Sabtu 8 Jumadil Ula 1446 - 9 November 2024
Indonesian

Apakah Seorang Laki-laki Dari Kalangan Para Sahabat Hidup Bersama Ayahnya Setelah Menikah Atau Pindah ke Rumah Sendiri ?

261757

Tanggal Tayang : 10-10-2018

Penampilan-penampilan : 3534

Pertanyaan

Apakah para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- setelah menikah hidup bersama orang tua mereka atau mereka pindah ke rumah sendiri ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pada umumnya kebiasaan kehidupan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- adalah yang biasa juga dilakukan oleh manusia, bahwa seseorang jika sudah menikah menjadikan rumahnya terpisah berbeda dengan rumah bapaknya, tidak ada kekhususan keadaan para sahabat dalam hal ini.

Di antara beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu adalah sebagai berikut:

Apa yang telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya (19822) dengan sanad yang shahih dari jalur Mu’ammar, dari Ayub, dari Nafi’ berkata:

“Telah sampai berita kepada Umar bahwa Shofiyyah istrinya Abdullah bin Umar telah menutupi rumahnya dengan tirai bergambar atau dengan yang lainnya, yang diberikan oleh Abdullah bin Umar. Maka Umar berpendapat dan beliau ingin mencabutnya. Berita ini menyebar ke mereka dan mereka pun mencabutnya. Pada saat Umar datang, maka tirai tersebut sudah tidak ada. Beliau berkata: “Ada apa gerangan suatu kaum, mereka mendatangi kami dengan sesuatu yang mengandung dusta”.

Yang menjadi istidlal (pengambilan dalil) dari riwayat di atas adalah pada saat Umar mendengar bahwa menantunya (istri dari Abdullah bin Umar) telah menutupi rumahnya dengan tirai yang bergambar, maka beliau mendatangi rumah anaknya, hanya saja mereka mencabutnya sebelum Umar sampai ke rumah tersebut, hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak tinggal dalam satu rumah.

Riwayat lainnya adalah riwayat An Nasa’i dalam sunannya: 2398 dengan sanad yang shahih melalui jalur Yahya bin Hammad berkata: “Abu ‘Uwanah telah meriwayatkan kepada kami dari Mughirah dari Mujahid berkata: “Abdullah bin ‘Amr telah berkata kepadaku:

أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ ، فَكَانَ يَأْتِيهَا فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا ، فَقَالَتْ: نِعْمَ الرَّجُلُ، مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا ، وَلَمْ يُفَتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ !!فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: (ائْتِنِي بِهِ (فَأَتَيْتُهُ مَعَهُ ، فَقَالَ: ( كَيْفَ تَصُومُ؟ ) قُلْتُ: كُلَّ يَوْمٍ .قَالَ: (صُمْ مِنْ كُلِّ جُمُعَةٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ)، قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ: (صُمْ يَوْمَيْنِ وَأَفْطِرْ يَوْمًا )، قَالَ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ:(صُمْ أَفْضَلَ الصِّيَامِ ، صِيَامَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، صَوْمُ يَوْمٍ وَفِطْرُ يَوْمٍ

“Ayahku menikahkanku dengan seorang wanita yang mempunyai kedudukan, beliau mendatanginya dan menanyakan tentang keadaan suaminya, ia menjawab: “Dia adalah suami terbaik, (Cuma) tidak menyentuh kami di ranjang dan tidak menggauli kami semenjak kami hadir dalam kehidupannya !!. Kemudian beliau menyebutkan hal itu di hadapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya beliau bersabda: “Hadirkanlah ia kepadaku”. Maka kami berdua mendatangi beliau. Lalu beliau bertanya: “Bagaimana kamu berpuasa ?”, ia menjawab: “Setiap hari”, beliau bersabda: “Berpuasalah setiap Jum’at (pekan) tiga hari”, saya menjawab: “Saya mampu lebih dari itu”, beliau bersabda: “Berpuasalah dua hari dan sehari tidak berpuasa”. Dia menjawab: “Saya mampu lebih dari itu”, beliau bersabda: “Berpuasalah dengan sebaik-baik puasa, yaitu; puasa Daud –‘alaihis salam- puasa satu hari dan berbuka satu hari”.

An Nasa’i telah meriwayatkan di dalam kitab Sunannya (2392) dengan sanad yang hasan, melalui jalur Muhammad bin Salamah, dari Ibnu Ishak, dari Muhammad bin Ibrohim, dari Abi Salamah bin Abdurrahman, berkata:

دَخَلْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قُلْتُ : أَيْ عَمِّ حَدِّثْنِي عَمَّا قَالَ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . قَالَ : يَا ابْنَ أَخِي إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَجْمَعْتُ عَلَى أَنْ أَجْتَهِدَ اجْتِهَادًا شَدِيدًا ، حَتَّى قُلْتُ لَأَصُومَنَّ الدَّهْرَ ، وَلَأَقْرَأَنَّ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَسَمِعَ بِذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَانِي حَتَّى دَخَلَ عَلَيَّ فِي دَارِي ، فَقَالَ ( بَلَغَنِي أَنَّكَ قُلْتَ لَأَصُومَنَّ الدَّهْرَ وَلَأَقْرَأَنَّ الْقُرْآنَ ) فَقُلْتُ : قَدْ قُلْتُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : (فَلَا تَفْعَلْ صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ) قُلْتُ : إِنِّي أَقْوَى عَلَى أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ ، قَالَ : (فَصُمْ مِنْ الْجُمُعَةِ يَوْمَيْنِ: الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ) ، قُلْتُ فَإِنِّي أَقْوَى عَلَى أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكِ ، قَالَ : (فَصُمْ صِيَامَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام ، فَإِنَّهُ أَعْدَلُ الصِّيَامِ عِنْدَ اللَّهِ ؛ يَوْمًا صَائِمًا ، وَيَوْمًا مُفْطِرًا . وَإِنَّهُ كَانَ إِذَا وَعَدَ لَمْ يُخْلِفْ ، وَإِذَا لَاقَى لَمْ يَفِرَّ

“Saya telah mendatangi Abdullah bin Amr dan saya berkata: “Wahai paman, ceritakanlah apa yang telah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepadamu”. Beliau berkata: “Wahai keponakanku, sungguh saya telah mengumpulkan daya untuk bersungguh-sungguh dengan keras, sampai aku katakan pasti aku akan berpuasa sepanjang tahun, dan pasti aku akan membaca Al Qur’an sepanjang siang dan malam, kemudian hal itu didengar oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai beliau datang menemuiku di rumah, seraya beliau bersabda: “Saya mendengar kabar bahwa kamu akan berpuasa sepanjang tahun dan membaca Al Qur’an”. Saya menjawab: “Benar, saya telah mengucapkannya wahai Rasulullah”. Beliau menjawab: “Jangan dilakukan, berpuasalah tiga hari setiap bulan”, saya menjawab: “Sungguh saya mampu lebih banyak dari itu”, beliau bersabda: “Maka berpuasalah dalam satu Jum’at (pekan) dua hari: hari Senin & Kamis”, saya berkata: “Sungguh saya mampu lebih dari itu”, beliau bersabda: “Maka berpuasalah dengan puasa Daud –‘alaihis salam-, karena puasa tersebut adalah puasa yang paling adil menurut Allah, satu hari berpuasa dan satu hari tidak berpuasa. Dan jika dia telah berjanji tidak pernah diingkari, dan jika bertemu tidak lari”.

Yang menjadi dalil dalam hadits di atas adalah bahwa Abdullah bin Amr setelah menikah, ayahnya mengunjunginya dan bertanya kepada istrinya tentang keadaan Abdullah bersamanya, maka setelah diketahui bahwa dia terus sibuk dengan ibadah dari pada istrinya, maka ayahnya mengadukannya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka beliau mendatangi rumah Abdullah, maka hal ini menunjukkan bahwa Abdullah bin ‘Amr setelah menikah tinggal di rumah selain rumah ayahnya.

Kemudian juga telah disebutkan di dalam Al Qur’an perbedaan rumah-rumah para bapak dan rumah-rumah para anak, sebagaimana dalam firman-Nya:

 لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ   النور/61.

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya”. (QS. An Nur: 61)

Imam Mujahid berkata pada saat mentafsiri ayat ini:

“Ada seseorang yang mengantar orang buta, orang sakit, dan orang pincang ke rumah ayahnya, atau ke rumah saudaranya, paman dari ayah, paman dari ibu, atau bibinya. Dan mereka yang lemah ini merasa tidak nyaman. Mereka berkata: “Mereka ini mengantar kami ke rumah selain rumah mereka”, maka turunlah ayat ini sebagai bentuk rukhsah (keringanan) kepada mereka”. (Imam Thabari di dalam tafsirnya: 17/368) dengan sanad yang shahih.

Ibnu ‘Asyur di dalam At Tahrir wa Tanwir (18/301) berkata:

“Dan mengaitkan rumah-rumah mereka sendiri dengan rumah-rumah orang tua mereka, dan tidak disebutkan rumah-rumah anak-anak mereka (pada ayat di atas). Padahal mereka (anak-anak) lebih dekat kepada mereka yang makan dari pada kepada orang tua, maka mereka sebenarnya lebih berhak untuk makan dari rumah mereka . Dikatakan; karena anak-anak mereka tinggal bersama orang tua, dan hal ini tidak benar. Karena seorang anak jika sudah menikah ia membangun rumah untuk dirinya, sebagaimana riwayat Abdullah bin Umar”.

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di antara para sahabat setelah menikah ada yang tetap tinggal bersama orang tuanya di sebuah rumah yang mengumpulkan mereka semuanya.

Yang menunjukkan hal ini adalah kisah Fatimah binti Qais, bahwa Ath Thahawi telah meriwayatkan di dalam Syarah Ma’ani Al Atsar (3/69) dengan sanad yang shahih dari jalur Amr bin Maimun dari ayahnya, ia berkata: “Saya berkata kepada Sa’id bin Musayyib: “Dimana seorang wanita yang ditalak tiga menjalani masa iddah ?”, beliau menjawab: “Di rumahnya”, lalu saya berkata: “Tidakkah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyuruh Fathimah binti Qais untuk menjalani masa iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum ?”, maka beliau menjawab: “Wanita tersebut telah menimbulkan fitnah bagi banyak orang, panjang lisannya kepada saudara suaminya (menyakiti dengan lisannya), maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyuruhnya untuk menjalani masa iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, beliau termasuk orang yang tidak bisa melihat”.

Ibnu Abdil Bar berkata di dalam Al Istidkar (6/158):

“Bahwa ‘Aisyah pernah berkata dan berpendapat bahwa Fatimah binti Qais tidak dibolehkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar dari rumahnya yang dijadikan tempat untuk mentalak dirinya; karena pemicunya adalah karena kejahatan lisannya kepada kerabat suaminya yang tinggal bersamanya di dalam satu rumah dan karena dia bersama dengan mereka dalam keburukan diluar batas”.

Akan tetapi hal ini tidak mengharuskan rumah tersebut sebagai aset bersama menurut kebiasaan manusia sekarang; karena tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan rincian rumah tersebut dan keadaannya.

Setelah penjelasan di atas, menjadi jelas keadaan para sahabat adalah jika sebagian mereka sudah menikah, mereka berpindah ke rumah selain dari rumah ayahnya, dan kemungkinan ada juga yang tinggal bersama orang tuanya.

Dalam masalah ini ada kelonggaran sesuai dengan kondisi yang ada.

Baca juga jawaban soal nomor: 81933, 227680, 96455.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam