Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Bagaimana Islam Menyuruh Untuk Berbuat Baik Kepada Orang Kafir Namun Melarang Untuk Menyapanya Dengan Salam ?

219514

Tanggal Tayang : 18-12-2016

Penampilan-penampilan : 30652

Pertanyaan

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk memulai menyapa orang-orang kafir dengan salam. Anda juga mengetahui bahwa ada banyak perusahaan-perusahaan di negara-negara Islam yang di dalamnya terdapat orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi direkturnya. Maka bagaimana cara kita berinteraksi dengan mereka. Dan bagaimana juga caranya menggabungkan hadits di atas dengan penyebaran agama Islam melalui para pedagang, kebaikan akhlak mereka dan muamalah mereka. Kami mohon penjelasan anda bagaimana cara berinteraksi dengan mereka, kapan interaksi kita dengan mereka terjalin dengan baik dan kapan kita tidak berinteraksi dengan mereka. Apakah interaksi kita dengan mereka bergantung dengan cara interaksi mereka kepada kita ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Termasuk bentuk keindahan agama kita yang mulia, ia telah memberikan kebaikan bagi alam semesta, menurunkan rahmat kepada seluruh makhluk. Ia mengajak agar kita menjadi duta kesejahteraan dan keadilan untuk semua kemanusiaan; kecuali mereka yang telah menodai tangan-tangan mereka dengan darah umat Islam dan menindas orang-orang lemah.

Allah –Ta’ala- berfirman:

( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8 .

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Dari penjelasan di atas, maka memungkinkan bagi seorang pegawai muslim berinteraksi dengan direkturnya atau temannya yang non muslim dengan baik kepada kepada mereka.

Pertama:

Menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, sehingga kesan buruk yang difahami banyak orang bahwa non muslim itu selalu unggul dalam pekerjaan menjadi pupus, juga agar umat Islam tidak identik dengan pekerjaan yang setengah-setengah dan meremehkannya. Hal ini sebagaimana yang tertera di dalam Al Qur’an dan Sunnah perintah untuk menjaga amanah, meskipun orang yang mempercayakannya berbeda agama, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ) رواه أبو داود (3534) ، وصححه الألباني في " سنن صحيح أبي داود " .

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”. (HR. Abu Daud: 3534 dan dishahihkan oleh Albani dalam Sunan Shahih Abu Daud)

Termasuk perbuatan baik kepada mereka: “Menyapa mereka dengan semua ucapan yang mengandung kebaikan, seperti ucapan selamat pagi, selamat sore, menanyakan kabarnya, keluarga dan anak-anaknya, mendoakan agar mendapatkan petunjuk, kebahagiaan dan kebaikan, memuji sifat baik orang kafir tersebut, dan lain sebagainya yang serupa dengan hal itu dari semua sikap kesantunan.

Jangan pernah anda mengira bahwa larangan untuk memulai ucapan salam kepada mereka adalah haram juga mengucapkan selamat dengan bentuk lainnya; kata Salam adalah salah satu dari Nama Allah –Ta’ala- yang memiliki karakteristik khusus dalam agama yang menuntut hanya untuk memulai ucapan di antara kaum muslimin saja. Sedangkan kata selain Salam dari semua bentuk ucapan selamat, seperti: marhaban (selamat datang), semoga pagimu menyenangkan, ahlan wa sahlan (selamat datang) maka tidak bisa dianalogikan dengan kata: “Assalamu’alaikum”.

Disebutkan dalam Al Majmu’ karya Imam Nawawi (4/487):

“Agar mengatakan: “Hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ‘An’amallahu shabahaka (semoga Allah menjadikan pagimu penuh dengan nikmat), ucapan ini tidak apa-apa jika memang dibutuhkan ucapan selamat kepada mereka untuk mencegah keburukannya dan atau semacamnya, maka hendaknya mengatakan: Semoga pagimu menjadi baik, menyenangkan, sehat dan lain sebagainya”.

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, edisi pertama (3/434):

“Tidak boleh memulai untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, sebagaimana hadits yang hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( لا تبدأوا اليهود والنصارى بالسلام ، فإذا لقيتم أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه ) رواه مسلم .

“Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani !, maka jika kalian berpapasan dengan salah satu dari mereka di jalan, maka himpitlah ke tempat yang lebih sempit”. (HR. Muslim)

Dan di dalam hadits Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 ( إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا وعليكم ) رواه البخاري ومسلم

 “Jika ahli kitab memberikan salam kepada kalian, maka katakanlah: “Wa ‘alaikum” (Semoga kalian celaka)”. (HR. Bukhori dan Muslim)

Maka menjawab salam mereka sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh hadits, yaitu: “Wa ‘Alaikum” (Semoga kalian celaka).

Namun tidak apa-apa untuk memulai ucapan: Bagaimana kabarmu ?, selamat pagi, selamat sore, dan lain sebagainya jika hal itu memang dibutuhkan. Beberapa ulama telah menyatakan hal itu dengan jelas, di antaranya adalah Abu Abbas Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Sebagian ulama berkata: “Jika kamu berkata: “Selamat pagi, selamat datang wahai fulan, maka yang demikian itu bukan termasuk salam; karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( لا تبدءوهم بالسلام )

“Janganlah kalian memulai salam kepada mereka”.

Salam itu adalah do’a, berbeda dengan marhaban (selamat datang), Ahlan bi fulan (selamat datang), itu adalah bentuk ucapan bukan salam”. (Liqa Al Bab Al Maftuh)

Dengan ini berarti anda terlah mengerti bahwa tidak bertentangan antara larangan memulai mengucapkan salam kepada mereka dengan akhlak kaum muslimin yang telah menyebarkan Islam di muka bumi.

Termasuk di antara bentuk kebaikan dalam berinteraksi adalah bergabung dengan kebahagiaan dan kesedihan dalam masalah duniawi, adapun kebahagiaan keagamaan mereka yang tertuang pada hari-hari raya mereka, maka jauhilah. Adapun jika dalam yang lainnya maka tidak apa-apa ikut serta, mengunjungi mereka, menjalin hubungan untuk mengucapkan selamat atau belasungkawa, seperti; ketika meraih kesuksesan, baru kembali dari perjalanan, baru sembuh, atau karena meninggalnya kerabat atau teman dekatnya. Kerena jalinan hubungan semacam ini pasti akan mempunyai dampak yang akan terkesan di dalam hati, dengan perangai seperti itu akan tercipta sisi kemanusiaan yang positif pada agama kita yang mulia dan akan bermanfaat baginya untuk mengajaknya ke dalam Islam.

Imam Bukhori (1356) telah meriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- bahwa ada seorang anak Yahudi yang telah membantu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu dia jatuh sakit, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- datang menjenguknya seraya duduk di dekat kepalanya dan bersabda:

( أَسلِم ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِندَ رَأسِهِ ، فَقَالَ لَه : أَطِع أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ . فَأَسلَمَ ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ يَقُولُ : ( الحَمدُ لِلَّهِ الذِي أَنقَذَهُ مِنَ النَّارِ (

“Masuklah ke agama Islam”. Maka dia pun melihat kepada bapaknya yang juga berada di dekat kepalanya, seraya dia berkata: “Taatlah kamu kepada Abu Qasim –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka ia pun masuk Islam. Setelah itu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka”.

Di antara bentuk perbuatan baik kepada mereka adalah menjauhi akhlak tercela yang banyak dilakukan oleh para pegawai dalam satu perusahaan, dan berusaha keras untuk menjadi contoh sebagai perwakilan dari akhlak seorang muslim yang ingin mengajak orang lain agar mengikutinya dan menuntunnya dan justru menjadi fitnah bagi mereka, hingga mereka mengatakan: “Ini dia agama Islam dan mereka lah para pemeluknya”.

Di antara bentuk muamalah yang baik dengan mereka adalah memposisikan mereka sesuai dengan kedudukannya dan menghormati jabatan mereka pada pekerjaanya atau pada kaumnya. Seorang direktur dari kalangan mereka (orang kafir) dipanggil dengan gelar kepegawaian yang sesuai, seorang teman dari mereka juga demikian. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menamakan Heraclius dalam suratnya dengan sebutan: "  عظيم الروم " (Pembesar Romawi). (HR. Bukhori: 7 dan Muslim: 1773)

Contoh yang lain adalah menerima syafa’at (bantuan) dari orang-orang baik dan mempunyai kedudukan di antara mereka, selama hal itu tidak membahayakan salah satu pihak, menerima syafa’at (bantuan) non muslim hukumnya boleh, apalagi jika dia mempunyai jabatan dan kedudukan di kaumnya, semoga hal itu akan mendekatkannya atau orang-orang di belakangnya kepada Islam, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda pada saat perang Badar berkaitan dengan para tahanan dan mereka yang terbunuh:

( لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِىٍّ حَيًّا ، ثُمَّ كَلَّمَنِي فِى هَؤُلاَءِ النَّتْنَى ، لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ ) رواه البخاري (3139)

“Jika saja Al Muth’im bin ‘Adiy masih hidup, kemudian mengajak saya bicara (memberikan pendapat) tentang mereka (para tahanan dan yang terbunuh), maka aku akan menyerahkan (urusan) mereka kepadanya”. (HR. Bukhori: 3139)

Karena dia telah memberikan perlindungan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat kembali dari Tha’if, dia juga yang menyuruh untuk merobek shahifah (surat perjanjian) yang memboikot Bani Hasyim.

Termasuk perbuatan baik adalah saling memberi hadiah antara seorang muslim dan kafir, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menerima hadiah yang datang dari raja-raja Arab dan non Arab, beliau juga telah memakaikan baju beliau kepada Abdullah bin Ubai bin Salul dan mengkafaninya dengan baju tersebut pada saat ia meninggal dunia; karena dia telah memberikan baju kepada Abbas bin Abdul Muthalib pada saat perang Badar karena dia sebagai tawanan perang yang dilucuti pakaiannya, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membalasnya dengan hal itu.

Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- telah memberi hadiah kepada saudara laki-lakinya yang masih musyrik di Mekkah sebuah baju yang telah dihadiahkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. (HR. Bukhori: 2619)

Termsuk perbuatan baik kepada sesama manusia adalah memaafkan mereka jika mereka bersalah dan berkelakuan buruk, selama hal itu tidak memicu kemarahan dan atau merendahkan seorang muslim, bahkan hal itu menjadi nampak kedermawanan dan kebaikannya, sebagaimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memaafkan penyiksaan orang-orang Quraisy kepadanya, beliau juga telah bersabar dalam jangka waktu yang lama, kemudian Alloh telah menguatkan posisi beliau di tengah-tengah mereka, membebaskan Mekkan bagi beliau, beliau juga tidak merasa dendam untuk diri beliau sendiri –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Imam Qarafi –rahimahullah- berkata:

“Adapun perintah untuk berbuat baik kepada mereka (orang non muslim) dengan dasar tanpa ada rasa cinta di dalam hati, menyayangi mereka yang lemah, menyantuni orang fakir mereka, memberi makan mereka yang lapar, memberikan pakaian kepada mereka yang tidak berpakaian, berkata santun kepada mereka atas dasar kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan jalan ketakutan dan penghinaan, bersabar atas gangguan dari mereka dalam bertetangga, dan berusaha untuk menghilangkannya, sebagai bentuk kelembutan kita kepada mereka, bukan karena takut dan bentuk pengagungan, mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah, menjadikan mereka termasuk yang berbahagia, menasehati mereka pada semua urusan mereka baik pada urusan agama maupun urusan dunia, menjaga pada saat mereka tidak berada di tempat jika ada seseorang yang akan menjarah menjarah mereka, menjaga harta, keluarga, kehormatan mereka ada semua hak dan kemaslahatan mereka, berusaha untuk mencegah kedzaliman menimpa mereka, menyampaikan hak-hak mereka, semua kebaikan yang baik dilakukan dari atas ke bawah maka lakukanlah dan demikian juga bagi seorang musuh kepada musuhnya, semua itu termasuk akhlak yang mulia. Semua yang kita lakukan kepada mereka sebaiknya dilakukan dari sisi ini, bukan dalam bentuk kemuliaan dan pengagungan dari kita. Juga bukan mengagungkan mereka dan menghinakan diri kita sendiri dengan semua amalan yang dilakukan di atas”. (Al Furuuq: 3/15)

Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, edisi pertama (2/94):

“Cara terbaik dalam hal interaksi antara umat Islam kepada seorang kafir dzimmi (yang dalam perlindungan hukum Islam): menunaikan hak-haknya sebagai kafir yang berada di dalam perlindungan hukum Islam, berdasarkan banyak ayat dan banyak hadits yang menyuruh untuk menepati janji, memperlakukannya dengan baik dan seimbang, sebagaimana firman Alloh:

( لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ )

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Berkata lembut kepadanya, berlaku baik kepadanya secara umum, kecuali dalam masalah yang dilarang oleh syari’at, seperti: mulai menyapanya dengan salam, menikahkannya dengan seorang muslimah, mewarisinya dari seorang muslim, atau yang serupa dengannya yang ada larangannya di dalam nash, baca juga rincian masalah ini dalam buku “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karya Allamah Ibnul Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- dan karya lainnya dari para ulama”.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam