Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Kekeliruan Saat Berangkat Ke Arafah

Pertanyaan

Apakah kekeliruan yang dilakukan jamaah haji pada hari Arafah?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Alhamdulilllah 

Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat dari Nabi shallalalhu alaihi wa sallam bahwa beliau singgah pada hari Arafah di Namirah (sebuah tempat sebelum Arafah) hingga matahari tergelincir (awal waktu Zuhur), kemudian dia menaiki kendarannya lalu turun di lembah Uranah (lembah Antara Namirah dan Arafah). Kemudian beliau shalat Zuhur dan Ashar dua rakaat-dua rakaat dengan cara jamak taqdim dengan satu azan dan dua iqamah. Kemudian beliau mengendarai lagi kendaraannya hingga tiba di tempat wuqufnya, lalu beliau wuquf di sana. Kemudian beliau bersabda, “Aku wakuf di sini, Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf.” Beliau terus wukuf dalam keadaan menghadap kiblat, mengangkat kedua tangannya berzikir dan berdoa kepada Allah hingga matahai terbenam, lalu beliau berangkat menuju Muzdalifah.”

Di Antara kekeliruan yang dilakukan jamaah haji di Arafah adalah sebagai berikut;

Pertama: Jamaah haji lewat di hadapan anda, tapi anda tidak mendengar mereka bertalbiah, mereka tidak mengeraskan suara talbiahnya saat berjalan dari Mina ke Arafah, padahal terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau terus bertalbiah hingga melontar jumrah Aqabah pada hari Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah).

Di Antara kekeliruan besar dan berbahaya adalah bahwa sebagian jamaah haji wukuf di luar area Arafah hingga matahari terbenam. Kemudian mereka berangkat menuju Muzdalifah. Mereka yang wukuf di luar area wukuf tidak ada haji padanya, berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

الحج عرفة   ( رواه الترمذي، رقم 889  وصححه الألباني في إرواء الغليل، رقم 1064)

“Haji adalah wukuf di Arafah.” HR. Tirmizi no. 889. Dinyatakan sholeh oleh Al-Alban di ‘Iraul Gholil no. 1064.

Maka siapa yang tidak wukuf di tempat yang termasuk area Arafah dan pada waktu yang khusus ditetapkan untuk wukuf, hajinya tidak sah berdasarkan hadits yang telah kami sebutkan di atas. Ini perkara bahaya.

Karena itu, telah dipasang tanda-tanda yang jelas batas-batas Arafah, tidak ada yang tidak mengetahuinya kecuali orang masa bodoh dan menganggap remeh. Maka, wajib bagi setiap jamaah haji untuk mencari batasan-batasan agar dia dapat memastikan bahwa dirinya wukuf di Arafah, bukan di luarnya.

Seharusnya para petugas yang mengurus masalah haji selalu memberikan pengumuman yang dapat sampai kepada seluruh jamaah haji dengan berbagai bahasa  dan memperhatikan para pembimbing haji untuk memberikan peringatan kepada jamaah haji akan hal ini. Agar mereka memiliki pemahaman terhadap masalah ini sehingga mereka dapat menunaikan ibadah haji yang dapat menggugurkan kewajiban mereka.

Ketiga:

Sebagian jamaah haji ada yang sibuk berdoa di penghujung siang. Namun mereka menghadap ke arah bukit tempat wukuf Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (di kaki Jabal Rahmah), padahal kiblat berada di belakang mereka, atau di sebelah kanan atau kiri mereka. Inipun merupakan kekeliruan. Karena yang disyariatkan saat berdoa di Arafah adalah menghadap ke arah kiblat, baik bukit tersebut di depannya atau di belakangnya, di sebelah kanannya atau kirinya. Kalaupun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa menghadap bukit tersebut karena posisinya saat itu di belakang bukit yang berada Antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan kiblat, maka tentu dia menghadap ke arab bukit tersebut (dengan tujuan menghadap kiblat).

Keempat:

Sebagian orang mengira bahwa jamaah haji harus pergi ke tempat wukuf Rasulullah shallallahu alaih wa sallam di kaki bukit dan berwukuf di sana. Untuk mencapai tempat tersebut  mereka menghadapi kesulitan dan keletihan, boleh jadi mereka tidak tahu jalan sehingga tersesat, kelaparan dan kehausan sehingga mereka mengalami kejadian yang sangat buruk akibat pemahaman keliru tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

" وقفت هاهنا وعرفة كلها موقف " .

“Aku wukuf di sini, dan Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf.”

Seakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa selayaknya seseorang tidak memberatkan dirinya untuk berwukuf di tempat wukuf Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi hendaknya dia melakukan yang mudh baginya, karena Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf.

Kelima:

Sebagian orang berkeyakinan bahwa pohon-pohon di Arafah seperti pohon-pohon di Mina dan Muzdalifah yang tidak boleh dipotong daunnya atau dipetik daunnya atau semacamnya. Karena mereka mengira bahwa memotong pohon di sana terkait dengan hukum ihram seperti memburu. Ini pemahaman keliru. Karena memotong pohon tidak ada kaitannya dengan ihram, akan tetapi kaitannya dengan tempat. Pohon yang terdapat dalam wilayah tanah haram maka dia dihormati; Tidak boleh dicabut, dipotong batangnya atau dipetik daunnya. Adapun tumbuhan yang tumbuh di luar tanah haram, tidak mengapa dipotong walaupun oleh orang yang sedang ihram. Dengan demikian, memotong pohon di Arafah, tidaklah mengapa. (Adapun tumbuh-tumbuhan yang ditanam manusia, tidak termasuk tumbuhan yang haram dipotong di tanah haram. Akan tetapi bisa jadi haram dipotong karena sebab lain, yaitu dianggap merugikan pihak yang menanamnya atau hak jamaah haji juga, karena boleh jadi tumbuhan tersebut ditanam sebagai tempat bernaung mereka dari panas matahari. Maka, pohon di Arafah, tidak boleh dipotong, bukan karena dia ada di tanah haram, akan tetapi karena jika dipotong dapat merugikan hak kaum muslimin secara umum)

Keenam:

Sebagian jamaah haji berkeyakinan bahwa kaki bukit tempat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan wukuf adalah tempat yang memiliki kesucian secara khusus. Karena itu mereka mendatangi tempat itu, mendakinya dan mengharap berkah dari bebatuan dan tanahnya, menggantungkan potongan-potongan kain dan perkara lainnnya yang telah dikenal. Ini merupakan bid’ah. Tidak disyariatkan mendaki bukit tersebut, juga tidak shalat di dalamnya, jika tidak disyariatkan menggantungkan potongan-potongan kain di pohon-pohon. Karena semua itu tidak ada ajarannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahkan di sana terdapat aromah paganism (penyembahan terhadap berhala). Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin tempat mereka menggantungkan pedang-pedang mereka. Maka orang-orang yang bersama beliau berkata, ‘Wahai Rasulullah, jadikan kami (pohon) berduri (Dzatu Anwatin) sebagaimana mereka memiliki pohon seperti itu.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allahu akbar, itulah sikap ikut-ikutan. Sungguh kalian akan ikut-ikutan ajaran orang-orang sebelum kalian. Sungguh kalian telah mengatakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Jadikan untuk kami tuhan sebagaimana memiliki tuhan-tuhan.” (HR. Tirmizi, no. 2180, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Ash-Sunnnah, Ibnu Abi Ashim)

Gunung tersebut tidak memiliki kesucian, dia seperti bukit lainnya di Arafah. Tapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan wukuf di sana, maka yang disyariatkan adalah wukuf di tempat wukuf Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika hal itu mudah baginya. Jika tidak, maka perkara itu bukan wajib dan tidak layak seseorang memberatkan dirinya untuk pergi ke sana sebagaimana telah kami sebutkan.

Ketujuh:

Sebagian jamaah haji mengira bahwa dia harus shalat Zuhur dan Ashar bersama imam di masjid (Namirah). Karena itu akan anda dapati mereka menuju masjid itu agar dapat shalat bersama imam, maka mereka akan mengalami kesulitan dan kepayahan, kadang hingga tersesat, sehingga ibadah haji bagi mereka tampak menyusahkan dan sempit, kemudian mereka satu sama lain saling berdesak-desakan dan saling menyakiti. Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata dalam wukuf,

وقفت هاهنا وعرفة كلها موقف

“Aku wukuf di sini dan Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

جُعلت لي الأرض مسجدا وطهورا

“Telah dijadikan unntuk bumi itu sebagai tempat shalat dan alat bersuci (tayammum).”

Jika seseorang shalat di kemahnya dengan tenang, tanpa menyakiti dan mengganggu dan tanpa kesulitan, maka hal itu lebih baik dan lebih utama.

Kedelapan:

Sebagian jamaah haji keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam, lalu mereka berangkat ke Muzdalifah. Ini kekeliruan besar. Di dalamnya ada sikap penyerupaan terhadap orang-orang musyrik yang keluar dari Arafah sebelum matahari terbenam dan menyelisihi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tidak keluar dari Arafah kecuali setelah matahari terbenam dan awan kuning sudah menghilang sedikit. Sebagaimana terdapat dalam hadits Jabir radhiallahu anhu.

Karena itu, jamaah haji harus menetap dalam batas Arafah hingga matahari terbenam, karena waktu wukuf telah ditetapkan hingga matahari terbenam. Sebagaimana tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk berbuka sebelum matahari terbenam, maka orang yang wukuf tidak boleh meninggalkan Arafah sebelum matahari terbenam.

Kesembilan;

Menghabiskan waktu tanpa manfaat. Ada jamaah haji yang sejak awal waktu hingga sebagian akhir waktu wukuf tenggelam dalam pembicaraan kesana kemari, mungkin di dalamnya tidak ghibah atau mencederai kehormatan orang lain, mungkin juga ada ghibah dan mencederai kehormatan orang lain seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Jika kondisinya seperti golongan kedua, maka mereka terkena dua pelanggaran;

Salah satunya, memakan bangkai saudaranya dengan melakukan ghibah. Ini adalah kemungkaran, walaupun dia dalam keadaan ihram. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال في الحج

“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[Perkataan korok], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” SQ. Al-Baqarah: 197

Perkara berikutnya adalah menyia-nyiakan waktu.

Adapun jika pembicaraannya bebas dari perkara-perkara yang diharamkan, maka di dalamnya terdapat tindakan menyia-nyiakan waktu. Tidak mengapa sebenarnya jika dia melakukan pembicaraan panjang yang bebas dari perkara yang diharamkan selagi matahari belum tergelinir (waktu zuhur). Adapun setelah matahari tergelincir dan setelah shalat Zuhur dan Ashar, maka yang lebih utama adalah menyibukkan diri dengan doa dan zikir  serta membaca Al-Quran, demikian pula diboleh berbicara dengan pembicaraan yang bermanfaat, jika seseorang mulai jenuh berzikir dan membaca Al-Quran. Misalnya dengan memberikan informasi bermanfaat, atau sesuatu yang membahagian saudaranya, atau menyemangati dan memberi harapan akan rahmat Allah Ta’la. Akan tetapi di akhir siang, hendaknya dia manfaatkan waktu berdoa, munajat, berharap karunia dan rahmat-Nya dan hendaknya dia bersungguh-sungguh berdoa serta memperbanyak doa-doa yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, karena hal itu sebaik-baiknya doa yang apabila dipanjatkan pada waktu yang mustajabah, maka lebih besar lagi kemungkinan dia akan diijabah (dikabulkan)..”.

Refrensi: Diambil dari Dalil Al-Akhtha Allazi Yaqa Fiiha Al-Hajj wal Mu’tamir