Alhamdulillah.
Pertama.
Disebutkan ancaman yang keras bagi orang yang menyenangkan hati manusia dengan melakukan sesuatu yang dimurkai Allah Ta’ala.
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ ، رَضِيَ الله عَنْهُ ، وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ ، سَخَطَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَأَسْخَطَ عليه الناس رواه ابن حبان "الإحسان في تقريب صحيح ابن حبان" (1 /510) ، والترمذي (2414) بلفظ : مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ .
Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dai berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan melakukan sesuatu yang dimurkai oleh manusia, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan melakukan sesuatu yang membuat Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, 1/510 dan At-Tirmidzi, no. 2414, meriwayatkan dengan redaksi, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan melakukan sesuatu yang membuat manusia murka, Allah akan mencukupkan dia dari ketergantungan kepada manusia dan barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mendatangkan kemurkaan dari Allah, maka Allah akan menjadikannya bergantung kepada manusia.”).
Para ulama berbeda pendapat tentang disandarkannya hadits ini kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menyandarkannya kepada Aisyah.
Imam Al-Bukhari menilai shahih hadits ini seperti disebutkan dalam Al-‘Ilal Al-Kabir karya At-Tirmidzi, no. 332. Sedangkan Abu Zar’ah dan Abu Hatim seperti disebutkan dalam Al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim, 5/59 dan yang lainnya menilainya Mauquf. Ad-Daruquthni Rahimahullah mengatakan, “Statusnya yang Marfu’ tidak tetap.” (Al-‘Ilal, 14/182). Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah, karya Al-Albani, 5/392).
Kedua.
Maksiat yang dilakukan oleh hamba demi membuat manusia ridha padanya ada dua macam:
Pertama, maksiat itu membuat kafir, seperti melakukan beberapa perbuatan atau ucapan yang pelakukanya dinilai kafir apabila terpenuhi syarat-syarat yang boleh dikafirkan dan penghalang-penghalangnya pun tidak ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Takfir memiliki syarat-syarat dan penghalang-penghalang dalam mengkafirkan individu tertentu (Mu’ayyan), dan bahwa Takfir secara umum (Muthlaq) tidak mengharuskan Takfir terhadap individu tertentu (Mu’ayyan), kecuali apabila terpenuhi syarat-syarat dan terangkat penghalang-penghalang. Imam Ahmad dan mayoritas imam yang sering mengatakan bahwasanya secara umum siapa saja yang mengatakan atau melakukan ini, maka ia telah kafir, namun mereka tidak mengkafirkan kebanyakan orang yang mengatakan ucapan tersebut.” Majmu’ul Fatawa, 12/487/488).
Syarat terpenting dalam masalah ini adalah pelaku perbuatan yang menyebabkan kafir ini harus mengetahui keharamannya dan sengaja melakukannya, memiliki pilihan dan tidak terpaksa.
Penghalang terpenting yang menghalangi Takfir terhadap dirinya adalah ia tidak tahu hukum perbuatannya, mentakwilkan, keliru, atau terpaksa. Lihat fatwa no. 85102 untuk mengenal batasan-batasan Takfir.
Kedua, maksiatnya adalah dosa dan bukanlah termasuk perbuatan-perbuatan kafir seperti yang Anda sebutkan seperti tidak menundukkan pandangan, berdusta, minum khamr, mendengarkan lagu dan maksiat-maksiat lainnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk maksiat. Maksiat, apabila pelakunya seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan membenarkan keduanya serta tidak membolehkan maksiat itu, maka ia memiliki hukum yang sama dengan maksiat lainnya, baik maksiat yang besar maupun yang kecil, akan tetapi dia tidak kafir hanya dengan berbuat maksiat seperti ini, meskipun seandainya maksiat itu termasuk dosa besar, sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Ahlus Sunah wal Jama’ah, meskipun jika seandainya ia melakukan maksiat karena hawa nafsu, untuk memerhatikan hak manusia lain, atau melakukannya karena mencari kedudukan di sisi manusia, dan maksud dan hawa nafsu semisalnya.
Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, “Ahlus Sunah wal Jama’ah -yaitu ahli fikih dan hadits- sepakat bahwasanya dosa seseorang meskipun besar, tidak mengeluarkannya dari Islam.” (At-Tamhid, 17/22).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Para imam kaum Muslimin, para imam madzhab yang empat dan lain sebagainya beserta para sahabat dan tabiin sepakat bahwasanya seorang Mukmin tidaklah kafir hanya dengan melakukan dosa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 6/479).
Beliau juga mengatakan, “Jika kami mengatakan bahwasanya Ahlus Sunah sepakat bahwa ia tidak kafir karena melakukan dosa, maka yang kami maksud maksiat-maksiat itu seperti zina dan meminum khamr.” (Majmu’ Al-Fatawa, 7/302).
Wallahu A’lam.