Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Orang Tersihir Yang Tidak Bisa Berpuasa, Apakah Dia Memberi Makan (sebagai kafaratnya)?

404796

Tanggal Tayang : 05-03-2024

Penampilan-penampilan : 831

Pertanyaan

Ada seorang wanita berumur 33 tahun dalam kondisi kena sihir sekitar 5 tahun yang lalu. Dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Meskipun kita sudah berusaha keras mengatasinya. Dia tidak mampu mendengarkan Qur’an meskipun sebentar saja. Terkadang dia tidak mempunyai kekuatan akalnya secara penuh. Pertanyaannya adalah apakah dia harus membayar kafarat (penebus) puasa dengan memberikan makanan untuk orang miskin ketika telah datang bulan Ramadhan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Orang yang terkena sihir tu banyak kondisinya:

Pertama:

Sihirnya berpengaruh terhadap akalnya sehingga dia tidak sadar. Dia berbicara yang dia tidak inginkan, melakukan sesuatu yang dia tidak inginkan. Meninggalkan kewajiban tanpa terasa. Maka (kondisi semacam ini) tidak terkena beban kewajiban (mukallaf), dia tidak berdosa ketika meninggalkan shalat dan puasa. Karena dia dihukumi seperti orang gila. Sementara Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ (رواه أبو داود في السنن رقم/4403، وصححه الألباني في "صحيح أبي داود)

“Diangkat pena (kewajiban) dari tiga orang, dari orang tidur sampai dia bangun. Dari anak kecil sampai dia dewasa (balig bermimpi) dari dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Dawud di Sunannya, (no/4403) dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shaheh Abu Dawud)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang gila dan anak kecil yang belum mumayiz (belum dapat membedakan baik buruk), tidak ada kewajiban ibadah badan seperti shalat, puasa dan haji.” (Minhaj As-Sunnah, 6/49).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Permasalahannya, apakah orang yang terkena sihir itu seperti orang gila? -Kita memohon kesehatan kepada Allah- Orang yang terkena sihir  itu termasuk jenis gila. Kalau dia menceraikan, tidak jatuh cerainya. Kalau dia melakukan ‘ilaa, juga tidak jatuh ilaa’nya. Kalau dia melakukan zihar, juga tidak sah ziharnya. Karena orang yang terkena sihir akalnya tak berfungsi sempurna.” (As-Syarkhu Al-Mumti’, 13/221).

Kondisi kedua:

Masih berakal, akan tetapi dia tidak berpuasa disebabkan sihirnya. Maka dia harus bersungguh-sungguh pada dirinya dan melakukan kewajiban-kewajiban. Memperbanyak zikir dan ruqyah.

Terdapat riwayat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (1/283), “Orang kesurupan jin itu nyata adanya. Kalau jinnya memerintahkan untuk menyentuh sesuatu yang diharamkan, maka dia (yang terkena jin) harus tetap berpegang teguh dengan syariat Allah. hendaknya dia menentang perintah jin yang mengajak bermaksiat kepada Allah, meskipun disakiti oleh jin. Maka dia harus berlindung kepada Allah dari keburukannya dan membentengi dirinya dengan bacaan Qur’an dan dengan perlindungan yang disyariatkan dengan dzikir-dzikir yang ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, di antaranya adalah:

Meruqyah dengan bacaan surat Al-Fatihah, di antaranya juga membaca surat Al-Ikhas, dan dua surat penjagaan (Al-Falaq dan An-Nas). Kemudian meludah kecil di kedua tangannya dan mengusap wajahnya dan seluruh badan semampunya. Kemudian membaca tiga surat ini kedua kali dan meludah kecil di kedua tangannya dan mengusap wajah dan seluruh badan semampunya. Kemudian membaca ketiga kali, meludah kecil di kedua tangannya dan mengusap seluruh badan semampunya. Dan dengan ruqyah lainnya dari ayat-ayat surat Al-Qur’an, dengn dzikir yang ada ketetapan. Disertai kembali kepada Allah dengan minta kesembuhan. Dan perlindungan dari syetan jin dan manusia.

Silahkan merujuk kitab ‘Al-Kalimut-Thayib’ karangan Ibnu Taimiyah, dan kitab ‘Al-Wabil As-Soyyib’ karangan Ibnu Qoyyim dan ‘Al-Adzkar’ karangan An-Nawawi. Di dalamnya banyak keterangan macam-macam ruqyah.

(Abdullah bin Qo’ud, Abdullah Godyah, Abdorrozzaq ‘Afifi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz)

Kalau wanita itu semacam ini dia ditundukkan oleh sihir, maka dia tidak bisa berpuasa bukan karena faktor kelalaian darinya –padahal dia mengetahui dan berakal serta badannya sehat- maka dia tidak berdosa, dan dia harus mengqadhanya ketika sembuh nanti. hal itu kalau sihirnya ada harapan sembuh. Sakit kalau ada harapan sembuh, tidak ada kewajiban lain kecuali mengqadhanya berdasarkan firman Allah ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

سورة البقرة: 183، 184

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 183-184)

Kalau sihir itu berpengaruh pada badannya, sehingga dia tidak mampu berpuasa untuk hal itu:

Kalau ada harapan  sembuh, maka dia harus mengqadha. Dan kalau tidak ada harapan kesembuhan pada jasadnya dan dia sulit berpuasa, maka ketika itu dia dapat memberi makan (fidyah) dan tidak perlu diqadha.

Kondisi ketiga:

Kalau dia sadar beberapa waktu dan tidak sadar beberapa waktu lain, maka dia terkena beban kewajiban saat dia sadar.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apa hukum orang yang berakal (sadar) beberapa waktu dan kerasukan jin pada beberapa waktu lainnya? Atau tidak sadar sehari dan sadar pada hari lainnya.”

Maka beliau menjawab, “Hukum itu berputar bersama adanya illat (sebab). Ketika dia sehat, dan sadar, maka dia diwajibkan berpuasa. Sedangkan ketika dia gila dan tidak sadar, maka dia tidak berpuasa.

Jika dia gila sehari dan sadar sehari atau tidak ingat sehari dan ingat sehari, maka dihari ketika dia sadar diharuskan dia berpuasa. Sementara dihari ketika tidak sadar, dia tidak diharuskan berpuasa. (Fatawa Ibnu Utsaimin, 19/88).

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam