Alhamdulillah.
Pertama :
Jika seorang istri tidak menyukai akhlak suaminya, seperti perangainya yang kasar, emosional dan mudah marah, atau ia tidak menyukai sosok tubuhnya, seperti memiliki cacat, buta atau tidak sempurna panca indranya, atau ia tidak mampu berhubungan suami istri sebagaimana yang telah diketahui, maka istri boleh menuntut khulu. Hal ini telah disebutkan penjelasannya dalam fatwa no. 1859.
Kedua :
Seorang ayah tidak berhak memaksa putrinya agar tetap bersama dengan suami yang tidak diinginkannya. Demikian pula suami –dalam pendapat yang shahih- tidak dibolehkan mencegah istrinya yang menuntut khulu. Apabila suami menolak khulu, maka dibolehkan bagi penguasa yang berkompeten untuk memaksanya agar dikabulkan tuntutan khulu’nya. Hal tersebut telah dijelaskan dalam fatwa no. 152402 .
Ketiga :
Tidak dibolehkan bagi seoarang istri selama dia masih sah sebagai istri menolak ajakan suaminya untuk melayaninya meskipun saat itu dia membencinya. Karena dominasi kepemilikannya atas diri istrinya ditetapkan secara benar dalam syari’at agama. Maka tidak dibolehkan bagi seorang istri menolak ajakan suaminya. Akan tetapi apabila dia membenci suaminya dan enggan berhubungan suami-istri dengannya, maka syari’at Islam telah mengatur yang demikian dengan memberikan solusi bijak berupa khulu. Hendaklah istri segera mengajukan permintaan khulu kepada suaminya. Terkait keengganan istri dalam melayani suaminya di tempat tidur karena dia tidak menyukai sebagian tingkah laku suaminya, dianjurkan agar merujuk kepada fatwa no 118326.
Demikian pula tidak diperkenankan bagi istri selama dia masih menjadi istri yang sah menolak untuk mentaati suaminya dalam hal kebaikan, karena yang demikian itu merupakan kewajiban istri terhadap suaminya dan hak suami atas istrinya.
Penjelasan dari yang demikian ini terdapat dalam fatwa nomer : ( 10680 ).
Keempat :
Dibolehkan bagi anda mendoakan suami anda yang telah menzalimi anda agar Allah menggantikan suami anda yang lebih baik darinya. Terkait hukum do’a istri atas suaminya telah dijelaskan dalam fatwa no. 139410. Akan tetapi yang lebih penting dan lebih utama adalah mendoakannya agar senantiasa dikaruniai Hidayah dan Taufiq dan kebaikan prilakunya.
Kelima :
Adapun terkait kekhususan perkara akhirat dan kehidupan setelah memasuki surga maka anda tidak akan disibukkan lagi dengannya. Karena jika anda tetap menjadi istrinya hingga maut menjemput, dan Allah memberikan karunia kepada kalian berdua dengan masuk surga, maka sesungguhnya di dalam surga tidak ada lagi dengki dan perasaan saling benci, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencabut semua perasaan dengki dan saling membenci dari hati-hati para penghuni surga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ
(سورة الأعراف: 43)
"Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka; mengalir di bawah mereka sungai-sungai dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk." (QS Al A’raf : 43)
Dalam Tafsir Al Baghawi, 3/229tentang penafsiran ayat:
وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ
“Dan Kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka”
"Yaitu (tidak ada) semua bentuk penipuan dan pemusuhan di antara mereka yang terjadi di dunia, dan kami jadikan mereka semua bersaudara di atas landasan saling berbagi kebahagiaan yang tidak ada hasad di antara mereka terhadap sesuatu yang Allah khususkan pembagiannya kepada sebagian dari mereka."
Keenam :
Kebencian terhadap suami dan sikap apatis kepadanya tidak kemudian membolehkan seorang istri melanggar batas-batas aturan Allah, apalagi terjerumus ke dalam prilaku yang haram. Jika istri melakukannya maka dosanya dibebankan kepadanya dan menjadi tanggung jawabnya, Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا
(سورة الأنعام: 164)
"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS Al An’am: 164)
Dijelaskan dalam Tafsir Al Qurthubi, 7/156, “Tidak akan dihisab dosa, kesalahan dan kemaksiatan kecuali dari pelakunya sendiri."
Disebutkan dalam Tafsir Al Alusi, 4/312: “Sesungguhnya setiap jiwa akan menanggung beban dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, dan bukan orang lain yang akan menanggunya."
Akan tetapi, hendaknya anda tidak membenturkan diri anda dengan kondisi seperti itu. Ketika anda merasa lemah dan tidak memungkinkan hidup bersamanya serta memenuhi hak-haknya, maka mintalah khulu’ kepadanya dan jangan lagi tinggal bersamanya. Hendaknya anda mencari mediator dari kalangan orang yang baik, cerdas dan bijaksana untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tidak jadi masalah apabila anda mengadukan problematika anda tersebut kepada hakim.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
(سورة النساء: 130)
"Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana." (QS An Nisaa: 130)
Wallahu A’lam.