Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Suami Menceraikan Istrinya Dengan Talak Tiga Menginginkan Dia Kembali, dan Mengaku Bahwa Pernikahan Sebelumnya Tidak Sah

220695

Tanggal Tayang : 25-01-2017

Penampilan-penampilan : 13222

Pertanyaan

Seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki muslim, pada akad nikah tersebut dihadiri oleh dua orang, yang satu sebagai saksi dan yang lain sebagai wali, atau sebagai saksi dan yang lain sebagai hakim. Masalahnya adalah dia telah ditalak tiga, namun mantan suaminya menyakinkannya agar dia kembali lagi kepadanya, karena dianggap bahwa pernikahan sebelumnya adalah batil. Maka bagaimanakah pendapat anda pada akad nikah yang pertama, dan rujuknya kepada suami tersebut setelah ditalak tiga kali ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Seorang wanita yang tidak mempunyai wali –seperti yang baru saja masuk Islam, sedangkan semua keluarganya masih non muslim- maka yang menikahkannya adalah seorang hakim pengadilan agama, namun jika wanita tersebut berada di daerah yang tidak mempunyai hakim pengadilan agama, maka dibolehkan yang menjadi walinya dalam pernikahannya adalah seorang muslim yang adil. Telah dijelaskan sebelumnya dengan rinci pada jawaban fatwa nomor: 212323.

Kami tidak mengetahui apa penyebab yang menjadikan suami tersebut menyatakan bahwa pernikahan sebelumnya adalah batil, bisa jadi penyebabnya karena yang menjadi walinya salah satu dari kedua saksinya, sebagian ulama memang telah melarang hal itu.

Imam an Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Sedangkan bapaknya adalah sebagai wali yang melaksanakan akad, dan tidak menjadi saksi”. (Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiin: 7/46)

Jawaban dalam hal ini adalah jika pernikahan sebelumnya dilakukan dengan mengumumkannya kepada banyak orang, maka pernikahan tersebut adalah sah, pengumuman tersebut sudah cukup sebagai saksi, bahkan lebih kuat dari persaksian. Telah dijelaskan sebelumnya pada fatwa nomor: 112112.

Kedua:

Kalaupun dianggap bahwa pernikahan tersebut tidak sah, akan tetapi laki-laki dan wanita tersebut telah meyakini akan sahnya pernikahannya tersebut, dan jika dia mentalak istrinya maka tetap jatuh talak dan tetap dihitung. Para ulama telah menyatakan bahwa talak tetap terjadi pada pernikahan yang rusak. Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita selama dua tahun, kemudian dia mentalaknya tiga kali, wali dalam pernikahannya adalah orang yang fasiq, maka apakah perwalian orang yang fasiq tetap sah ?, yang berarti jika istri tersebut telah ditalak tiga kali menjadi haram bagi suaminya kecuali setelah menikah lagi dengan laki-laki lain terlebih dahulu ?, atau akad nikahnya dianggap tidak sah, maka dia boleh menikahinya lagi dengan akad nikah yang baru dengan wali yang baik bukan yang lainnya ?

Beliau menjawab:

“Alhamdulillah, jika dia telah mentalaknya tiga kali maka tetap jatuh talak tersebut, tidak seorang pun setelah talak tiga boleh mempermasalahkan wali kembali, apakah wali tersebut adil atau fasiq; dan menjadikan kefasikan wali menjadi alasan tidak jatuhnya talak; karena kebanyakan para ahli fikih membenarkan perwalian orang fasik, dan mayoritas mereka menyatakan bahwa talaknya pun terjadi pada pernikahan seperti itu, bahkan pada bentuk pernikahan rusak lainnya.

Suami tersebut telah menggauli istrinya sebelum menjatuhkan talak, dan kalaupun ia meninggal dunia, maka suami tersebut tetap mendapatkan warisan dari istrinya, berarti dia meyakini sahnya pernikahan tersebut, lalu bagaimana mungkin setelah menjatuhkan talak menganggap pernikahan sebelumnya rusak ?!, berarti dia menyatakan pernikahannya sah jika mempunyai tujuan dengan sahnya, dan menyatakan rusak jika dia mempunyai tujuan dengan kerusakannya. Pendapat ini bertentangan dengan ijma’ kaum muslimin; karena mereka bersepakat bahwa barang siapa yang meyakini kehalalan sesuatu, maka dia harus tetap meyakininya baik sesuai dengan tujuannya atau tidak, dan barang siapa yang meyakini haramnya sesuatu tersebut, maka dia harus tetap meyakininya pada kedua kondisi di atas. Mereka para suami yang mentalak istrinya tidak berfikir tentang rusaknya akad nikah karena kefasikan walinya, kecuali setelah mentalak istrinya tiga kali, tidak pada saat menggauli dan mewarisi hartanya, maka pada waktu tertentu mereka mengikuti pendapat yang menyatakan rusaknya akad nikah tersebut, dan pada waktu yang lain mengikuti pendapat yang membenarkan akad nikah tersebut, berarti menyesuaikan tujuan dan hawa nafsunya. Seperti itu tidak dibolehkan sesuai dengan kesepakatan umat”. (Majmu’ Fatawa: 32/100)

Beliau –rahimahullah- juga berkata:

“Barang siapa yang mempermasalahkan akad nikah setelah dia mentalak istrinya, dan tidak meneliti sebelumnya, maka dia termasuk orang-orang yang melampaui batasan-batasan Alloh, karena dia ingin menghalalkan para wanita sebelum terjadinya talak dan sesudahnya”. (Majmu’ Fatawa: 32/101)

Al Buhuti –rahimahullah- berkata:

“Talak juga bisa sah pada pernikahan yang masih menjadi perbedaan pendapat akan keabsahannya, seperti pernikahan dengan perwalian seorang yang fasik, pernikahan yang disaksikan oleh dua orang yang fasik, menikahi kakak/adik istrinya pada masa iddahnya setelah ditalak bain, nikah syighar (dua orang laki-laki sepakat untuk menikahi saudarinya masing-masing tanpa mas kawin), pernikahan tahlil (pernikahan pura-pura untuk menghalalkan istri yang sudah ditalak tiga), pernikahan tanpa saksi, atau pernikahan tanpa adanya wali, atau yang serupa dengan itu, seperti; menikah wanita pezina yang masih berada pada masa iddahnya atau sebelum ia bertaubat”. (Kasyful Qana’: 5/237). Bisa dirujuk juga fatwa nomor: 116575).

Kesimpulan dari jawaban kami bahwa talak tersebut tetap terjadi, baik pernikahan tersebut dihukumi dengan sah atau rusak (tidak sah), maka wanita tersebut tidak boleh lagi kembali kepada suaminya sampai menikah lagi dengan suami baru.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam