Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Kesulitan Yang Dihadapi Jamaah Haji

Pertanyaan

Apakah tantangan-tantangan yang dihadapin jamaah haji?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi jamaah haji dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Tawaf: Banyak orang yang tawaf dan berdesak-desakkan, khususnya di Hajar Aswad. Karena itu, kami nasehatkan untuk tidak berdesak-desakkan demi mencium Hajar Aswad atau mengusapnya, karena hal itu dapat menyakiti orang yang dosanya lebih besar dari pahala menciumnya. Demikian pula, hendaknya jamaah memilih waktu yang cocok untuk tawaf, sekiranya kepadatan mulai berkurang  sehingga dia dapat melakukan ibadah dengan baik.

Para ulama telah berfatwa bolehnya melakukan tawaf di tingkat atas, meskipun berat, tapi hal itu lebih memungkinkan baginya melakukan manasik sebagaimana mestinya dan lebih menghindari dari kepadatan serta dampak-dampak buruknya.

  1. Sai: Kondisinya sama dengan tawaf, bahkan tempatnya lebih sempit dari tempat tawaf dan kondisinya lebih sulit.
  2. Wukuf di Arafah: Karena saat itu seluruh jamaah haji berkumpul di tempat yang sama dan di waktu yang sama, kemudian mereka juga berangkat pada waktu yang sama, sehingga menyebabkan kesulitan yang besar bagi jamaah haji, baik saat wukuf maupun saat berangkat  dari Arafah.
  1. Muzdalifah: Kesulitan yang ada adalah tidak terdapat fasilitas-fasilitas sebagaimana yang terdapat di tempat-tempat lain, khususnya tempat-tempat untuk buang hajat.

Karena itu, kami nasehatkan agar jamaah haji mengurangi makan dan minum selama di Arafah dan di Muzdalifah sehingga tidak terlalu membutuhka buang hajat sehingga menyulitkan dirinya.

  1. Melontar Jumrah: Disini tampak banyak orang yang saling dorong dan tampak kebodohan mereka, juga ada yang melontar dari tempat yang jauh, adapula yang melontar dengan sepatu atau kayu sehingga dapat membahayakan jamaah haji. Juga permasalahannya di sini jamaah haji berkumpul pada waktu yang sama sehingga menimbulkan berdesak-desakkan.

Karena itu, kami nasehatkan bagi jamaah haji untuk menghindari waktu puncak macet, yaitu waktu Fajar pada hari Idul Adha (tanggal 10 Zulhijah) dan juga waktu tergelincirnya matahari pada hari-hari tasyriq. Hendaknya melontar di malam hari ketika kepadatan sudah mulai berkurang sekali sehingga sambil melontar dapat melakukan zikir kepada Allah dengan tenang. Para ulama telah mengeluarkan fatwa bawah waktu melontar memanjang dari sejak tergelincirnya matahari hingga waktu fajar, maka tidak harus pergi saat kedapatan sangat tinggi sehingga dapat membahayakan diri dan orang lain.

  1.  Tawaf Wada: Sebagian jamaah haji terburu-buru segera ingin pulang ke kampung halamannya, sehingga hal itu menyebabkan berkumpulnya jamaah haji pada waktu yang sama, menimbulkan kepadatan dan bahaya, baik saat pergi ke Masjidilharam, saat tawaf atau saat keluar dari Mekah.

Karena itu kami nasehatkan jamaah haji untuk menunda penyelesaian hajinya pada hari ketiga hari tasyriq, dan tidak tergesa-gesa, dia dapat meraih pahala lebih besar dibanding mereka yang tergesa-gesa. Juga kami nasehatkan untuk menunda kepulangannya beberapa hari saja hingga sebagian jamaah haji sudah pulang, sehingga dia dapat menunaikan tawaf Wada dengan maksimal.

Demikianlah apa yang dapat disimpulkan dari berbagai tantangan dan kesulitan yang umumnya dialami jamaah haji. Inilah di antara hikmah Allah Taala menjadikan ibadah ini dilakukan di tempat yang tandus, jarangan tanaman dan tetumbuhan dan sangat panas, agar dapat menjadi pembeda antara satu hamba dengan hamba lainnya dan bahwa tidak ada yang dapat yang memenuhi panggilan Allah kecuali mereka yang benar-benar ikhlas niatnya.

Dalam kesempatan ini, kamipun ingin berpesan bahwa berbagai halangan dan kesulitan tersebut hendaknya tidak menghalangi seseorang untuk menunaikan ibadah yang telah diwajibkan Allah Taala dalam KitabNya dan melalui lisan Nabinya shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa besarnya pahala, juga tergantung tingkat kesulitannya. Semakin bertambah kesulitannya, maka bertambah pula pahalanya.

عن أم المؤمنين قالت : قلت يا رسول الله يصدر الناس بنسكين وأصدر بنسك واحد قال " انتظري فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم فأهلي منه ثم القينا عند كذا وكذا قال أظنه قال غدا ولكنها على قدر نصبك أو قال نفقتك " .

رواه البخاري ( 1695 ) ومسلم ( 1211 ) .

Dari Ummul Mukminin dia berkata, “Aku berkata, wahai Rasulullah, orang-orang telah selesai dengan melaksanakan dua ibadah (haji dan umrah) sedangkan aku baru selesai satu ibadah (haji saja),” Lalu beliau bersabda, “Tunggulah sampai engkau suci, lalu berangkatlah ke Tan’im, kemudian engkau mulai ihram dari sana, lalu bertemu kami di sini dan di sini.” Saya menduga bahwa beliau mengatakan ‘esok hari’ tapi ‘sesuai keletihanmu’ atau dia berkata, ‘Sesuai nafkahmu.” (HR. Bukhari, no. 1695 dan Muslim, no. 1211)

An-Nawawi berkata, “Sabdanya, ‘Akan tetapi sesuai keletihanmu atau beliau berkata, sesuai dengan nafkahmu’ hal ini tampak menunjukkan bahwa pahala dan keutamaan akan bertambah sesuai beratnya tantangan dan “Nafkah. Yang dimaksud keletihan di sini adalah yang tidak dicela oleh syariat.” (Syarh Muslim, no. 8/152-153)

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengomentari ucapan beliau dengan berkata, “Demikianlah sebagaimana yang beliau sampaikan, akan tetapi masalahnya tidak bersifat mutlak, boleh jadi ada sebagian ibadah yang lebih ringan dibanding lainnya, tapi dia lebih banyak keutamaan dan pahalanya, jika dikaitkan dengan waktu, seperti qiyamullail pada Lailatul Qadar jika dibanding qiyamullail pada malam-malam Ramadan lainnya. Atau juga jika dikaitkan dengan tempat, seperti shalat dua rakaat di Masjidil Haram jika dibandingkan dengan shalat beberapa rakaat di masjid selainnya, atau dikaitkan dengan keutamaan ibadah harta dan fisik, seperti shalat fardhu dari sisi jumlah rakaatnya atau panjangnya bacaan dan semacamnya lebih banyak pahalanya daripada shalat sunah, atau seperti satu dirham untuk zakat lebih besar pahalanya daripada sadaqah sunah. Perkara ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Abdissalam dalam kitab Al-Qawaid, dia berkata, Shalat merupakan penghibur Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sementara bagi orang lain terasa berat. Dan tidaklah shalat orang selainnya walau diiringi kesulitan sama nilainya dengan shalat beliau secara mutlak.

Wallahu a’lam  (Fathul Bari, 3/611)

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam