Alhamdulillah.
Pertama:
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kesembuhan dan kesehatan kepada anda, serta diberi pahala atas musibah yang menimpa anda.
Siapa yang terkena beser (kencing tanpa disadari) maka dia harus menggunakan sesuatu yang dapat menghalangi air seninya tidak menyebar kemana-mana. Seperti pempes, kemudian berwudhu untuk setiap shalat. Kalau dirasa berat berwudhu setiap shalat, maka diperbolehkan menjama’ diantara shalat zuhur dan asar dan antara magrib dengan isya’. Baik jama’ taqdim atau ta’khir. Dan tidak harus mengganti pempesnya kalau ditutup dengan kuat dan tidak ceroboh.
Dalam kitab ‘Syarkh Muntahal Irodat, (1/120) dikatakan, “Diharuskan bagi orang yang terus menerus terkena hadats baik orang yang istihadhoh, beser, madzi atau keluar angin (terus menerus), maka harus dibersihkan tempat yang kotor dengan (sesuatu yang dapat mensucikan) untuk dibersihkan dan ditahannya. Maksudnya melakukan sesuatu yang dapat menahan (agar tidak) keluar semampunya baik dengan memasukan kapas dan mengikat dengan kain yang bersih.
Dan tidak harus mengulanginnya maksudnya mandi dan penahan (pempes) untuk setiap shalat, jikalau tidak ceroboh. Karena tidak memungkinkan menjaga dari hadats yang seringkali didapatkan. Dan berwudhu setiap kali waktu shalat bagi orang yang terus menerus mendapatkan hadats kalau ada sesuatu yang keluar. Selesai dengan edit dan ringkasan.
Diantara ahli ilmu ada yang berpendapat, menaruh pembalut atau pempes tidak wajib, dan ini pendapat mazhab Malikiyah anda boleh mengambil pendapat ini kalau kesulitan memakai pembalut.
Khottab Al-Maliki rahimahullah mengatakan, “Dalam kitab Mudawwanah dianjurkan menahan hal itu dengan kain penahan. Sindi mengatakan, tidak harus karena dia shalat dengan pembalut dimana di dalamnya ada najis sebagaimana dia shalat dengan bajunya.
Sindi mengatakan, “Apakah dianjurkan mengganti pembalut? Ibyani mengatakan, “Hal itu dianjurkan ketika shalat. Dan mencucinya. Menurut pendapat Sahnun,”Tidak dianjurkan dan mencuci kemaluan itu lebih ringan dari hal itu.” Selesai dari ‘Mawahibul Jalil, (1/143).
Khusus terkait dengan shalat, kalau berat bersuci dalam setiap waktu menunaikan shalat, maka anda diperbolehkan menjama’ dua shalat. Maka anda shalat zuhur dan asar dengan satu kali bersuci begitu juga anda melakukan shalat magrib dan isya’.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam ‘Majmu Fatawa, (24/14), “Orang yang sakit dan mustahadhoh dijama’ (shalatnya). Selesai
Sehingga hal ini jelas bisa dilakukan dengan berurutan seperti ini:
- Menjaga dengan kapas atau pempes dan tidah harus menggantinya. Tidak juga membersihkan tempat (kemaluan) untuk setiap shalat, selagi anda kuat dalam membalutnya akan tetapi anda harus berwudhu ketika telah memasuki waktu shalat.
- Kalau anda kesulitan mengikatnya, maka anda dapat mengambil pendapat Malikiyah yang mengatakan tidak wajib hal itu.
- Anda diberi keringanan dalam menjama’ diantara dua shalat
Kedua:
Orang yang mampu menggunakan air harus berwudhu dengan air, tidak boleh bertayamum. Bahkan harus menyewa orang yang dapat membantu berwudhu. Kalau dia tidak mampu berwudhu sendiri dan mempunyai dana menyewa orang yang membantu mewudhukannya.
Dalam kitab ‘Kasyaful Qana’ (1/102) dikatakan, “(Kalau didapatkan terputus (tangannya) dan semisalnya) seperti lumpuh dan sakit yang tidak mampu berwudhu sendiri (ada orang yang (membantu) mewudhukan) atau memandikan (dengan dana sewa yang setara, serta dia mampu tanpa kesulitan) kepada dirinya atau orang yang harus memberikan nafkah kepadanya (maka harus dilakukan) karena dia seperti orang yang sehat. (Kalau didapatkan orang yang membantu bertayamum dan tidak mendapatkan orang yang membantu mewudhukan, maka dia harus melakukan hal itu). Seperti orang sehat yang mampu bertayamum dan tidak mampu berwudhu. (kalau tidak mendapatkan) orang yang membantu mewudhukan dan melakukan tayamum karena tidak mempunyai dana sewa atau tidak mampu menyewa orang (maka dia shalat sesuai dengan kondisinya) dalam Mugni dikatakan, “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan di dalamnya.
Begitu juga kalau tidak mendapatkannya kecuali dengan tambahan sewa normal, kecuali bagi orang yang mampu begitu juga terkait dengan tayamum (maka tidak perlu mengulanginya) bagaikan orang yang tidak mendapatkan dua alat suci (wudhu dan tayamum). (Seperti Istinja’ (bersuci dengan air) maksudnya seperti berwudhu tadi. (Kalau ada salah seorang yang sukarela membantu bersuci, maka dia harus melakukan hal itu). Selesai
Selagi anda mampu berwudhu, maka wajib bagi anda melakukan hal itu dan tidak sah bertayamum.
Ketiga:
Kalau mendapatkan mandi besar karena bermimpi contohnya, sementara dia tidak mampu mandi sendiri, dan tidak mendapatkan orang yang memandikan secara gratis atau tidak mampu membayar sewa, maka diperbolehkan bertayamum untuk jenabat. Seperti yang telah diketahui pada penukilan tadi.
Tidak diperbolehkan meremehkan hal ini, bahkan harus berusaha untuk mandi sendiri atau menyewa orang yang memandikan anda jika tidak mendapatkan orang yang sukarela (membantu anda). kalau anda tidak mampu akan hal itu, maka baru beralih ke tayamum, sampai ketika anda diberi kemudahan untuk mandi, maka harus mandi. Orang lain yang memandikan anda dengan menyiram air ke anda disertai dengan menutup aurat anda. (batasan aurat) dari pusar sampai lutut. Silahkan melihat jawaban soal no. 101816 dan no. 40204.
Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa siapa yang tidak mampu mandi, dan mampu berwudhu. Maka bertayamum untuk jenabat kemudian berwudhu. Tidak diragukan lagi hal itu lebih berhati-hati dan lebih baik. Agar keluar dari perbedaan yang diakui dikalangan ahli ilmu. Kalau anda mampu berwudhu dan tidak mampu mandi seperti dalam pertanyaan anda, maka anda bertayamum untuk jenabat kemudian berwudhu untuk shalat. Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Kalau seorang lelaki dan wanita mampu berwudhu dan bertayamum, maka keduanya harus melakukannya. Kalau mencukupkan dengan tayamum, maka itu diterima menurut salah satu riwayat dikalangan para ulama.
Mazhab Abu Hanifah dan Malik mengatakan, “Tidak boleh berkumpul antara bersuci dengan air dan bersuci dengan tayamum –antara yang asal (pokok) dengan pengganti- maka harus memilih yang ini atau itu.
Sementara mazhab Syafi’I dan Ahmad mengatakan, “Bahkan mandi dengan air semampunya dan sisanya dengan tayamum.
Kalau berwudhu dan bertayamum, maka tidak mengapa didahulukan yang ini atau yang itu. Akan tetapi mendahulukan wudhu itu yang lebih bagus. Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (21/453)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Saya telah melakukan operasi di punggungku. Saya dengan susah mampu berwudhu untuk shalat. Pada suatu malam saya bermimpi sementara saya tidak mampu mandi (jenabat) agar tidak terkena dampak dari luka bekas operasi. Apakah saya cukup bertayamum, apakah saya harus berwudhu setelah bertayamum atau apa yang seharusnya saya lakukan dalam kondisi seperti ini? Mohon fatwanya akan hal itu.
Maka beliau menjawab, “Seharusnya seorang muslim bertakwa kepada Allah semampunya dalam semua kondisi berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
التغابن: 16
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. Taghobun: 16.
Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه، وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم
متفق عليه
“Apa yang saya larang kepada kamu semua, maka jauhilah. Dan apa yang saya perintahkan kepada kamu semua, maka lakukan semampu kamu.” Muttafaq alaihi
Kalau orang yang sakit tidak mampu berwudhu dan mandi, maka cukup baginya bertayamum berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ الآية
المائدة:6
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” QS. Al-Maidah: 6
Orang yang tidak mampu berwudhu atau mandi, maka hukumnya seperti orang yang tidak mendapatkan air. Kalau anda mampu berwudhu tapi tidak mampu mandi, maka berwudhu, sementara mandinya dengan bertayamum. Sebagaimana firman Allah tadi:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
التغابن: 16
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. Taghobun: 16.
Wallahu waliyyut taufiq. Selesai
Wallahu ‘alam