Alhamdulillah.
Menikah dengan wanita Yahudi atau Kristen menurut mayoritas ulama itu dibolehkan.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkomentar dalam kitab Al-Mugni, 7/99: “Dikalangan ulama, alhamdulillah, tidak ada perbedaan dihalalkannya (menikah) dengan wanita ahli kitab. Di antara yang meriwayatkan hal itu adalah Umar, Utsman, Hudzaifah, Salman, Jabir, Tolhah dan yang lainnya. Ibnu Munzir berkata: “Tidak ada dari kalangan generasi pertama yang mengharamkan hal itu. Diriwayatkan dari Al-Khallal, dengan sanadnya bahwa Hudzaifah, Tolhah, Al-Jarudi bin Al-Ma’la dan Uzainah Al-Abdi, mereka telah menikah dengan wanita ahli kitab. Dan ini adalah pendapat semua ulama.”
Dalil tentang hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالأِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِين َ (سورة المائدة: 5)
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi." (QS. Al-Maidah: 5)
Maksud dari ‘Al-Muhsonah’ disini adalah wanita merdeka yang menjaga diri. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, "Ini adalah pendapat mayoritas, dan inilah yang lebih kuat. Agar tidak terkumpul pada wanita tersebut sebagai ahli zimmah dan sifat tidak menjaga diri. Sehingga rusak semua kondisinya. Seorang suami yang mendapatkan isteri seperti itu (ahli kitab tapi tidak menjaga diri) ibarat orang yang 'Merugi dengan timbangan yang curang’.
Yang tampak dalam ayat di atas bahwa yang dimaksud dengan ‘Al-Muhshanat’ adalah menjaga diri dari perbuatan zina. Sebagaimana firman Allah di ayat lain ‘Sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya." (QS. An-Nisaa: 25)
Orang Kristen dan Yahudi adalah kafir musyrik sesuai dengan nash Al-Qur’an. Akan tetapi dibolehkannya menikahi para wanitanya adalah karena adanya penkhususan dalam firman-Nya:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ (سورة البقرة: 221)
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." (QS. Al-Baqarah: 221)
Kesimpulan ini lebih tepat agar dapat menggabungkan kedua ayat di atas.
mereka memang telah Allah berikan sifat kesyirikan dalam firmanNya;
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At-Taubah: 31)
Mereka adalah kafir musyrik. Akan tetapi Allah Ta’ala menghalalkan sembelihan dan para wanita mereka yang menjaga kehormatannya. Ayat ini berarti mengkhususkan keumuman ayat dalam surat Al-Baqarah.
Akan tetapi layak diketahui bahwa yang lebih bagus dan lebih selamat, tidak menikah dengan wanita ahli kitab. Terutama pada zaman sekarang ini.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Kalau telah ada ketetapan seperti ini, maka yang lebih utama tidak menikah dengan wanita ahli kitab. Karena Umar berkata kepada orang-orang yang menikahi wanita ahli kitab, "Ceraikanlah mereka," Maka mereka menceraikannya kecuali Hudaifah. Lalu Umar berkata kepada beliau, "Ceraikan dia." Huzaifah menyangggah, "Apakah engkau mau menjadi saksi bahwa dia itu haram?" Umar berkata, "Ceraikan dia, karena dia (ibarat) bara api." Huzaifah berkata, "Apakah anda menjadi saksi bahwa dia haram?" Umar berkata, "Dia adalah bara api." Beliau menimpali, "Saya tahu dia adalah bara api, tapi dia halal bagiku." Namun setelah sekian lama waktu berselang, beliau menceraikannya. Lalu ada yang berkata kepada beliau, kenapa anda tidak menceraikannya ketika Umar memerintahkan kepada anda? Beliau menjawab, "Saya tidak menyukai orang mengira saya menggauli wanita yang tidak halal bagiku." Boleh jadi sang suami hatinya condong kepadanya sehingga dia dapat menimbulkan fitnah baginya, atau mungkin mereka berdua mempunyai anak, lalu sang anak condong kepada ibunya."
Al-Mughni, 7/99.
Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata:
“Kalau wanita ahli kitab dikenal dengan menjaga diri dan jauh dari jalan keburukan, maka dibolehkan menikahinya. Karena Allah membolehkan hal itu dan menghalalkan bagi kita para wanita mereka dan makanannya. Akan tetapi pada zaman sekarang ini, dikhawatirkan menikahi mereka, karena akan mengakibatkan berbagai dampak buruk. Sebab para wanita tersebut kadang mengajak kepada agamanya. Apalagi bagi anak-anaknya, bahayanya besar sekali. Tindakan yang lebih hati-hati bagi seorang mukmin adalah tidak menikahinya. Karena dirinya tidak aman terjerumus kepada keburukan, disamping tindakan tersebut berarti menyerahkan urusan anaknya kepada orang yang beragama lain. Akan tetapi kalau ada kebutuhan, tidak mengapa agar dapat menjaga kemaluan dan menahan pandangan, atau bersemangat mengajaknya kepada Islam. Seraya tetap hati-hati agar terhindar dari keburukan dan terjerumusnya anak-anak pada kekafiran."
Fatawa Islamiyah, 3/172.
Wallahu’alam .