Alhamdulillah.
Pertama:
Diwajibkan bagi seorang istri untuk mentaati ajakan suaminya untuk berjima’, kalau dia tidak mau maka dia adalah istri yang durhaka dan melakukan nusyuz (membangkang).
Namun Seorang suami tidak boleh membebani istrinya di atas kemampuannya dalam hal jima’, jika dia sedang udzur karena sakit atau tidak mampu melayani maka dia tidak berdosa karena menolak ajakannya. Baca juga fatwa nomor: 99756
Kedua:
Berjima’ dengan istri yang sedang hamil tidak masalah, kecuali jika dihawatirkan akan membayakan janinnya atau dia sedang lemas atau karena sakit, semua itu dibutuhkan pemeriksaan dokter. Baca juga fatwa nomor: 104164
Ketiga:
Seorang suami hendaknya memperhatikan kejiwaan istrinya yang sedang hamil, kondisi kesehatannya, maka proses jima’ dengannya tidak sampai membahayakannya dan janinnya.
Sebagaimana halnya penolakan seorang istri, padahal suaminya sangat membutuhkan dan selalu memintanya untuk berjima’ adalah haram, bahkan termasuk dosa besar. Pada dasarnya jima’ tidak membahayakan janin, hanya perasaan hawatir yang berlebihan akan keselamatan janin tidak bisa menjadi alasan.
Kedua orang tua anda menasehati anda seperti itu menunjukkan bahwa anda terlihat tidak melayani suami anda dengan baik.
Yang menjadi kewajiban anda adalah:
Menyelesaikan masalah anda berdua dengan penuh hikmah dan pendapat yang baik. Seorang suami wajib memperhatikan kondisi istrinya, di sisi lain wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya jika diajak untuk berjima’, kecuali jika dihawatirkan akan membahayakannya dan janinnya, kehawatiran itu hendaknya dipastikan melalui dokter spesialis kandungan (yang perempuan).
Keempat:
Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ancaman babi seorang wanita yang enggan menjawab ajakan suaminya dalam sabdanya:
(إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ). رواه البخاري (3237) ، ومسلم (1436(
“Jika seorang laki-laki mengajak istrinya untuk berjima’ namun dia menolaknya, hingga semalaman dia marah pada istrinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi hari”. (HR. Bukhori: 3237 dan Muslim: 1436)
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Makna hadits di atas adalah: “Bahwa laknat itu akan terus dilakukan sampai penolakan istri tersebut berakhir dengan terbitnya fajar dan suaminya sudah tidak menginginkannya lagi atau berakhir dengan taubatnya atau sampai dia mau berjima’ lagi dengan suaminya”. (Syarah Nawawi ‘alah Muslim: 10/8)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Bentuk laknat Malaikat adalah bahwa malaikat tersebut mendoakan seorang istri tersebut dengan laknat, laknat tersebut adalah dijauhkan dari rahmat Allah –Ta’ala-. Jika seorang suami mengajaknya untuk berjima’ untuk bersenang-senang dengannya yang hal itu dibolehkan oleh Allah, lalu dia menolaknya, maka malaikat akan melaknatnya –na’udzubillah- yaitu; dengan mendoakannya mendapat laknat sampai pagi hari”. Syarah Riyadhus Shalihin: 3/141)
Kelima:
Tidak masalah bagi seorang suami untuk menemani istrinya pada saat proses persalinan, karena dia boleh melihat sekujur tubuh istrinya, namun sebaiknya tidak melakukannya; karena dia juga akan melihat lengan dokter perempuan yang sedang tersingkap dan dia tidak boleh melihatnya, yang sebenarnya dia tidak membutuhkan hal itu.
Tidak ada riwayat yang kami ketahui bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendatangi proses persalinan istrinya yang melahirkan anaknya Ibrohim, hukum asalnya tidak perlu hadir dan hal itulah yang menjadi kebiasaan umum dari umat Islam, karena kehadiran suami dalam proses persalinan tidak dibutuhkan.
Wallahu a’lam.