Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

Apakah Hutang Dan Barang Curian Dikembalikan Dengan Jumlah Yang Sama Saat Berhutang Atau Dengan Nilainya Pada Hari Ini ?

220839

Tanggal Tayang : 10-04-2024

Penampilan-penampilan : 1427

Pertanyaan

Saya ingin bertanya tentang bagiamana mengembalikan hak kepada pemiliknya setelah terjadi perubahan harga dan turunya nilai mata uang. Apakah utang dan barang curian dikembalikan dengan nilai yang sama saat berhutang atau mencuri, atau dengan nilainya saat ini ? karena nilai mata uang telah mengalami perubahan nilai yang cukup tinggi, artinya, sebagai contoh: bahwa 100 dinar pada tahun 1970 sama dengan 1000 dinar pada saat ini .

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Jika hutang tetap yang menjadi tanggungan itu adalah suatu benda berwujud yang mempunyai nilai hakiki dan mempunyai sesuatu yang semisal dengannya, misalnya benda yang dapat diukur berdasarkan takaran atau berat, atau emas dan perak, menurut kesepakatan mayoritas ulama adalah bahwa barang harus dikembalikan semisal, tanpa memperhatikan perubahan nilai atau harga antara hari terutangnya dan hari pembayarannya.

Ibnu Qadamah mengatakan: “Orang yang berutang wajib mengembalikan yang semisal, untuk barang yang memiliki padanan. Baik harganya turun maupun naik atau sesuai keadaan awal..” (Al-Mughni  6/441).

Dan beliau juga mengatakan : “Wajib mengembalikan yang semisal untuk barang yang ditakar maupun ditimbang. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini. Akhir kutipan dari “Al-Mughni” (6/434).

Demikian pula halnya hukum yang berkaitan dengan harta curian dan rampasan, maka harus dikembalikan yang semisal tanpa melihat adanya perubahan harga, menurut pandangan mayoritas ulama.

Imam Abu Tsaur dan Imam Ahmad, dalam sebuah riwayat berpendapat seperti pandangan syaikul Islam Ibnu Taimiyah: bahwa wajib bagi orang yang merampas harta untuk menanggung selisih harga jika harga turun (saat pengembalian).

Disebutkan dalam “al-Mausu’ah al-Fiqhiyah” (10/25): mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada kewajiban atas orang yang merampas harta untuk menanggung selisih nilai barang karena terjadinya perubahan harga”.

Diriwayatkan dari Abu Tsaur bahwa dia [orang yang merampas sesuatu dengan paksa] bertanggung jawab atas selisih kekurangan tersebut, karena dia bertanggung jawab jika barang rampasan itu musnah; oleh karena itu ia juga harus bertanggung jawab atas selisih kekurangannya jika mengembalikan barang rampasan tersebut pada saat harganya turun.” Akhir kutipan.

Menurut Al-Mawardi: “jika nilai barang mengalami penurunan, karena faktor perubahan harga, maka orang yang merampas harta tidak harus menanggungnya. Ini adalah pendapat yang dikemukakan, dan merupakan pendapat madzhab kami dan mayoritas ulama.

Diriwayatkan juga darinya (Imam Ahmad), bahwa dia bertanggung jawab. Pandangan ini diikuti oleh Ibnu Abi Musa dan Syekh Taqiy Ad-Din Ibnu Taimiyah rahimahullah.” (A l-Insaf   6/155).

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: yang benar adalah bahwa apa yang nilai harganya berkurang maka harus ditanggung, hal itu karena suatu barang yang memiliki nilai lima puluh ribu (saat itu), menjadi bernilai hanya empat puluh ribu saat ini, Demikianlah ia menghalangi pemiliknya untuk mengambil keuntungan dari kenaikan harga tersebut, sehingga ia bertanggung jawab atas selisihnya.… maka pendapat yang benar adalah bahwa apa yang terjadinya turunnya harga adalah menjadi tanggungan, seperti orang yang menyebabkan cacat pada barang tersebut atau menyebabkan kerusakan pada barang tersebut. perubahan yang merugikan pada karakteristiknya. Inilah pendapat yang diambil oleh Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah).” ( Ta`liqat Ibnu `Utsaimin `ala Al-Kafi  5/343, dengan penomoran as-syamilah).

Kedua:

Dan jika utang tetap yang menjadi tanggungan berupa mata uang kertas yang beredar saat ini, dan dikemudian hari saat pembayaran mengalami penurunan harga: jika penurunan nilai mata uang tersebut kecil, tidak lebih dari sepertiga nilai utang, maka yang menjadi kewajiban adalah mengembalikan sejumlah uang semisal dengan jumlah yang dipinjam, tidak lebih dan tidak kurang.

Keadaan ini dirujuk dalam pernyataan “Majelis Fiqih Islam” (no. 42, 5/4): “Yang penting dalam melunasi hutang tetap berupa mata uang tertentu adalah dengan memberikan jumlah yang sama, dan bukan berdasarkan nilainya, karena hutang harus dibayar dengan jumlah yang sama. Oleh karena itu, tidak boleh mengkaitkan utang tetap yang menjadi tanggungan, apa pun jenisnya, dengan nilainya.” Akhir kutipan.

Ketiga:

Namun jika terjadi perubahan nilai mata uang secara signifikan, ulama kontemporer berbeda pandangan mengenai kewajiban pembayaran hutang saat terjadi penurunan nilai mata uang yang ekstrim: apakah ia harus membayar berdasarkan jumlah yang sama, atau harus menyesuaikan dengan nilai perubahannya ?

Penyebab perbedaan pendapat : bahwa uang kertas dan mata uang yang beredar saat ini tidak memiliki nilai  intrinsik, akan tetapi  nilainya bersifat subyektif dan didasarkan pada penggunaan oleh masyarakat dan pengakuan negara lain, yang berkomitmen untuk menerimanya.

Majelis Fiqih Islam membahas permasalahan ini lebih dari satu kali sidang (sesi ketiga, kelima, kedelapan, kesembilan, dan kedua belas), dan secara global terdapat tiga pandangan pokok mengenai hal tersebut:

  1. Berpegang pada prinsip bahwa wajib membayar kembali jumlah yang sama, tidak peduli seberapapun turunnya nilai mata uang, selama mata uang yang dimaksud adalah mata uang yang masih beredar di masyarakat.

Beberapa ulama kontemporer yang sependapat dengan pandangan ini diantaranya: syeikh Ibn Baz, syeikh Ibnu ’Utsaimin, syeikh as-Siddiq Muhammad al-Amin ad-dzarir, syeikh ‘Ali as-salusi, demikian juga dalam putusan fatwa al-lajnah ad-daimah.

Ulama al-lajnah ad-daimah dalam pernyataan fatwanya: “wajib bagi yang meminjam untuk membayar sejumlah uang yang dipinjamnya dari peminjam, dan tidak harus memperhatikan adanya selisih harga beli (mata uang yang dipinjam) baik naik ataupun turun”, akhir kutipan dari “fatawa al-lajnah ad-daimah” (14/146).

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ta’ala mengatakan: “jika mata uang tersebut dihapuskan atau diganti dengan jenis mata uang lainnya: maka diperbolehkan meminta dibayar sesuai dengan nilainya saat itu, namun jika mata uangnya tetap sebagaimana adanya maka tidak ada kewajiban bagi peminjam uang kecuali sebesar yang dipinjam, tidak peduli apakah nilainya bertambah atau berkurang.. Seperti jika dia meminjaminya satu sa` gandum beberapa tahun yang lalu, pada saat itu satu sa` itu bernilai lima riyal, kemudian nilainya turun menjadi dua riyal, misalnya, bolehkah dia menyuruhnya untuk memberinya sa` dan juga memberinya tiga riyal? Tidak, dia hanya berhak atas sa`. Jadi jika menyangkut barang selain mata uang, peminjam hanya perlu mengembalikan barang yang setara saja. Begitu pula dengan mata uang, selama mata uang tersebut belum dihapuskan sebagai alat pembayaran yang sah.” ( Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh72/9).

  1. peminjam harus mengembalikan pinjaman berdasarkan nilai mata uang seperti pada saat pinjaman diberikan, baik berdasarkan daya beli mata uang tersebut, atau berdasarkan nilai mata uang dalam emas pada saat pinjaman diberikan.

Diantara ulama dan peneliti kontemporer yang berpandangan seperti ini: syeikh Al-Albani, syeikh Mustofa Az-Zarqa, syeikh Abdullah Al-Bassam, syeikh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, syeikh Abdurrahman Al-Barak, syeikh Muhammad Al-Mukhtar As-Salami, syeikh Ali Al-Qaradaghi, dan syeikh Wahbah Az-Zuhaili.

  •  

Syekh Al-Albani rahimahullah berkata: “Seandainya setahun yang lalu engkau meminjamiku seratus dinar, dan saat ini seratus dinar bernilai lima puluh dinar, lima puluh dinar tidak cukup untuk membeli kebutuhanku dari: gandum, jelai, susu, dan kebutuhan dasar lainya yang senilai seratus dinar pada hari ini, apalagi untuk kebutuhan yang lain,saya tidak boleh menjadi formil secara lahiriah, maka saya akan memberimu seratus dinar, lalu berkata kepadamu: wahai saudaraku, ini adalah apa yang saya pinjam dari anda, dan inilah yang saya berikan kepada anda secara tunai.”

Dan beliau mengatakan: “Sebaliknya dia harus membayarnya kembali berdasarkan daya beli dinar pada hari dia meminjamnya.” ( Silsilat Al-Huda wa'n-Nur(tape no. 285, setelah menit ke 57).

  1. Untuk penyelesaian dalam situasi seperti ini  harus dilakukan berdasarkan prinsip perdamaian, setelah menghitung kerugian dari masing-masing pihak (kreditur dan debitur), atau sampai pada kesepakatan bersama mengenai nilai besaran pinjaman yang harus dibayar oleh peminjam.

 

Salah satu rekomendasi “Simposium Fikih Ekonomi tentang Kajian Isu Terkait Inflasi” yang diselenggarakan oleh Dewan Fiqih Islam di Jeddah bekerjasama dengan Faisal Islamic Bank of Bahrain pada tahun 1420 H/1999 M menyatakan: Jika inflasi tidak diperkirakan pada saat pinjaman diberikan, namun terjadi, maka perlu dilihat inflasi yang terjadi tersebut tinggi atau rendah. Pedoman inflasi yang disebut tinggi adalah ketika mencapai sepertiga utang:

  • Jika inflasi yang terjadi rendah, maka ia tidak dianggap sebagai faktor yang mengkoreksi nilai utang, karena prinsip dasarnya adalah kewajiban membayar utang sebesar jumlah utang, dan adanya perbedaan yang tipis adalah serupa dengan adanya sedikit ketidaktahuan, perbedaan kualitas, dan tipu muslihat  yang (kadarnya) menurut hukum Islam masih bisa dimaafkan.
  • Dan jika inflasi yang terjadi tinggi, maka pembayaran utang sebesar jumlah pinjaman akan menimbulkan kerugian besar bagi pemberi pinjaman, dan harus diantisipasi sesuai dengan kaidah umum “الضرر يزال” (kerusakan harus dihindarkan).

Dan solusi yang bisa diambil untuk menyelesaian perselisihan tersebut adalah dengan kesepakatan damai, dimana masing-masing pihak (kreditur dan debitur) bersepakat untuk membagi beban inflasi dengan prosentase yang disepakati diantara mereka, kutipan dari “Majalah Majma al-fikih al-Islami” (12/4/286).

Dan sepertinya yang jelas bahwa pendapat yang paling dominan dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan kewajiban membayar pinjaman dengan jumlah yang sama atau membuat kesepakatan damai diantara masing-masing pihak apabila terjadi inflasi ekstrim yang melampaui sepertiga dari jumlah utang.

Standar sepertiga dianggap sebagai batasan untuk melihat tingkat inflasi rendah dan tinggi, karena sepertiga dianggap dalam banyak urusan agama sebagai batas pemisah untuk menentukan mana yang dianggap sedikit dan mana yang banyak.

Ibnu Qudamah berkata: “Kita telah melihat bahwa dalam hukum Islam menyebutkan sepertiga dalam berbagai masalah (hukum Islam), diantaranya: tentang wasiat, tentang pemberian sesuatu ketika seseorang sakit, dan santunan atas luka yang dialami seorang wanita, yang setara dengan ganti rugi atas luka yang dialami laki-laki,asalkan tidak melebihi sepertiga diyah.

Al-Athram berkata: Ahmad berkata: Mereka mengacu pada sepertiga dalam tujuh belas masalah agama, Hal ini karena sepertiga merupakan standar untuk menentukan yang tinggi atau banyak, dan yang dibawah sepertiga sebagai yang rendah atau sedikit, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai wasiat: “Sepertiga , dan sepertiganya itu adalah banyak.” Hal ini menandakan bahwa ia merupakan batasan ukuran banyak, oleh karena itu ia dijadikan pedoman dalam masalah ini.” (A l-Mughni6/179)

Keempat:

Pendapat yang mengatakan wajib membayar dalam jumlah yang sama atau membuat kesepakatan damai untuk membagi beban kerugian diantara masing-masing pihak, adalah sesuai dengan dalil umum nash-nash syariah yang menuntut berlaku adil, menghindari kerusakan, dan mencegah perbuatan dzalim.

Adapaun pendapat yang mengatakan bahwa wajib membayar semisal dengan besaran pinjaman meskipun terjadi perubahan nilai mata uang secara ekstrim, pendapat ini dipertanyakan:

  1. karena telah menimbulkan hal yang merugikan pemberi pinjaman, hal ini juga bertentangan dengan prinsip keadilan, dan kaidah hukum Islam tentang perintah mencegah adanya kerusakan dan manghapuskannya .
  2. dalam hal ini yang manjadi fokus hanya nominal mata uang, tanpa memperhatikan arti sebenarnya. Kesetaraan yang sebenarnya tidak dapat dicapai dalam mata uang ini kecuali jika daya belinya sama. Dan hal ini sulit dilakukan dalam situasi di mana nilai mata uang telah mengalami banyak perubahan.

Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah dalam  Syarh Al-Muharrar mengatakan : “Jika dia meminjamkan  kepada seseorang atau mengambil makanan darinya secara paksa, dan kemudian nilainya turun, itu artinya ada sesuatu yang kurang, maka pemberi pinjaman tidak boleh dipaksa menerima balasan dengan adanya kekurangan tersebut, maka hendaknya melihat pada  nilainya. Hal Ini adalah sesuatu yang adil, karena kedua jenis barang ini hanya setara jika nilainya sama, tetapi jika ada perbedaan nilainya maka tidak ada kesetaraan.” (Diriwayatkan darinya oleh Al-Bahuti dalam  Al-Minah Ash-Shafiyat , hal. 443)

Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Aba Buthain mufti diyar najd pada masanya mengatakan: mengenai terjadinya turunya nilai harga, maka pernyataan syeikh sangat jelas bahwa seseorang harus mengembalikan nilai pinjaman yang setara. Pandangan ini lebih kuat. Dan jika perkara demikian dihadapkan kepada kami, kami akan berusaha mencari arbiter untuk mencapai kesepakatan, jika memungkinkan.” ( Ad-Durar As-Saniyyah   6/206)

Demikian pula Syaikh Hasan bin Husain Al Ash-Syekh berkata mengenai pendapat Syaikh Al-Islam: “Inilah pendapat yang benar, yang menjadi dasar fatwa kami.” ( Ad-Durar As-Saniyyah   7/212)

Syekh `Abdullah Al-Bassam rahimahullah berkata: “Syaikh Taqiy Ad-Din dan Syams Ad-Din Ibnu Al-Qayyim, serta sebagian ulama dakwah Salafi Najdi, lebih cenderung pada pendapat yang menyatakan, bahwa jika mata uang tersebut menguat atau melemah nilainya, atau tidak digunakan lagi, maka pemberi pinjaman berhak atas nilai pinjaman tersebut, seperti jika pemerintah menghapuskan mata uang tersebut. Syekh Taqiy Ad-Din menyatakan bahwa hukum yang sama berlaku untuk semua jenis pinjaman, dan banyak ulama yang mengikutinya dalam hal itu.” ( Majallat Majma` Al-Fiqh Al-Islami   9/2/443)

Syekh `Abd Ar-Rahman Al-Barrak hafidzahullah berkata: “Jika mata uang tersebut tidak digunakan lagi, sehingga menyebabkan devaluasi yang besar terhadap mata uang yang digunakan pemberi pinjaman untuk memberikan pinjaman, maka dalam hal ini tidak sah untuk membayar kembali pinjaman dalam mata uang yang sama. Sebaliknya nilainya pada hari pemberian pinjaman harus dihitung. Jadi kita harus mengetahui nilai pound terhadap dolar pada hari pinjaman diberikan, dan melunasi pinjaman berdasarkan nilai tersebut, atau mencapai kesepakatan dengan pemberi pinjaman.”

  1. Tidak tepat membandingkan uang kertas dengan apa yang disebutkan para ulama tentang pembayaran kembali dalam jumlah dan jenis yang sama dalam kasus emas dan perak. Sebab, dinar emas dan dirham perak tidak kehilangan nilainya sama sekali. Emas dan perak bisa saja turun nilainya beberapa poin, namun tidak pernah kehilangan nilainya sama sekali, oleh karena itu tidak ada salahnya membayar kembali sejumlah pastinya (semisal), berbeda dengan mata uang kertas yang tidak lebih dari lembaran kertas yang tidak ada nilainya, kalau bukan karena fakta bahwa Negara mengakui nilainya.

Kelima:

Jika seseorang berhutang sesuatu kepada pihak lain, karena ia merampasnya dengan paksa atau mencurinya, atau karena menunda pembayaran utangnya , maka harus dikatakan bahwa ia harus membayar utang itu berdasarkan nilainya (pada saat itu diambil), karena orang yang merampas sesuatu dengan paksa atau mencuri sesuatu atau terlalu lama menunda untuk membayar utang adalah pelaku kejahatan, maka dengan itu dia bertanggung jawab atas segala kerugian yang diakibatkan oleh perilaku jahatnya.

“dengan demikian, barangsiapa yang menyita sesuatu dengan paksa, wajib membayarnya kembali berdasarkan nilainya (pada saat ia menyita), jika terjadi inflasi atau bertambah parah. Hal ini berlaku jika inflasi menyebabkan devaluasi mata uang sampai pada tingkat yang tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat.” (Kutipan dari kitab “At-Tadakhkhum An-Naqdi”  oleh Syaikh Khalid Al-Muslih hal. 222).

Namun jika tanggungan utang timbul atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, seperti dari akad qardhul hasan, atau pembelian secara kredit, atau bagian mahar yang tertunda, maka boleh dikatakan bahwa pendapat yang benar adalah sesuai dengan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, dengan berbagi tanggung jawab atas kerugian dalam rasio berapa pun yang telah mereka sepakati, karena peminjam tidak dapat disalahkan atas perubahan ekstrem yang terjadi pada nilai mata uang.

Dan karena kewajiban membayar sebesar pinjaman (semisal), jika diterapkan akan menimbulkan kerugian yang nyata bagi pemberi pinjaman, dan kewajiban membayar berdasarkan nilainya akan menimbulkan kerugian nyata bagi yang meminjam, maka keadilan disini menuntut supaya tidak ada satu pihak saja yang harus menanggung beban kerugian tersebut sendirian, akan tetapi sebaiknya ditanggung bersama dengan dibuat kesepakatan diantara mereka. 

Meskipun pada prinsipnya mencapai kesepakatan damai adalah suatu tindakan yang dianjurkan, namun hal tersebut tidak menjadi wajib diterapkan. Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan tertentu yang terkadang menjadikannya wajib dan harus dipatuhi oleh kedua belah pihak.

Ibnu ‘Arafah menyatakan: “bahwa mencapai kesepakatan pada dasarnya adalah suatu tindakan yang dianjurkan, namun demikian terkadang untuk tujuan mencapai kemaslahatan maka ia menjadi wajib dilakukan”, disebutkan dalam “mawahib al-jalil” (5/80).

Keenam:

Pada situasi dimana ada ketetapan bahwa pembayaran harus dilakukan berdasarkan nilai pinjaman saat meminjam, maka dalam hal ini pembayaran harus dilakukan dengan menggunakan mata uang lain yang berbeda, hal itu untuk menghindari jatuh dalam transaksi ribawi yang berupa pembayaran pinjaman dengan jenis mata uang yang sama tetapi dengan angka yang lebih besar.

Al-Mawardi mengatakan: “Berkenaan dengan ungkapan (“sesuai dengan nilai pinjaman pada hari pemberiannya”), yang perlu dipahami adalah bahwa jika pinjaman itu termasuk jenis harta yang berlaku riba al-fadl [bilamana barang-barang sejenis dipertukarkan secara tidak seimbang], maka ia harus mengembalikannya dalam bentuk harta lainya yang tidak berlaku riba. maka jika pinjaman itu berupa pecahan dirham [koin perak], dan dikemudian hari Negara  menghapuskan mata uang itu, maka nilainya yang harus dibayar kembali dengan emas, dan berlaku  sebaliknya.

Hal ini telah dinyatakan dengan jelas dalam  Al-Irsyad  dan  Al-Mubhij.

Dikatakan dalam  Al-Furu` : “Pemberi pinjaman berhak atas nilai pinjamannya, yang harus dibayar dengan jenis yang berbeda . Akhir kutipan dari  Al-Insaf  (5/127).

Al-Bahuti mengatakan: “Pemberi pinjaman berhak meminta pembayaran sejumlah nilai pinjaman pada hari pemberiannya, namun harus dalam jenis mata uang yang berbeda, jika hal itu dapat mengakibatkan terjadinya riba al-fadl. Jika pinjaman dengan dirham, maka dia harus diberi dinar, begitu pula sebaliknya, supaya tidak jatuh dalam praktik riba.” (A l-Minah Ash-Shafiyat bi Sharh Mufradat Al-Imam Ahmad   1/439).

Kesimpulan:

Bagi  seseorang yang merampas harta dengan paksa atau mencurinya wajib mengembalikan harta tersebut sesuai dengan nilainya pada hari disita atau dicuri. Jika yang dicuri adalah barang tertentu, maka pencuri bertanggung jawab atas penurunan harganya.

Sedang untuk kasus utang lainnya, maka harus dibedakan antara adanya perubahan kecil dan besar dalam nilai mata uang. Jika perubahannya kecil, dan tidak sampai sepertiga dari jumah utangnya, maka yang harus dibayar adalah sejumlah pinjaman yang sama, dan tidak perlu mempermasalahkan nilai pinjaman pada waktu diberikan.

Namun jika terjadi perubahan yang besar, sampai sepertiga atau lebih dari jumlah pinjaman, maka harus dibuat kesepakatan antara kedua belah pihak untuk berbagi beban kerugian.

Jika ditetapkan bahwa pembayarannya akan dilakukan berdasarkan nilai pinjaman, maka dihitung berdasarkan harga emas pada saat pinjaman itu diberikan, atau berdasarkan daya beli mata uang pada saat itu, dan pembayaran pinjaman harus dilakukan dengan menggunakan mata uang yang berbeda dari mata uang yang digunakan untuk memberikan pinjaman.

Untuk lebih jelasnya silahkan lihat jawaban soal no. (99642 )

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam