdillah bin Mas’ud berkata: dan sebagian dusta itu tidak pantas dijadikan sesuatu yang serius dan canda. Seorang laki-laki tidak boleh berjanji kepada anaknya kemudian ia tidak menunaikan janjinya itu.

Dan apabila dalam hal tersebut menimbulkan permusuhan kepada orang Islam dan membehayakan agama, maka yang demikian itu hukumnya lebih dilarang, dan bagaimanapun kasusnya, barang siapa yang melakukannya layak mendapatkan hukum syar’i yang membuatnya jera untuk tidak lagi melakukannya. Wallahu a’lam,

Akhir kutipan dari “Majmu al-Fatawa” (32/ 255-256).

Dan didalam “fatawa al-lajnah ad-daimah” (26/ 52) penomoran as-syamilah

Soal: apakah (misalnya) kita sedang berbohong tetapi berbohong yang bercanda, haram atau tidak ?

Jawaban : ya, hal itu  haram, bahkan termasuk dalam golongan dosa besar, maskipun dilakukan sambil bercanda.  

Semoga Allah memberikan taufiknya, shalawat serta salam kepada junjungan Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya. (Panitia Tetap Bidang Penelitian Akademik dan Ifta. `Abdullah ibn Qa`ud, `Abdullah ibn Ghadyan, `Abdul Al-`Aziz `Afifi, ` Abdul Al-`Aziz ibn Baz”).

Bentuk yang ketiga: bercanda dengan menceritakan kisah yang belum bisa dipastikan kebenarannya, yang demikian itu bisa saja terjadi. Dalam kitab-kitab sebagian ulama kita menemukan beberapa cerita lucu mengenai orang-orang yang hidup pada masa abad dahulu kala, meskipun cerita tersebut sulit untuk diverifikasi kebenarannya. tapi tidak ada niat kesengajaan untuk berbohong atau mengutarakan kebohongan, meskipun penutur tidak berusaha memverifikasi cerita tersebut dan memastikan bahwa apa yang disampaikannya adalah benar.

Syekh Abdul Muhsin az-Zamil berkata:

Untuk cerita-cerita yang menarik dan lucu ada tiga jenis:

  1. Cerita yang kita tahu kebenarannya, maka yang seperti ini tidak ada masalah, dengan syarat kisah yang diceritakan tidak mengandung sesuatu yang diharamkan, atau mengandung unsur ejekan, atau mengandung unsur pembodohan, harus dipastikan tidak ada unsur-unsur tersebut. jika yang diceritakan adalah kisah yang diperbolehkan maka tentu tidak ada keberatan terhadapnya, karena merupakan kisah dari peristiwa yang benar-benar terjadi, atau diduga kuat terjadi, maka tidak ada masalah.
  2. Telah diketahui bahwa itu adalah cerita bohong dan tidak pernah terjadi, yang seperti ini tidak boleh disampaikan kisahnya.
  3. Belum diketahui dan dimengerti apakan peristiwanya terjadi atau tidak, tidak ada masalah dalam menceritkan kisah seperti ini.

Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Riwayatlah dari Bani Israil tanpa ada keberatan.” Diantara kisah-kisah yang diriwayatkan tentang mereka adalah kisah-kisah menakjubkan dan aneh yang mungkin pernah terjadi, maka beliau menyuruh kaum muslimin untuk menceritakannya, dan menyatakan bahwa dalam beberapa kisah yang diriwayatkan dari mereka terdapat hal-hal yang lebih menakjubkan lagi.

Abu Daud telah meriwayatkan dengan sanad baik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kisah tentang bani Israil setelah shalat Isya’,  dan beliau tidak akan terganggu untuk hal apa pun kecuali shalat wajib.

Hal ini menggambarkan bahwa kemungkinan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkisah kepada mereka setelah shalat Isya’ sampai larut malam (waktu yang lama).

 “Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak  ada salahnya menceritakan kisah-kisah yang belum diketahui pasti apakah itu terjadi atau tidak, jika tidak diketahui kebohongannya, sebagaimana di nyatakan oleh Ibnu Katsir dan sejumlah ulama lainnya.” Akhir kutipan.

Bentuk yang keempat: cerita-cerita imajinatif yang menarik, yang pendengarnya sadar bahwa itu adalah cerita fiktif (imajinatif) dan tidak pernah terjadi.

Kisah-kisah menarik yang menghibur jika disusun atau dikisahkan untuk tujuan kemaslahatan tertentu, missal sebagai sarana untuk tujuan pendidikan dan pengajaran dan semisalnya,  sebagian besar ahli ilmu menyatakan bahwa hal itu diperbolehkan.

Syeikh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan:

Kisah-kisah dongeng ini serupa dengan kisah-kisah yang ditulis oleh para ulama terdahulu, yaitu kisah-kisah yang ditulis dengan gabungan antara prosa dan syair (maqamat) yang dibacakan di sekolah-sekolah agama dan umum..”  seperti maqamat al-badie’ dan maqamat al-hariri… dimana beliau (Hariri) mengatakan: “bahwa ia belum pernah mendengar dari para ulama pada masanya yang melarang cerita-cerita tentang binatang (fabel), seperti kisah “kalilah dan dimnah” dan lainnya, hal itu karena maksud dibaliknya adalah nasehat-nasehat yang bermanfaat, dan detil ceritanya bukanlah tujuan utama. Kami juga belum pernah mendengar ada ulama setelah beliau yang melarang membaca Maqamatnya.” ( Fatawa Al-Imam Muhammad Rasyid Rida,   (3/1091-1092).

Syekh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata:

 “Jika seseorang hendak memberikan perumpamaan ketika sedang bercerita, semisal dia berkata: Saya akan menceritakan kepadamu perumpamaan seseorang yang mengatakan hal ini dan itu, atau melakukan hal ini dan itu, dan hal ini terjadi, dan hasilnya begini dan begitu, tidak ada salahnya, sampai-sampai salah seorang ulama berkata mengenai firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلًا رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا

الكهف / 32

(Berikanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, yaitu dua orang laki-laki. Kami berikan kepada salah satunya (yang kufur) dua kebun anggur. Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan Kami buatkan ladang di antara kedua (kebun) itu.), Al-Kahfi /32.

Beliau mengatakan: Hal ini tidak benar-benar terjadi, dan dalam Al-Qur'an disebutkan:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَّجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِّرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

الزمر / 29

(Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang laki-laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat, (tetapi) dalam perselisihan dan seorang (hamba sahaya) yang menjadi milik penuh seorang (saja). Apakah keduanya sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(-nya)), Az-Zumar /29.

Maka jika seseorang menceritakan suatu kisah dan tidak mengaitkannya dengan orang tertentu, tetapi seolah-olah telah terjadi sesuatu, dan akibatnya adalah ini dan itu, yang demikian itu tidak mengapa.

Namun jika dikaitkan dengan seseorang dan didalamnya mengangdung kebohongan: maka yang seperti ini adalah haram dan bohong, demikian juga juga maksud dan tujuannya adalah agar orang-orang tertawa, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: ("Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya."), akhir kutipan dari “Liqoul bab al-maftuh”, 23/77 dengan penomoran as-syamilah.

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya:

Kisah-kisah dongeng dengan unsur kobohongan didalamnya untuk membuat orang tertawa sudah banyak beredar diantara kita, dan ketika ada upaya mengingatkannya mereka mengatakan: “Boleh menceritakan kisah-kisah menarik jika itu bisa terjadi, bahkan jika Anda tidak tahu apakah hal itu benar-benar terjadi”. Apakah itu bisa dianggap benar?

Beliau menjawab:

Kisah-kisah menarik disini adalah tentang cerita-cerita (terdengar) aneh, dan biasanya menceritakan tentang hal-hal yang memang terjadi, dan terkadang tentang hal-hal imajinatif tapi dengan maksud membuat perumpamaan sebagaimana dalam maqamat al-hariri, demikian juga halnya pengarang kisah-kisah lainya.

Yang dilarang adalah cerita-cerita yang mengandung unsur kebohongan dengan tujuan hanya untuk membuat orang tertawa, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ("Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya.")

Dan jika orang-orang pada masa kini memandangnya sebagai cerita fiktif / imajinatif yang belum terjadi, akan tetapi bisa saja hal itu terjadi, maka cerita itu bisa menjadi peringatan terhadap apa yang akan terjadi, atau supaya bisa menjadi bentuk kesiapan jika hal-hal yang diceritakan akan terjadi, yang seperti ini diperbolehkan. Wallahu a’lam.

Bagi yang memahami fatwa dari dua syeikh Ibnu ‘Utsaimin dan Ibnu Jibrin rahimahumallahu ta’ala, bahwa hukum diperbolehkanya cerita fiktif / imajinatif  terikat (muqayyad) pada manfaat dan hikmah dari cerita tersebut, dan bukan dikaitkan dengan orang tertentu, dan jika dikaitkan dengan seseorang tertentu atau dikarang dengan tujuan hanya untuk membuat orang tertawa maka hal ini tidak diperbolehkan.

Dan termasuk yang sependapat dengan pandangan ini adalah : Ibnu Hajr al-haitami as-syafi’I rahimahullah ta’ala, beliau mengatakan:

“Sebuah hadits shahih mengatakan: “Riwayatlah dari Bani Israil tanpa keberatan” dan riwayat yang berbunyi “Keajaiban terjadi di antara mereka” menunjukkan bahwa diperbolehkan mendengarkan cerita-cerita menakjubkan tersebut untuk hiburan dan bukan untuk tujuan lain.”

Dari sini dapat dipahami bahwa diperbolehkan mendengarkan cerita-cerita yang aneh dan mengagetkan, atau cerita-cerita yang tidak dapat kita pastikan kebohongannya, untuk tujuan hiburan, dan meskipun sudah pasti itu bohong. akan tetapi tujuannya adalah memberi teladan, menasihati dan mendidik, seperti memberi semangat agar berani melalui kisah-kisah dalam perkataan khayal manusia atau hewan.” ( Tuhfat Al-Muhtaj bi Sharh Al-Minhaj,   9/398)

Bentuk yang kelima: seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, “dan apakah boleh bercanda dengan menggunakan kata-kata yang menyindir, seperti isyarat seseorang melalui nada suaranya bahwa yang ia maksud adalah sesuatu yang lain dari ucapannya ?”, dan yang dapat kita fahami dari bentuk ini, seperti ketika seseorang bertanya kepada yang lain “apakah kamu memiliki ini ?”, dan dia menjawab “tidak”, tetapi dengan nada suara bercanda yang dapat dilihat bahwa yang dimaksud adalah “ya”.

Bentuk  candaan semacam ini jika dilihat dari kalimat yang digunakan maka masuk dalam kategori bohong, karena kata “tidak” adalah lawan kata dari “ya”.

akan tetapi jika dilihat dari apa yang difahami pendengarnya, bisa jadi tidak termasuk dalam kategori bohong, karena pemahaman yang ditangkap oleh pendengar adalah makna yang jujur, dan karena ungkapan dalam bahasa bisa difahami makna lain sesuai dengan kondisi dan cara bagaimana ia diungkapkan, sebagai contoh, “apa ini ?”, ini adalah ungkapan pertanyaan, namun demikian terkadang seseorang mengungkapkannya dengan nada suara tertentu sehingga bisa dimaknai sebagai ungkapan takjub, atau ungkapan penolakan terhadap sesuatu, dan lain sebagainya.

Yang seperti ini serupa dengan yang diriwayatkan dari Asy-Sya`bi rahimahullah, bahwa seorang laki-laki yang bodoh bertemu dengan Asy-Sya`bi dan seorang wanita yang sedang berjalan bersamanya, lalu dia berkata: Siapa di antara kamu  Asy-Sya`bi? Dia berkata: Dia. Para ulama menyebutkan kisah ini; hal itu disebutkan oleh Adh-Dhahabi rahimahullah dalam  Siyar A`lam an-Nubala'  (4/311), dan tidak ada tanggapan mengenai hal itu.

Bentuk candaan semacam ini hukumnya termasuk tidak jelas (syubhat), dan kami juga belum mendapatkan satu nash (dalil yang jelas) dari para ahli ilmu, dan pandangan atau pendapat yang paling dekat adalah adanya kelonggaran (rukhsah) dan pembolehan, terutama bila ada indikasi lain yang menguatkan dan menegaskan maksudnya, meski yang lebih utama adalah meninggalkannya untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang meragukan (syubhat), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 

‏الْحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِيِنِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ ...

("Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat,…”) diriwayatkan oleh Al-Bukhari (52).

Wallahuu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam