Alhamdulillah.
Pertama.
Wajib zakat atas biji-bijian ketika sudah tampak kelayakannya, yaitu ketika bijinya sudah padat berisi.
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Waktu diwajibkannya zakat pada biji-bijian adalah ketika sudah padat berisi, dan juga pada buah-buahan jika tampak kelayakannya.” (Al-Mughni, 4/169).
Al-Buhuti Rahimahullah mengatakan, “Apabila biji-bijian sudah padat berisi dan buah-buahan sudah tampak kelayakannya, maka wajib zakat, karena maksud dari benda-benda tersebut adalah untuk dimakan dan menjadi bahan makanan, layaknya barang-barang kering. Jika biji-bijian dan buah-buahan itu dijual atau rusak karena kesalahannya, maka kewajiban zakat itu tidak serta-merta gugur darinya. Apabila ia memotong biji-bijian dan buah-buahan dan menjualnya sebelum waktu panen, maka tidak ada kewajiban zakat, asalkan tidak bermaksud menghindar dari kewajiban zakat. Kewajiban itu tidak muncul, kecuali biji-bijian dan buahan-buahan ditaruh di tempat pengirikan dan sejenisnya, yaitu tempat penjemuran dan pengeringan, karena sebelum itu masih berstatus sebagai sesuatu yang belum berada dalam tanggungan pemiliknya. Jika biji-bijian atau buah-buahan itu rusak sebelumnya, yaitu sebelum ia menaruhnya di tempat pengirikan tanpa ada pelanggaran atau kelalaian di pihaknya, maka zakat biji-bijian atau buah-buahan itu akan gugur, karena kewajiban zakat belum tetap.” (Ar-Raudh Al-Murbi’, 2/532).
Kedua.
Besarnya nishab tanaman adalah 5 Wasaq, setelah dilepaskan kulit dan jeraminya, dan dibersihakn dari kerikil atau kotoran.
Ibnu Jarir At-Thabari Rahimahullah mengatakan, “Hal ini karena semua sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka bahwa zakat pertanian tidak diambil kecuali setelah diinjak-injak, dibersihkan dan ditampi. Zakat kurma juga tidak diambil kecuali setelah kering.” (Tafsir At-Thabari, 9/611).
Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara siapapun umat Islam bahwasanya zakat tanaman tidak dikeluarkan, kecuali setelah panen, dibersihkan, ditampi dan ditakar, dan zakat buah-buahan setelah dikeringkan, dibersihkan dan ditakar.” (Al-Muhalla, 4/20).
Al-Buhuti mengatakan, “Wajib mengeluarkan zakat biji-bijian yang sudah dibersihkan dari kulit dan jeraminya, sedangkan buah-buahan jika sudah kering, berdasarkan hadits Attab bin Usaid bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memperkirakan jumlah anggur sebagaimana memperkirakan jumlah kurma dan diambil zakatnya dalam bentuk kismis, sebagaimana pohon kurma diambil zakatnya dalam bentuk kurma.” (Kasyaf Al-Qina’, 4/413).
Tetapi jika sesuatu itu tidak patut disimpan, kecuali di dalam kulitnya yang tidak dapat dimakan bersamanya, seperti Al-‘Alas (gandum Romawi, Spelt) yang merupakan biji-bijian yang mirip dengan gandum, dan padi di beberapa negara, karena mereka menyimpannya di dalam kulitnya, maka sebagian madzhab Syafi'i mengatakan bahwa nishabnya adalah 10 Wasaq, dengan memperhitungkan kulitnya, yang mana dengan menyimpan di dalam kulitnya lebih baik.“ (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 23/283).
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “AI-‘Alas adalah salah satu jenis gandum yang disimpan dengan kulitnya. Para ahlinya mengatakan, bahwa apabila gandum jenis ini dikeluarkan dari kulitnya (yakni dikupas, seperti padi dikupas lalu menjadi beras), maka tidak akan tahan lama seperti jenis gandum lainnya. Mereka juga menyatakan, bahwa bila Al-‘Alas dikupas maka akan menjadi setengahnya, sehingga nishabnya itu dihitung dengan tetap pada kulitnya, karena bila dikupas bisa menjadi mudharat (bisa cepat rusak).
Bila gandum jenis ini (bersama kulitnya) mencapai 10 Wasaq, maka diwajibkan zakat sebesar sepersepuluhnya (10 %), karena kemungkinan besar bila telah dikupas jumlahnya bisa mencapai 5 Wasaq. Bila kita ragu apakah (bila dikupas) akan nrencapai nishab (yakni 5 Wasaq) atau tidak, maka si pemilik diberi pilihan, yaitu mengeluarkan sepersepuluhnya dari jumlah yang masih dalam kulitnya, atau mengupasnya sehingga bisa dipastikan mencapai nishab atau tidak, seperti kita mengatakan tentang emas dan perak yang tidak murni (yakni ada campurannya) apabila ragu tentang nishabnya.
Namun tidak boleh memperkirakan pada jenis gandum lainnya dengan memperhitungkan pada kulitnya, dan tidak boleh mengeluarkan zakatnya sebelum dikupas, karena kebutuhannya tidak menuntut untuk membiarkannya tetap pada kulitnya, dan kebiasaan yang berlaku pun tidak seperti itu, juga tidak diketahui kadar yang akan dihasilkan.
Abu Al-Khaththab menyebutkan bahwa nishab beras dihitung dengan kulitnya (yakni padi) sebanyak 10 Wasaq, karena disimpannya dengan membiarkannya pada kulitnya (yakni dapat disimpan lama bila masih tetap berupa padi). Bila dikeluarkan dari kulitnya (yakni menjadi beras), maka tidak akan lama seperti bila dibiarkan pada kulitnya (yakni padi). Maka beras ini seperti Al-‘Alas (salah satu jenis gandum) sebagaimana yang kami sebutkan tadi.
Yang lainnya berkata, ‘Nishabnya tidak dihitung seperti itu, kecuali bila orang-orang terpercaya dari kalangan para ahlinya menyatakan bahwa hasilnya adalah setengahnya (yakni bila padi dikupas menjadi beras maka jumlahnya akan menjadi setengahnya), maka itu seperti Al-'Alas. Namun bila tidak ada orang-orang terpercaya yang menyatakan demikian, atau kita ragu tentang tercapainya nishab, maka si pemilik diberi pilihan antara mengeluarkan zakatnya dari yang masih pada kulitnya (yakni masih berupa padi), atau mengupasnya (menjadi beras) agar diketahui nishab murninya. Bila mencapai nishab diambil zakatnya, dan bila tidak maka tidak diambil zakatnya. Karena kepastiannya tidak dapat dicapai kecuali dengan mengupasnya, maka kami menganggpnya seperti logam mulia yang tidak murni.” (Al-Mughni, 4/162).
An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Adapun beras juga disimpan dalam kulitnya, itulah yang lebih baik.
Disyaratkan mencapai nishab untuk padi adalah 10 Wasaq bersama dengan kulitnya jika dibiarkan di kulitnya, seperti yang kami katakan dalam masalah Al-‘Alas. Jika kulitnya dikupas, maka dianggap 5 Wasaq, seperti dalam masalah lainnya, dan seperti yang kami katakan dalam masalah Al-‘Alas.
Zakat dikeluarkan dari padi dan Al-‘Alas dalam keadaan masih dalam kulitnya, karena keduanya disimpan di dalam kulitnya.
Inilah yang kami sebutkan dalam masalah padi, yang juga dinyatakan oleh As-Syafi’i Radhiyallahu ‘Anhu. (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, 5/503, cetakan Al-Muniriyah).
Ketiga.
Jika hasil panen padi yang memenuhi nishab itu dijual, setelah wajib zakat, maka seseorang mengeluarkan zakatnya dengan membayar yang sebanding dengan sepersepuluh atau seperlima dari hasil panen yang ia jual, yaitu dengan membeli sesuatu yang serupa jenis dan mutunya, kemudian membayarkannya.
Jika dia membayarkan nilai dari zakat hasil panennya, baik sepersepuluh atau seperlima, maka hal itu tidaklah mengapa.
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Apabila dijual atau dihibahkan setelah tampak kelayakannya, maka zakatnya menjadi tanggungan penjual dan pemberi hibah. Demikian yang dikatakan oleh Al-Hasan, Malik, At-Tsauri dan Al-Auza’i, demikian juga yang dikatakan oleh Al-Laits, kecuali apabila zakatnya itu disyaratkan (oleh penjualnya) untuk ditanggung oleh pembeli. Namun sebenarnya itu merupakan kewajiban penjual, karena itu memang merupakan kewajibannya sebelum dijual, sehingga tetap menjadi tanggungannya. Dan ia harus mengeluarkan zakat dari jenis yang dijual atau diberikan itu. Diriwayatkan dari Ahmad, bahwa si pemilik boleh memilih antara mengeluarkan zakatnya berupa buah atau harganya.” (Al-Mughni, 4/171).
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menguatkan bolehnya mengeluarkan nilai dari hasil bumi karena faktor kebutuhan (Al-Hajah) atau kemaslahatan (Al-Maslahah).
Beliau mengatakan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak boleh membayar sejumlah nilai, kecuali sebagaimana ditentukan oleh syariat, itulah yang dinamakan Jabran (menambal) pada zakat unta, ‘Dua ekor kambing atau dua puluh dirham.’ Pendapat yang benar adalah boleh jika terdapat kemaslahatan atau kebutuhan, baik pada hewan ternak maupun hasil bumi.” (Al-Syarh Al-Mumti’, 6/148).
Wallahu A’lam.