Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Minta Penjelasan Terkait Dengan Hadits: “Barang Siapa Yang Beruban di Dalam Islam, Maka Baginya Cahaya…”

334867

Tanggal Tayang : 19-12-2021

Penampilan-penampilan : 7222

Pertanyaan

Saya berusia 23 tahun, seorang pemudi yang belum menikah, saya telah melewati masa sangat sulit belakangan ini, ada dua helai rambut saya berubah menjadi warna putih, saya telah membaca sebuah hadits yang mengatakan:

 مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

“Barang siapa yang beruban di dalam Islam, maka baginya cahaya pada hari kiamat”.

Apakah hal ini menunjukkan bahwa saya telah mendapatkan pahala melalui uban ?, dan apakah uban itu dianggap sebagai pahala dari sebagian amal sholeh atau karena disebabkan oleh tekanan saja ?, dan apakah nikmat uban hanya berlaku bagi umat Islam saja sebagaimana yang tertera di dalam hadits di atas “Di dalam Islam” ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Dari Amr bin ‘Abasah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ القِيَامَةِ  رواه الترمذي (1635)، وقال: "هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ".

“Barang siapa yang beruban di jalan Allah, maka ia akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat”. (HR. Tirmidzi: 1635 dan ia berkata: “ini adalah hadits hasan shahih gharib)

Dan dari Syurahbil bin As Samth berkata: “Wahai Ka’ab bin Murrah, ia telah meriwayatkan kepada kami dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berhati-hatilah, ia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ القِيَامَةِ   رواه الترمذي (1634)، والنسائي (3144)، ورواه النسائي في "السنن الكبرى" (4 / 288)، والإمام أحمد في "المسند" (29 / 606) بلفظ:  شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللهِ  .

“Barang siapa yang beruban di dalam Islam, maka baginya cahaya pada hari kiamat”. (HR. Tirmidzi: 1634 dan Nasa’i: 3144, diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam Sunan Kubro: 4/288, dan imam Ahmad di dalam Musnad: 29/606 dengan redaksi: “beruban di jalan Allah).

Maka dengan riwayat di jalan Allah, maka artinya bahwa barang siapa yang beruban disebabkan susahnya berusaha dalam ketaatan.

Akan tetapi menurut riwayat; “beruban di dalam Islam”, telah nampak apa yang menjadi saksinya.

Dari Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

منْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ، كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ  رواه ابن حبان (2983)، وقوى إسناده محقق "الإحسان" الشيخ شعيب الأرنؤوط، وصححه الشيخ الألباني في "التعليقات الحسان" (5 / 21(“

“Barang siapa yang beruban di dalam Islam,  maka baginya cahaya pada hari kiamat”. (HR. Ibnu Hibban: 2983 dan peneliti Al Ihsan Syeikht Syuaib Al Arnauth telah menguatkan sanadnya, dan telah di tashih oleh Albani di dalam At Ta’liqaat Al Hisan: 5/21)

At Thibiy rahimahullah berkata:

“Barang siapa yang beruban di jalan Allah”, artinya adalah barang siapa yang bermujahadah hingga beruban rambutnya, maka baginya apa yang tidak dinilai dari pahala, maka hal itu menunjukkan pengkhususan penyebutan cahaya dan pengingkaran di dalamnya. Dan barang siapa yang meriwayatkan “Di dalam Islam” dari pada “Di jalan Allah” maka ia menginginkan ilmu khusus, atau menamakan jihad itu adalah Islam, karena menjadi tiang, dan ujung tombaknya”. (Syarhu Al Misykat: 8/2669)

Akan tetapi hal ini tidak menafikan bahwa hal ini adalah keadaannya dalam mujahadah, baginya cahaya yang besar disebabkan oleh mujahadah (kesungguhan) nya, dan umat Islam lainnya masing-masing baginya cahaya dari ubannya sesuai dengan derajat keimanannya dan keterkaitannya dalam ketaatan, dan hal ini menunjukkan adanya riwayat yang menunjukkan bahwa cahaya uban itu bagi umat Islam secara umum, tidak hanya khusus bagi mereka yang sungguh-sungguh saja dari mereka, sebagaimana di dalam hadits Abdullah bin Amr:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نَتْفِ الشَّيْبِ، وَقَالَ: إِنَّهُ نُورُ المُسْلِمِ  رواه الإمام أحمد في "المسند" (11 / 550)، والترمذي (2821)، وأبو داود (4202)، وقال الترمذي: " هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ ".

“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk mencabut uban, dan bersabda: “ia adalah cahaya seorang muslim”. (HR. Imam Ahmad di dalam Musnad: 11/550 dan Tirmidzi: 2821 dan Abu Daud: 4202 dan Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits yang hasan”.)

Ibnu Hibban (2985) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ، فَإِنَّهُ نُورٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كُتِبَ لَهُ بِهَا حَسَنَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، وَرُفِعَ له بها درجة  ، وحسّن إسناده محقق "الإحسان" الشيخ شعيب الأرنؤوط، وكذا الشيخ الألباني في "التعليقات الحسان" (5 / 22 – 23(

“Janganlah kalian mencabut uban, karena sebagai cahaya di hari kiamat, dan barang siapa yang beruban di dalam Islam dengan satu uban maka akan tercatat sebagai satu kebaikan, dan digugurkan satu kesalahan, dan diangkat dengannya satu derajat”. (Peneliti Al Ihsan Syeikh Syuaib Al Arna’uth telah menyatakan sanadnya hasan, demikian juga syeikh Albani di dalam At Ta’liqaat al Hisan: 5/22-23)

Al Mubarakfuri –rahimahullah- berkata:

“Ucapannya: “Beliau telah melarang untuk mencabut uban”, maksudnya adalah rambut putih baik jenggot atau kepala (sabda beliau sebagai cahayanya seorang muslim), bentuk susunan redaksi dengan idhafah (penyandaran) ini untuk pengkhususan, yaitu kewibawaannya yang mencegahnya dari tertipu disebabkan pecahnya nafsu dari syahwat dan kemalasan, dan hal itu akan menyebabkan cahaya bagi amal sholeh lalu menjadi cahaya di dalam kuburnya, dan menjalar di hadapannya di dalam kegelapan padang mahsyarnya”. (Tuhfatul Ahwadzi: 8/88)

Kedua:

Sebaiknya bagi seorang muslim  untuk memperhatikan kepada risau dan galau dan apa yang menimpa seorang muslim dari mulai lemah, uban dan yang lainnya, hal itu termasuk perkara yang baik bagi seorang muslim di mana kesalahan-kesalahannya akan diampuni.

Dari Atha’ bin Yasar dari Abu Sa’id Al Khudri dari Abu Hurairah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ  رواه البخاري (5641)، ومسلم (2573(

“Apa yang menimpa seorang muslim, dari kelelahan, rasa sakit, galau, sedih, penyakit, kedukaan, sampai duri yang menusuk, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya”. (HR. Bukhori: 5641 dan Muslim: 2573)

Dan sebaiknya bagi seorang muslim agar bersabar dengan baik saat mengalami semua bentuk kesedihan ini dan uban yang menyertainya, jika ia melakukan hal itu maka dijanjikan kepadanya pahala yang besar.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ الزمر/10

“Hanya orang-orang yang sabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (QS. Az Zumar: 10)

Syeikh Abdurrahman As Sa’di –rahimahullah- berkata:

“Hal itu umum berlaku kepada semua bentuk kesabaran, sabar kepada takdir Allah yang menyakitkan dan ia tidak membencinya, dan sabar dari maksiat dan ia tidak melakukannya, dan sabar dalam ketaatan sampai ia melaksanakannya, maka Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala tidak terhitung, yaitu; tanpa batas, tidak terhitung dan tidak terukur. Tidaklah hal itu diterima kecuali karena keutamaan sabar dan tempatnya di sisi Allah dan Dia Maha membantu pada setiap urusan”. (Tafsir As Sa’di: 721)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam