Alhamdulillah.
Pertama:
Wanita memberikan syarat kepada suaminya agar tidak menikah dengan wanita lain (poligami) termasuk syarat yang diperbolehkan dalam Mazhab Imam Ahmad rahimahullah dan itu dinukil dari sebagian shahabat dan tabiin. Dan pilihan dari sekelompok peneliti para ulama. Telah ada penjelasan hal itu dalam jawaban no. 108806, 223559, 228848.
Kedua:
Kalau keduanya masuk Islam dalam rentang waktu yang tidak panjang diantara keduanya atau suaminya masuk Islam sebelum selesai waktu iddahnya setelah (istrinya) masuk Islam, maka keduanya tetap dalam akad nikah pertama.
Dalam kondisi seperti ini, istri tidak diperbolehkan mensyaratkan kepada suaminya agar tidak mempoligaminya. Karena syarat yang diakui dalam akad adalah yang dapat dimulai atau telah terjadi kesepakatan sebelum nikah. Kalau istri telah masuk Islam sebelum suaminya, sementara suaminya terlambat masuk Islam. Sampai selesai iddahnya, maka pernikahannya waktu itu telah terputus. Kalau suaminya masuk islam setelah itu, maka keduanya harus dengan akad baru menurut jumhur ulama. Agar istrinya halal rujuk kepadanya. Dalam kondisi seperti ini –maksudnya ketika ingin memulai akad nikah baru – maka tidak mengapa (istri) mensyaratkan apa yang dikehendakinya dari syarat yang ingin ditetapkan disertai dengan akad baru. Tidak mengapa dia mensyaratkan agar tidak menikah dengan (wanita lain) atasnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kalau salah satu pasangan masuk Islam dan yang pasangan lain terlambat sampai selesai iddahnya, maka pernikahannya terputus menurut pendapat kebanyakan para ulama’. Selesai dari ‘Al-Mugni, (7/154).
Telah ada penjelasan dalam masalah ini bahwa yang kuat bahwa setelah selesai masa iddahnya maka istri ada pilihan, menunggu Islam suaminya, kalau (suaminya) masuk Islam, maka dikembalikan pada pernikahan pertama. Atau dia (wanita) diperbolehkan menikah lelaki lain yang diinginkan.
Ketiga:
Sementara syarat yang diikutkan dalam akad setelah selesai, maka ia tidak menjadi keharusan dari kedua pihak. Al-Mardawi Al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Syarat yang diakui dalam pernikahan di bab ini yang disebutkan pada tempatnya adalah inti dari akad itu. Hal itu dikatakan dalam kita ‘Al-Muharra dan lainnya. Syekh Taqiyudin rahimahullah, “Begitu juga kalau keduanya bersepakat sebelum akad menurut yang nampak dalam mazhab. Saya katakan, “Ini yang benar yang tidak ragu lagi.
Kalau telah terjadi syarat setelah akad dan melazimkannya, maka nash dari Imam Ahmad rahimahullah ia tidak menjadi keharusan. Selesai dari ‘Al-Insof, (8/154)’
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sementara pernikahan, maka tidak mungkin adalah syarat susulan. Karena ia tidak ada pilihan menurut mazhab. Dalam perdagangan memungkinkan syarat setelah akad. Sebagaimana susulan dalam khiyar majlis atau khiyar syarat seperti tadi. Selesai dari ‘Syarkh Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, (12/163).
Keempat:
Yang harus dilakukan wanita ini adalah bersegera masuk Islam, jangan menjadikan permasalahan pernikahan suaminya yang kedua menjadi kendala baginya dan suaminya. Karena hal itu termasuk ancaman syetan atasnya dan melemahkan dia masuk Islam.
Maka dia harus menghinakan syetan dan jangan mentaatinya dalam ancamannya. Dan apa yang dihembuskan dalam hatinya dari lintasan pikiran yang memberatkan dia masalah keislamannya dan keislaman suaminya. Bahkan selayaknya berbaik sangka kepada Allah, hendaknya diketahui bahwa tidak akan hilang kalau dia masuk Islam. Bahkan setiap kali hamba menghadap kepada Allah, maka Allah akan menerima lebih besar dibandingkan dengan penerimaan hambanya. Akan dicintai, dimulyakan dan dimudahkan urusannya oleh Allah. Allah ta’ala berfirman:
(وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِب ) الطلاق/ 2-3
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” QS. At-Talaq: 2-3.
Kita memohon kepada Allah untuk suami istri agar mendapatkan hidayah.
Wallahu a’lam .