Ahad 23 Ramadhan 1446 - 23 Maret 2025
Indonesian

Mana Yang Lebih Didahulukan: Shalat Tarawih atau Mengikuti Jenazah ?

498800

Tanggal Tayang : 08-03-2025

Penampilan-penampilan : 605

Pertanyaan

Saya telah memasuki masjid untuk melaksanakan shalat tarawih, dan kami shalat jenazah setelah shalat isya’, apakah yang lebih utama keluar ikut mengantar jenazah atau menetap untuk shalat tarawih ?, dan apakah yang lebih baik bagi seorang imam untuk menunda shalat jenazah telah selesai shalat tarawih agar para jama’ah leluasa untuk ikut mengantarkan jenazah ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Disunnahkan untuk memperbanyak jama’ah shalat jenazah, berdasarkan riwayat Muslim (947) dari ‘Aisyah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ

“Tidaklah setiap jenazah yang disholatkan oleh umat Islam yang mencapai 100 orang, mereka semua akan memberikan syafa’at kepadanya, kecuali mereka akan diizinkan memberikan syafa’at kepadanya”.

Imam Muslim (948) telah meriwayatkan dari Kuraib, pembantu Ibnu Abbas, dari Abdullah bin Abbas, bahwa anaknya meninggal dunia di Qudaid atau ‘Usfan, maka ia berkata:

يَا كُرَيْبُ، انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: أَخْرِجُوهُ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: (مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ

“Wahai Kuraib, lihatlah apa yang telah berkumpul dari manusia, ia berkata: Maka saya keluar, lalu tiba-tiba banyak orang berkumpul kepadanya, lalu aku kabarkan kepadanya, ia berkata: “Kamu mengatakan 40 ?, ia berkata: Ya. Ia berkata: “Keluarkan dia, karena saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidakkah seorang muslim meninggal dunia, lalu berdiri di atas jenazahnya 40 orang, di mana mereka tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu, kecuali Allah akan mengizinkan mereka untuk memberi syafaat kepada jenazah tersebut”.

An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Syarah Muslim (7/17):

“Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

ما من ميت يصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة كلهم يشفعون له إلا شفعوا فيه

“Tidaklah seorang jenazah disholatkan oleh umat Islam yang mencapai jumlah 100 orang, semuanya (diizinkan) untuk memberi syafa’at, kecuali mereka akan memberikan syafaat itu kepadanya”.

Dan di dalam riwayat yang lain:

ما من رجل يموت فيقوم على جنازته أربعون رجلا لا يشركون بالله شيئا إلا شفعهم الله فيه

“Tidaklah seseorang yang meninggal dunia, lalu ada 40 orang yang berdiri (mensholatkan) kepada jenazah tersebut di mana mereka tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu, kecuali Allah akan (mengizinkan) mereka untuk memberikan syafaat kepadanya (jenazah)”.

Dan di dalam hadits yang lain:

ثلاثة صفوف

“Tiga shaff”. (HR. Ashabus Sunan)

Al Qadhi berkata:

“Dikatakan: hadits-hadits ini dirilis untuk menjadi jawaban kepada para penanya yang telah bertanya akan hal itu, lalu masing-masing dari mereka telah menjawab soalnya, ini adalah ucapan Al Qadhi”.

Dan kemungkinan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengabarkan diterimanya syafaat 100 orang, lalu diberitakanlah hal itu, kemudian diterimanya syafaatnya 40 orang, lalu 3 shaff, meskipun jumlah mereka lebih sedikit, lalu diberitakan hal itu.

Dan memungkinkan juga dikatakan: “Ini pemahaman jumlah, dan menjadi dasar menurut jumhur ulama ushul fikih, maka tidak wajib diberitakan tentang diterimanya syafaatnya 100 orang, terhalangnya syafaat jumlah di bawahnya, dan demikian juga terkait yang 40 orang disertai 3 shaff.

Pada saat itu, setiap hadits bisa diamalkan, dan syafaat akan terjadi dengan yang paling sedikit dari dua hal tersebut, dari 3 shaff dan 40 orang”. Selesai.

Dan atas dasar itulah maka, disunnahkan mengakhirkan shalat jenazah pada waktu yang mudah untuk menambahkan jumlah yang banyak.

Kedua:

Mensholatkan jenazah pahalanya besar, demikian juga mengantarkannya sampai dimakamkan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhori (1325) dan Muslim (945) dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ، قِيلَ: وَمَا القِيرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيمَيْنِ

“Barang siapa yang hadir pada jenazah sampai disholatkan, maka ia akan mendapat satu qirath, dan barang siapa yang hadir sampai dimakamkan maka ia akan mendapatkan 2 qirath”, dikatakan: “Berapa 2 qirath ini ?, beliau menjawab: “seperti dua gunung yang besar”.

Dan di dalam redaksi Muslim:

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ، فَإِنْ تَبِعَهَا فَلَهُ قِيرَاطَانِ) قِيلَ: وَمَا الْقِيرَاطَانِ؟ قَالَ: (أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

“Barang siapa yang mensholatkan jenazah dan tidak mengantarkannya maka ia mendapatkan 1 qirath, dan jika ia ikut mengantarkannya maka ia dapat 2 qirath”, dikatakan: Berapa 2 qirath itu ?, beliau menjawab: “Yang terkecil dari keduanya seperti gunung Uhud”.

Dan disunnahkan mempercepat (pemakaman) jenazah dan tidak menundanya.

Dan karenanya keluarnya sudah benar untuk mensholatkannya setelah shalat fardhu, dan membawanya dan tidak menunggu shalat tarawih; Bukhori (1315) telah meriwayatkan dan Muslim (944) dari Abu Hurairah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ - لَعَلَّهُ قَالَ - تُقَدِّمُونَهَا عَلَيْهِ، وَإِنْ تَكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

 “Bersegeralah kalian dengan jenazah, maka jika ia (jenazah tersebut) baik maka menjadi baik, -seakan beliau berkata- kalian telah mensegerakannya kepada kebaikan, dan jika sebaliknya, maka kalian segera membebaskan diri dari keburukan”.

Ketiga:

Jika keluarganya jenazah beranjak untuk menguburkan jenazah mereka, dan shalat tarawih dimulai, maka jika memungkinkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah setelah pemakanan di masjid yang sama atau di masjid lain, maka yang lebih utama adalah ikut mengantarkan jenazah, dan menunda shalat tarawih; untuk menggabungkan dua keutamaan, apalagi menunda tarawih dari awal malam lebih utama, sebagaimana riwayat Bukhori (2010), Umar berkata: “

نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ".

“Hal ini adalah sebaik-baiknya bid’ah, dan yang tertidur darinya lebih utama dari pada yang bangun, maksudnya adalah akhir malam, dan sebelumnya masyarakat mereka melakukannya di awal malam”.

Dan jika tidak memungkinkan untuk melaskananya dengan berjama’ah, maka yang lebih utama adalah ikut mengantarkan jenazah; karena (kalau tidak) akan menjadi keutamaan yang tertinggal, dan adapun tarawih maka bisa dilaksanakan sendirian.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- telah ditanya:

“Telah ada jenazah hari ini sebelum shalat tarawih, maka mana yang lebih utama, kita ikut mengantarkan jenazah atau kita shalat tarawih ?, dan mana yang lebih utama bagi seorang imam, apakah menunda shalat jenazah sampai setelah tarawih atau mensegerakannya ?

Maka beliau menjawab:

“Telah ada dua hal yang berlawanan di hadapan kita, dan masing-masing keduanya mempunyai keutamaan, ikut mengantarkan jenazah dan yang kedua shalat tarawih, lalu apakah kita ikut mengantarkan jenazah dan meninggalkan tarawih atau sebaliknya ?

Kita lihat, tarawih jika seseorang ketinggalan maka ia tidak tertinggal kecuali shalat berjama’ah saja, karena memungkinkan baginya shalat tahajjud di rumahnya, ia tetap bisa shalat isya’ sampai terbitnya fajar. Sedangkan jenazah jika meninggalkannya atau menetap ikut tarawih maka akan tertinggal.

Dan atas alasan inilah, maka didahulukan jenazah.

Akan tetapi, jika ia khawatir bahwa jika ia ikut mengantarkan jenazah akan menjadi malas dan terlewat tahajjud, maka hendaknya ia menetap untuk tarawih; kecuali jika terpaksa keluar bersama jenazah seperti belum ada orang yang cukup dalam melaksanakan fardhu kifayah ini, maka dalam kondisi seperti itu maka ikut mengantarkan jenazah”. Selesai. (Al Liqa’ As Syahri: 71/11)

Syeikh Ibnu Jibrin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Mana yang lebih utama, menyempurnakan shalat tarawih atau ikut mengantarkan jenazah ?

Beliau menjawab:

“Pendapat saya bahwa ikut mengantarkan jenazah lebih utama; karena ia akan berlalu dan tidak berlanjut, adapun tarawih maka memungkinkan untuk diqadha’ meskipun sendirian. Dan tidak diragukan lagi bahwa kerabatnya jenazah diwajibkan untuk ikut mengantarkannya, menguburkannya, dan hal ini sebagai fardhu kifayah”. Selesai.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam