Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Keutamaan Menghafal dan Menyampaikan Hadits Nabi

240606

Tanggal Tayang : 22-11-2016

Penampilan-penampilan : 51756

Pertanyaan

Apa saja keutamaan menghafal dan menyampaikan hadits Nabi ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kami belum mengetahui kalau ada hadits yang shahih yang menyatakan bahwa barang siapa yang menghafal sekian hadits maka dia kan mendapatkan pahala sekian, akan tetapi menghafal hadits-hadits Nabi yang shahih, mementingkannya termasuk perbuatan yang utama dan menjadi ibadah yang paling agung, hal itu akan menjadi jelas dengan beberapa hal berikut ini:

1.Menghafalnya akan membantu untuk memahaminya, mengerti artinya untuk disampaikan kepada masyarakat.

2.Imam Tirmidzi (2658) telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه وصححه الألباني في “صحيح الجامع” (2309)

“Allah akan memberikan “Nadhrah” kepada seseorang yang telah mendengarkan ucapanku, lalu dia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya, karena berapa banyak para pembawa fikih, ada yang lebih faham lagi darinya”. (Diishahikan oleh Albani dalam Shahihul Jami’: 2309)

Al Bazzar telah meriwayatkan dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيَ فَحَفِظَهَا فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا

“Allah akan memberikan “Nadhrah” kepada seseorang yang telah mendengarkan ucapanku, lalu menghafalnya dan mengamalkannya sebagaimana yang telah ia dengar”.

Hadits ini menunjukkan sebuah doa atau kabar dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa akan mendapatkan nadhrah bagi mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya sebagaimana yang telah dia hafal.

Adapun makna dari “Nadhrah” adalah keindahan dan cemerlang.

Maksudnya adalah Allah akan melimpahkan kebahagiaan, kesenangan di dunia khusus kepadanya  dan akan memberikan kenikmatan di akhirat, sehingga akan tampak pada dirinya indahnya nikmat dan kemudahan hidup.

Sebagian menganggap redaksi hadits itu sebagai bentuk kabar, Allah menjadikannya sebagai orang yang mendapatkan keindahan, dan sebagian yang menyatakan sebagai bentuk doa agar mendapatkan keindahan, bentuk kabar lebih utama dari pada sebagai bentuk doa”. (Mirqaatul Mashaabih: 1/306 karya Al Qaari)

Dan dari Abu Musa Al Asy’ari  dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ   . رواه البخاري (79) ومسلم (2282) .

“Perumpamaan apa yang Allah utuskan kepadaku dari petunjuk dan ilmu adalah seperti hujan yang lebat yang turun ke bumi, sebagian tanahnya adalah “naqiyyah” subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang banyak, ada juga bentuk tanah yang “Ajaadzib” tandus yang mampu menahan air, sehingga banyak orang yang memanfaatkannya untuk minum dan mengairi sawahnya, ada juga bentuk tanah yang disebut: “Qii’aan” tidak mampu menyerap air dan tidak mampu menumbuhkan tumbuhan. Perumpaan ini sama dengan seseorang yang telah memahami agama Allah dan bermanfaat baginya, maka dia pun mengetahui, mengajarkan dan mereka yang tidak mengangkat kepalanya (tidak peka) dan tidak menerima hidayat dari Allah yang aku telah diutus karenanya”. (HR. Bukhori: 79 dan Muslim: 2282)

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah membagi manusia menjadi 3 bagian: Dua bagian termasuk yang terpuji, yang pertama adalah ulama yang faham dan mengajarkan (pemahamannya) kepada masyarakat, sedangkan yang kedua adalah mereka yang menghafal ilmu dan menyampaikannya kepada orang lain. Bagian yang ketiga adalah yang tercela yang tidak ada manfaatnya.

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Mereka yang mendengarkan (Rasulullah) diserupakan dengan jenis tanah berbeda yang diguyur air hujan, di antara mereka ada sebagai seorang alim, mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya, mereka ini laksana tanah subur yang menyerap air, lalu ia pun merasakan manfaatnya pada saat yang sama ia mampu menumbuhkan dan memberi manfaat kepada orang lain.

Di antara mereka juga ada yang mengumpulkan ilmu dengan waktu yang lama, hanya saja mereka tidak mengamalkan yang  hukumnya sunnah atau belum memahami apa yang telah ia kumpulkan, akan tetapi mereka telah menyampaikannya kepada orang lain, maka mereka ini laksana jenis tanah mampu menahan air dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang dan mereka inilah yang dimaksud dalam sebuah hadits:

 نَضَّرَ اللَّه اِمْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَأَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا   .

“Allah akan memberikan “nadhrah” kepada seseorang yang telah mendengarkan ucapanku, lalu ia pun melaksanakannya sebagaimana yang telah didengarnya”.

Di antara mereka ada juga yang mendengarkan ilmu, namun tidak mampu menghafalnya, juga tidak mengamalkannya, tidak juga menyampaikannya kepada orang lain, maka mereka ini laksana jenis tanah yang mengandung garam atau yang tandus yang tidak mampu menahan air atau akan merusak yang lainnya. Sungguh perumpamaan tersebut pada dua kelompok pertama termasuk yang terpuji; karena keduanya sama-sama mampu memberikan manfaat. Sementara kelompok yang ketiga adalah tercela; karena tidak memberikan manfaat apa-apa, wallahu a’lam.

3.Bahwa menghafal itu menjadi jalannya ilmu yang jika dilaluinya, maka Allah akan memudahkannya dengan jalan tersebut menuju surga, telah diketahui bersama riwayat tentang keutamaan mencari ilmu dan menyebarkannya di antara masyarakat.

4.Bahwa menghafal banyak hadits dan menyebarkannya termasuk sifatnya para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.

5.Bahwa menghafalkannya adalah bentuk menjaga agama dan menjaga salah satu sumber utamanya. Kalau saja Allah tidak menggerakkan para ulama untuk mengahafal banyak hadits maka sunnah pun akan lenyap. Oleh karenanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ ؛ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا    رواه البخاري (100) ومسلم (2673).

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dengan mengambilnya dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu itu dengan mencabut (nyawa) para ulama; sehingga jika sampai tidak seorang alim, maka masyarakat akan mengangkat pimpinan yang bodoh, maka jika mereka ditanya, mereka memberikan fatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka menjadi sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhori: 100 dan Muslim: 2673)

Ad Darimi (143) telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

 عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ أَنْ يُذْهَبَ بِأَصْحَابِهِ 

“Kalian diwajibkan untuk belajar sebelum ilmu itu dicabut, dan pencabutannya adalah dengan dicabutnya (nyawa) para ahli ilmu”.

6. Demikian juga sebagai bentuk keberkahan dari menghafalnya adalah berusaha untuk menyebarkan dan mengajarkannya kepada orang lain, karena menyebarkannya merupakan menyebarkan ilmu dan memperluas jangkauan sunnah.

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata:

“Seorang mukmin jika mempelajari sunnah, ia membaca dan mempelajarinya  maka ia akan mendapatkan pahala yang besar; karena hal itu termasuk dalam mempelajari ilmu, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة   رواه مسلم

“Barang siapa yang berjalan di sebuah jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”.  (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan untuk mempelajari ilmu, menghafal hadits-hadits, membahas dan memahaminya termasuk di antara sebab masuk ke surga dan selamat dari api neraka, demikianlah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

من يرد الله به خيراً يفقه في الدين  متفق عليه

“Barang siapa yang Allah menginginkannya dalam kebaikan, maka Dia akan memahamkannya kepada agama”. (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)

Memahami agama adalah dengan jalan (membaca) buku dan dengan melalui sunnah, sedangkan memahami sunnah termasuk pertanda bahwa Allah telah menginginkan kepada hamba tersebut menuju kebaikan”.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam