Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

APAKAH DIHARUSKAN MENCUCI WADAH SETELAH DIPAKAI ATAU MENCUCINYA APABILA DIA MILIK NON MUSLIM

65617

Tanggal Tayang : 13-03-2010

Penampilan-penampilan : 52763

Pertanyaan

Saya tinggal di negara non muslim, yang menuntut saya untuk menggunakan dapur yang digunakan oleh orang-orang non muslim. Setelah selesai makan, salah seorang rekan kami non muslim mencuci perkakas. Apakah dibolehkan bagi kami menggunakan perkakas tersebut untuk makan ataukah kami harus mencucinya sebanyak tiga kali hingga suci?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Hukum asal pada perkakas adalah suci, apakah dia digunakan oleh seorang muslim atau non muslim, atau ahli kitab, atau selainnya, sampai diyakini kenajisannya. Karena itu, pendapat mayoritas ahli fiqih menyatakan dibolehkannya menggunakan wadah milik orang-orang kafir. Mereka beralasan dengan berbagai dalil, di antaranya;

1-Allah Ta’ala membolehkan kita untuk makanan Ahli Kitab, maksudnya adalah sembelihan mereka. Umumnya mereka akan memberikannya kepada kita dalam keadaan telah dimasak di wadah-wadah mereka. anical ini menunjukkan dibolehkannya menggunakan wadah-wadah milik mereka.

2-Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam diundang oleh seorang anak Yahudi untuk makan roti gandum dan bumbu lemak’ (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 1/71.

3-Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya berwudu dari wadah air milik seorang wanita musyrik. (HR. Bukhari, no. 337, dan Muslim, no. 682)

Dalil-dalil ini menunjukkan dibolehkannya menggunakan wadah milik orang kafir.

Akan tetapi jika kita mengetahui mereka memasak daging babi atau bangkai di wadah-wadah mereka, atau menggunakannya untuk meminum khamar, maka yang utama adalah menghindarinya dan tidak menggunakannya, kecuali jika dalam kondisi darurat, maka hendaknya dicuci dahulu baru kemudian digunakan untuk makan.

Jika mereka telah mencucinya, maka kita tidak diharuskan mencuci ulang, dan tidak disyaratkan dalam mencuci membasuhnya sebanyak tiga kali, tapi cukup dicuci hingga hilang bekas makanan dan minuman yang ada padanya.

Dalilnya adalah riwayat Bukhari, no. 5468, dan Muslim, no. 3567, dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani, dia berkata, Aku berkata, Wahai Nabi Allah, kami berada di negeri Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah-wadah mereka? … Beliau bersabda, ‘Adapun yang engkau sebutkan dari Ahli Kitab, jika kalian dapatkan selainnya, maka jangan makan dengannya, dan jika tidak kalian dapatkan, maka cucilah, dan makanlah dengannya.”

Dalil ini dapat dipakai terhadap mereka yang menggunakan wadah untuk perkara yang diharamkan, berdasarkan riwayat Abu Daud, no. 3839, ‘Kami bertetangga dengan Ahli Kitab, mereka memasak babi di anic-panci mereka, dan meminum khamar di wadah-wadah mereka. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kalian dapatkan selainnya maka gunakanlah (wadah itu) untuk makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkan selainya, maka cucilah wadah (mereka) dengan air, lalu makan dan minumlah (dengan wadah itu).” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Kaidah dalam masalah ini adalah, jika diketahui bahwa orang-orang musyrik memasak babi di anic-panci mereka, dan meminum khamar di wadah-wadah mereka, maka perkakas-perkakas tersebut tidak boleh digunakan kecuali setelah dicuci dan dibersihkan.” Aunul Ma’bud.

Sabda beliau, ‘Jika kalian dapatkan selainnya, maka makan dan minumlah dengannya’ maksudnya adalah makan dan minumlah di wadah yang lain. Perintah ini bersifat sunnah menurut mayoritas ahli fiqih. Maksudnya disunnahkan menghindari wadah-wadah tersebut dan makruh menggunakannya meskipun telah dicuci. Kecuali jika tidak ada selain wadah tersebut, maka hilanglah kemakruhannya.

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim, 13/80

“Larangan menggunakan wadah itu walaupun setelah dicuci, adalah karena kotornya, dan telah biasa dipakai untuk benda najis.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata Asy-Syarhul-Mumti, 1/69.

“Adapun hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani, sesungguhnya Rasululullah shallallahu wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian makan dari wadah tersebut, kecuali kalian tidak mendapatkan selainnya, maka (jika tidak ada selainnya) cucilah wadah itu dan makanlah dengannya.”  Hal ini menunjukkan bahwa yang utama adalah menghindarinya (wadah milik orang kafir). Akan tetapi banyak ulama yang memahami dalil ini berlaku terhadap mereka yang menggunakan wadah tersebut untuk benda-benda najis seperti babi dan semacamnya. Mereka berkata, Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang makan dari wadah mereka, kecuali jika kita tidak mendapatkan wadah selainnya, maka kita mencucinya dan makan dengannya. Pandangan ini bagus, dan terkandung padanya prinsip-prinsip syariat.”

Kesimpulan jawabannya, jika mereka tidak menggunakan wadah-wadah tersebut untuk minum khamar atau makan daging babi atau bangkai, maka menggunakan wadah tersebut dibolehkan.

Adapun jika mereka menggunakannya untuk makanan dan minuman yang diharamkan atau najis, maka lebih utama bagi kalian adalah tidak menggunakannya jika kalian mendapatkan selainnya. Jika kalian tidak mendapatkan selainnya, maka kalian boleh menggunakannya setelah dicuci, apakah kalian yang mencucinya, atau mereka yang mencucinya.”.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam