Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

Hukum Suntik, Cairan Infus dan Pengaruh Niat Membatalkan Puasa

Pertanyaan

Pada saat pasien periksa ke dokter di rumah sakit atau poliklinik, apa niatnya? apakah niatnya untuk makan dan minum? Apa saja perannya dalam proses penyembuhan tersebut? Apakah dia boleh menentukan jenis dan cara pengobatan atau bisa mengganti rencana pengobatannya? Yang terjadi adalah pada saat pasien mendatangi seorang dokter di rumah sakit berniat untuk berobat dari keluhannya pada saat itu, atau sakit yang dideritanya, atau kesehatannya yang tiba-tiba bermasalah, atau untuk diobservasi. Pada saat dokter sudah tiba maka pasien tersebut langsung menyerahkan urusannya kepada dokter tanpa ada diskusi apapun, kecuali hanya pertanyaan seputar kesehatan dan penyakitnya.

Dalam masalah niat, tidak ada pasien yang berobat itu berniat membatalkan puasanya, dan tidak ada seorang dokter yang pada saat mengobati pasiennya sengaja dan berniat untuk membatalkan puasa pasien tersebut. Akan tetapi yang menentukan sah dan tidaknya puasa seorang pasien pada saat menggunakan cara pengobatan tertentu mereka adalah para ulama –semoga Allah memberikan keberkahan kepada mereka- seraya mereka memberikan fatwa misalnya, bahwa suntik pada otot tidak membatalkan puasa tanpa menentukan berapa banyak obat suntik yang disuntikkan, sejumlah berapa yang tidak membatalkan dan berapa yang membatalkan? Maka hukumnya dalam masalah ini menjadi global tanpa ada batasannya, namun pada saat mereka bicara tentang cairan infus yang mengandung gula dan garam mereka memberikan syarat apakah cairan tersebut mengandung gizi (sari makanan) atau murni untuk pengobatan? Jika mengandung sari makanan  maka membatalkan puasa, namun jika murni untuk pengobatan maka tidak membatalkan puasa.

Meskipun saya sangat menghormati syarat tersebut, tapi hal itu berlawanan dengan fakta yang kita bicarakan tentang rumah sakit, semua tindakan yang ada dianggap perintah medis dalam rangka pengobatan pasien, maksudnya adalah semua yang dilaksanakan di dalam rumah sakit itu merupakan pengobatan sampai-sampai jika seorang dokter memberikan pengobatan dengan sari makanan sebagaimana yang terjadi pada pasien yang terkena hyperthermia (tubuh terlalu panas), maka yang dipakai adalah infus yang mengandung garam saja, mengembalikan cairan pasien yang tidak bisa minum karena mual dan tidak mau membatalkan puasanya dengan mengambil rukhsoh; yang membawanya ke rumah sakit pada kondisi seperti itu adalah karena dia bekerja di bangunan atau pabrik besi dan baja, jika dia membatalkan puasanya satu hari, maka setiap hari akan seperti itu, dan hal ini yang tidak ia inginkan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Perkataan para ahli fikih berkaitan dengan hal-hal yang membatalkan puasa, tidak ada kaitannya dengan niat dari pasien dan dokter, akan tetapi hal-hal yang membatalkan puasa tersebut ada yang baku dari Allah dan ada yang dianalogikan dengan yang baku.

Di antaranya yang tertulis dengan baku adalah makan dan minum, sebagaimana firman Allah:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (سورة البقرة: 187)

“… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)

Maka dibolehkan makan dan minum sampai terbit fajar, lalu diperintah untuk menahan diri sampai awal malam, yaitu; terbenamnya matahari. Imam Bukhari (1903) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ) .وروى البخاري، رقم 1933 ، ومسلم، رقم  1155 ، واللفظ له)

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu, maka Allah tidak membutuhkannya untuk meninggalkan makanan dan minumnya.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155, hadits ini redaksinya berasal dari riwayat Muslim)

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

“Siapa yang lupa pada saat berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya, karena Allah telah memberinya makan dan minum.”

Dan hadits-hadits lainnya yang menjelaskan bahwa makan dan minum termasuk yang membatalkan puasa.

Kemudian banyak di antara para ulama fikih mengikutsertakan semua yang masuk ke perut melalui saluran makan dan minum atau melalui saluran lainnya sama hukumnya. Sebagian mereka ada yang membatasi bahwa yang membatalkan adalah yang serupa dengan makan dan minum, seperti; suntikan sari makanan.

Tidak diragukan lagi bahwa suntik dan cairan infus termasuk pengobatan, namun suntik itu ada yang ada yang berupa suplemen seperti makan dan minum dan ada yang bukan suplemen. Adapun infus yang dimasukkan melalui otot –baik yang mengandung gula atau garam- maka semuanya mengandung suplemen dan membatalkan, berbeda dengan infus untuk mencuci kandung kemih maka tidak membatalkan puasa sebagaimana yang akan dijelaskan berikutnya.

Telah dijelaskan sebelumnya tentang hal-hal yang merusak puasa pada jawaban soal nomor: 38023 , di antara penjelasannya adalah:

“Poin empat dari hal-hal yang membatalkan puasa adalah apa saja yang menggantikan makan dan minum, hal ini meliputi dua hal:

  1. Menyuntikkan darah kepada pasien yang berpuasa, seperti jika dia mengalami pendarahan maka disuntikkan darah, maka hal ini membatalkan puasanya; karena darah merupakan tujuan akhir dari makanan dan minuman.
  2. Suntikan yang mengandung suplemen menggantikan makanan dan minuman; karena sama dengan makan dan minum.

(Syeikh Ibnu Utsaimin, Majalis Syahr Ramadhan: 70)

Adapun jarum suntik yang tidak bisa menggantikan makan dan minum, akan tetapi murni untuk pengobatan, seperti; penicillin dan insulin atau suntik penyemangat (vitamin), maka hal ini tidak membatalkan puasa, baik disuntikkan melalui lengan atau otot”. (Fatawa Muhammad bin Ibrahim: 4/189).

Untuk lebih berhati-hati maka sebaiknya penyuntikan semua jarum itu dilakukan pada malam hari.

Proses cuci ginjal yang menyebabkan keluarnya darah untuk dibersihkan dan dikembalikan lagi dengan campuri bahan kimia dan sari makanan, seperti kandungan gula dan garam atau yang lainnya yang ditambahkan pada darah, maka hal ini termasuk yang membatalkan puasa (Fatawa Lajnah Daimah: 10/19)

Dan telah kami jelaskan pada jawaban soal no. 233663

“Infus yang mengandung garam yang diberikan kepada sebagian pasien melalui otot, bisa membatalkan puasa; karena hal itu termasuk dalam kategori asupan gizi makanan, ada cairan kandungan garam yang masuk ke perut dan bisa bermanfaat bagi tubuh.”

Adapun batasan yang mengandung sari makanan dan yang tidak adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-:

“Para ulama telah mengikutsertakan hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut: Apa saja yang mengandung arti makan dan minum, seperti; Suntikan sari makanan. Yang tidak mengandung sari makanan adalah suntik vitamin atau suntikan lain untuk kesembuhan. Hanya suntikan yang mengandung sari makanan yang dianggap menggantikan makan dan minum.

Atas dasar inilah maka semua suntikan yang tidak mewakili makan dan minum tidak membatalkan puasa, baik yang disuntikkan melalui otot, atau paha atau pada sisi lain dari bagian tubuh”. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Utsaimin: 19/199)

Ada baiknya kami sampaikan di sini teks keputusan Majma’ Fikih Islami tentang hal-hal yang membatalkan puasa dalam masalah pengobatan:

“Majelis Majma Fikih Islami yang dilaksanakan pada muktamar ke-10 di Jeddah Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23-28 Shafar 1418 H, bertepatan dengan tanggal 28 Juni – 3 Juli 1997 M.

Setelah memperhatikan beberapa makalah yang diajukan kepada Majma terkait perkara yang membatalkan puasa dalam hal pengobatan, dan beberapa kajian, penelitian, tausiah yang berasal dari Nadwah Fikih Kedokteran yang ke-9 yang telah dilaksanakan oleh Organisasi Islam Ilmu Kedokteran bekerjasama dengan Majma’ dan instansi lainnya, bertempat di Daar Baidha di Kerajaan Maroko pada tanggal 9 – 12 Shafar 1418 H. bertepatan dengan tanggal 14 – 17 Juni 1997 M. termasuk setelah mendengarkan diskusi yang berkaitan dengan tema ini yang diikuti oleh para ahli fikih dan para dokter, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Sunnah dan pendapat para ahli fikih, maka diputuskan beberapa hal di bawah ini:

Pertama:

Beberapa hal di bawah ini tidak membatalkan puasa.

  1. Obat tetesa mata, tetes telinga, pencuci telinga, obat tetes hidung, spray untuk hidung, jika tidak sampai menelan rasa yang sampai pada tenggorokan.
  2. Pil tablet yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan serangan jantung dan yang lainnya, jika menghindari menelan rasa yang sampai pada tenggorokan.
  3. Memasukkan obat suppositoria ke dalam vagina atau anus, atau obat pencuci, atau kamera kelamin, atau dengan jari untuk pemeriksaan medis.
  4. Memasukkan kamera, atau KB spiral, atau yang serupa dengannya ke rahim.
  5. Semua yang dimasukkan melalui batang penis atau vagina, seperti; selang lembut, kamera kelamin, foto rontgen, atau obat-obatan, atau cairan untuk membersihkan kandung kemih.
  6. Melubangi gigi, mencabutnya, membersihkannya, bersiwak, sikat gigi, jika menghindari menelan rasa yang sampai pada tenggorokan.
  7. Berkumur, berkumur di tenggorokan, pengobatan uap mulut, jika menghindari menelan rasa yang sampai pada tenggorokan.
  8. Pengobatan melalui suntik di kulit, atau lengan, atau otot, kecuali larutan dan suntik sumplemen sari makanan.
  9. Gas oksigen
  10. Gas bius, selama tidak diberikan larutan sari makanan
  11. Semua yang diserap oleh tubuh melalui kulit, seperti minyak, balsem, koyo
  12. Memasukkan selang lembut melalui pembuluh darah untuk kamera medis, pengobatan jantung, atau organ tubuh lainnya.
  13. Memasukkan kamera medis melalui dinding perut untuk memeriksa usus, atau untuk data sebelum operasi.
  14. Mengambil sample untuk biopsi hati, atau organ lainnya, selama tidak dibarengi dengan larutan lain.
  15. Kamera medis untuk lambung, selama tidak dibarengi dengan larutan lainnya.
  16. Masuknya peralatan medis ke otak, atau ke ruas tuang belakang.
  17. Muntah yang tidak disengaja, berbeda dengan muntah yang disengaja.

Kedua:

Pekerja yang bekerja pada suhu yang panas atau di bawah terik matahari, seperti; para tukang bangunan, karyawan pabrik besi mereka semua tidak mendapatkan keringanan untuk meninggalkan puasa, kecuali jika sampai pada titik kesulitan terakhir yang akan menyebabkannya mati atau sakit karena kehausan, maka dia tetap wajib berniat puasa pada malam harinya dan pagi dalam kondisi berpuasa, dan jika dia merasa sangat kesulitan maka dia boleh membatalkan puasanya dengan makanan/minuman secukupnya, kemudian tetap menahan tidak makan/minum pada sisa waktu berikutnya dan mengqadha pada hari lain.

Pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kesempatan qadha baginya adalah pendapat yang tidak benar, karena dia bisa berpuasa selama waktu liburnya, atau dia mengambil cuti untuk hal tersebut.

Kalau pekerja tersebut ingin mengkonsumsi larutan garam atau glukosa pun tidak akan memberikan arti apa-apa; karena puasanya tetap batal juga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahkan perbuatannya tersebut dianggap cara yang haram. Oleh karenanya telah disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ (10/252):

“Dibolehkan berobat dengan suntik di lengan dan di otot bagi orang yang berpuasa pada siang hari di bulan Ramadhan, dan tidak dibolehkan bagi yang sedang berpuasa menjalani pengobatan suntik suplemen gizi pada siang hari di bulan Ramadhan; karena hukumnya sama dengan makan dan minum. Menjalani suntik suplemen gizi tersebut dianggap siasat agar bisa membatalkan puasa Ramadhan, jika memungkinkan untuk menjalani pengobatan tersebut pada malam hari maka hal itu lebih utama”.

Baca juga tentang puasanya mereka para pekerja berat pada jawaban soal no.  12592 dan no. 43772 .

Ketiga:

Dalam masalah niat ada hal yang berlawanan dalam masalah ini, yaitu adanya sikap mencari-cari celah. Misalnya melakukan safar dengan tujuan agar dapat membatalkan puasa. Maka diharamkan baginya safar dan haram juga membatalkan puasanya. Namun akan berbeda dengan seseorang yang melakukan safar tapi tidak dengan niat tersebut.

Disebutkan dalam Kasyful Qana’ dari kitab-kitab Hanabilah (2/312): “Jika seseorang bepergian dengan tujuan agar dapat membatalkan puasanya, maka haram hukumnya, maksudnya diharamkan baginya safar dan membatalkan puasa. Karena tidak ada alasan lain dari perjalanannya kecuali untuk membatalkan puasa. Adapun diharamkannya membatalkan puasa; karena tidak ada alasan yang membolehkan hal itu. Diharamkan baginya safar; karena safar dijadikan sarana untuk membatalkan puasa, maka haram dilakukan olehnya”.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam