Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Apakah Dapat Disimpulkan Dari Kemarahan Nabi sallallahu alaihi wa sallam Dengan Kemarahan Fatimah, Bahwa Fatimah Adalah Ma’shum (terpelihara dari dosa)

43458

Tanggal Tayang : 29-01-2016

Penampilan-penampilan : 9568

Pertanyaan

Sebagian orang Syiah membuat permasalah yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Fatimah radhiallahu anha itu maksum (terjaga dari dosa) dengan berdalil sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
فاطمة بضعة مني فمن أغضبها فقد أغضبني
“Fatimah adalah bagian dariku, siapa yang membuat marah, maka dia telah membuatku marah.”
Dia mengatakan bahwa Fatimah radhiallahu anha ketika marah, termasuk marahnya Rasulullah. Dan marahnya Rasul termasuk marahnya Allah. Oleh karena itu Fatimah radhiallahu anha tidak marah dalam kebatilan maksudnya bahwa beliau itu maksum. Bagaimana menjawab masalah ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Syiah adalah kaum seteru, mereka menyebarkan syubhat yang lemah, lalu membesar-besarkannya hingga tampak seperti hakekat (kebenaran). Kemudian disebarkan  di tengah orang awam untuk mendebatnya. Akan tetapi orang yang Allah karunia pemahaman dalam agamanya, dan bertanya kepada ahli ilmu, maka tidak ragu lagi akan terungkap kebusukan syubhat mereka dan tertolak dalil mereka. Di antara syubhat itu, apa yang disebutkan oleh penanya.

Jawaban dari syubhat ini dari beberapa sisi:

Pertama,

Orang Rofidhah berdalil dengan hadits ini, dan memberian alasan mengambil dalil ini seperti apa yang disebutkan penanya. Untuk memberi kesimpulan bahwa Abu Bakar radhiallahu anhu telah membuat marah Fatimah ketika beliau menolak permintaannya dari warisan Nabi sallalahu alaihi wa sallam. Kalau masalahnya seperti itu, maka Abu Bakar telah membuat marah Fatimah, selanjutnya telah membuat marah Nabi sallallahu alaihi wa sallam, selanjutnya dia telah membuat marah Allah !! ini termasuk bentuk kebodohan mereka. Dimana hadits ini ada asalnya terkait dengan hak Ali radhiallahu anhu wa ardhohu, telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Miswar bin Makhramah beliau mengatakan:

:" إن عليا خطب بنت أبي جهل ، فسمعت بذلك فاطمة فأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت : يزعم قومك أنك لا تغضب لبناتك ، وهذا علي ناكح بنت أبي جهل ، فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فسمعته حين تشهد يقول : أما بعد ، أنكحت أبا العاص بن الربيع فحدثني وصدقني ، وإن فاطمة بضعة مني وإني أكره أن يسوءها ، والله لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وبنت عدو الله عند رجل واحد ، فترك علي الخطبة>

“Sesungguhnya Ali meminang putri Abu Jahal, Fatimah mendengar hal itu. Sehingga beliau mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan, ‘Orang-orrang mengira anda tidak marah untuk putri anda. Lihat, Ali akan menikah dengan putri Abu Jahal.’ Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berdiri, maka saya mendengarkannya ketika beliau bersaksi sambil mengatakan, “Amma ba’du, Saya telah menikahkan Abul Ash bin Robi’ maka dia memberitahuku dan membenarkanku. Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku. Saya tidak suka dia memperlakukannya dengan buruk. Demi Allah tidak akan berkumpul putri Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan putri musuh Allah pada satu orang lelaki.’ Maka Ali meninggalkan pinangannya.”

 “Dalam riwayat Bukhari,

فاطمة بضعة مني فمن أغضبها أغضبني. (روى اليخاري رقم 3523 ، 3556 ، ومسلم برقم 2449)

“Fatimah adalah bagian dariku siapa yang membuatnya marah, maka dia telah membuat marak diriku.” (HR. Bukhari no. 3523, 3556 dan Muslim no. 2449)

Dari riwayat tadi, kelihatan dengan jelas bahwa apabila ada orang yang  terkena celaan dengan hadits itu,  maka yang terkena adalah Ali radhiallahu anhu. Karena sebab adanya hadits tadi adalah keinginan dia meminang putri Abu Jahal dan karenanya waktu itu Fatimah radhiallahu anha marah. Terdapat ketetapan menurut kaidah usul fikih bahwa yang dijadikan ibrah (pelajaran) dari sebuah teks adalah keumuman teksnya bukan kekhususan sebabnya. Akan telah menjadi ketetapan juga menurut mereka bahwa sebab termasuk yang pertama kali masuk dalam teksnya, tidak mungkin keluar sama sekali. Kalau orang Rafidhah ingin mengambil dalil dengan hadits ini untuk mencela Abu Bakar radhiallahunahu. Padahal, karena  kebodohan dan manipulasi mereka, kalaupun di dalamnya ada celaan, maka yang akan terkena lebih dahulu adalah Ali radhiallahu anhu.

Kedua,

Kemarahan dalam hadits karena sebab tertentu, seperti yang tadi disebutkan. Hal itu memberikan manfaat bahwa kemarahanya bukan berarti Fatimah itu maksum atau semisal itu sebagaimana yang disangka orang Rofidhah. Bahkan karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam sangat menjaga perasaan putrinya. Maka apa yang menjadikan putrinya marah, beliau salallahu alaihi wa sallam juga akan marah. Yang menunjukkan hal itu apa yang Terdapat dalam riwayat Muslim

إنما فاطمة بضعة مني يؤذيني ما آذاها

“Sesungguhnay Fatimah adalah bagian dariku, akan menyakiti aku apa yang menyakitinya.”

Ini adalah menyakiti pribadi Nabi sallallahu alaihi wa sallam, tidak ada hubungan dengan kemaksuman sebagaimana yang disangka orang Rofidhah.

Ketiga:

Sesungguhnya Nabi sallallahu alai wa sallam bersabda pada hadits Shahih lainnya:

:" من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله ، ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومن عصى أميري فقد عصاني (رواه رواه البخاري برقم 6718 ، ومسلم برقم 1835)

“Siapa yang mentaatiku, maka dia telah mentaati Allah. Dan siapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa yang mentaati pimpinanku, maka dia telah mentaaatiku. Dan siapa yang bermaksiat kepada pimpinanku maka dia telah bermaksiat kepada diriku.” (HR. Bukhari, no. 6718 dan Muslim no. 1835)

Ini telah disepakati –sampai menurut Rofidhah juga- hal ini berarti seorang pemimpin itu tidak maksum (terjaga dari dosa). Bahkan sebagian pemimpin yang diutus oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah berbuat kesalahan dalam masalah yang diketahui menyalahi kitabullan dan Sunnah Nabinya sallallahu alaihi wa sallam. Hal itu seperti apa yang ada ketetapan dari Ali radhiallahu anhu berkata:

بعث النبي صلى الله عليه وسلم سرية فاستعمل عليها رجلا من الأنصار وأمرهم أن يطيعوه ، فغضب فقال : أليس أمركم النبي صلى الله عليه وسلم أن تطيعوني ؟ قالوا : بلى ، قال فاجمعوا لي حطبا ، فجمعوا فقال : أوقدوا نارا فأوقدوها ، فقال ادخلوها فهمُّوا ( أي فكّروا أن يدخلوها ) وجعل بعضهم يمسك بعضا ويقولون فررنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم من النار فما زالوا حتى خمدت النار فسكن غضبه ، فبلغ النبي صلى الله عليه وسلم فقال لو دخلوها ما خرجوا منها إلى يوم القيامة الطاعة في المعروف.  )رواه البخاري برقم 4085 ، ومسلم برقم 1840(

Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengirim pasukan dan mengangkat seseorang dari Ansor dan beliau memerintahkan (pasukan) agar mentaatinya. Kemudian dengan nada marah dia (pemimpin yang ditunjuk Nabi tersebut) mengatakan, “Bukankah Nabi sallallahu alaiahi wa sallam memerintahkan kamu sekalian untuk mentaatiku?” Mereka mengatakan, “Ya.” Lalu dia mengatakan, “Kumpulkan kayu bakaar untukku.” Mereka pun mengumpulkannya. Lalu dia berkata, “Nyalakan apinya,” Mereka pun menyalakannya. Dia berkata, “Masuklah kamu semua.” Mereka sudah ingin (maksudnya berfikir untuk memasukinya), sedangkan sebagian menahan sebagian lainnya, lalu kami lari dari api dan menghadap Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dan mereka terus melakukan itu sampai apinya padam dan marahnya mereda. Berita tersebut sampai kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan, “Jika mereka masuk (ke dalam api) maka kalian tidak akan keluar sampai hari kiamat. Ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Bukhari, no 4085 dan Muslim, no. 1840)

Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengikat ketaatan ini dalam kebaikan. Dan begitulah kalau kemarahan Fatimah termasuk kemarah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, maka disepakati harus dikaitkan dengan kebaikan. Kalau kemarahan Fatimah bertentangan dengan agama Allah Ta’la. Maka yang baik itu yang dilaksanakan sesuai syariat Allah, meskipun hal itu menjadikan Fatimah marah. Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها

“Kalau Fatimah bin Muhammad mencuri, pasti saya yang akan memotong tangannya.”

Dan sabda beliau lagi, “Wahai Fatimah binti Muhammad, tebuslah dirimu dari Allah, saya tidak memiliki kemampuan membelamu sediktpun juga. Mintalah dari hartaku sekehendakmu.”

Hal ini mengandung makna bahwa beliau tidak maksum (terjaga dari kesalahan).”

Lihat ‘Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 4/250 .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam