Alhamdulillah.
Mereka yang disebutkan dalam pertanyaan, hukumnya tidak sama. Kami telah menyebutkan perbedaan para ulama dan sedikit dari perkataan mereka dalam soal jawab no. 49008 .
Mungkin kita dapat klasifikasikan orang yang dalam pertanyaan menjadi dua kelompok.
Anak kecil ketika balig, orang kafir ketika masuk Islam, orang gila ketika sembuh. Mereka mempunyai hukum yang sama. Yaitu harus menahan untuk tidak makan minum pada hari itu dan tidak diharuskan mengqadha.
Sementara orang haid ketika bersih, orang bepergian ketika sampai di rumah, orang sakit ketika telah sembuh, hukumnya sama. Mereka tidak diharuskan menahan makan minum dan tidak bermanfaat sedikit pun kalau dia menahan (dari makan dan pembatal puasa), namun mereka diharuskan mengqadhanya.
Perbedaan antara kelompok satu dan dua. Kelompok pertama, telah mendapatkan syarat taklif (beban menunaikan kewajiban). Yaitu balig, islam dan berakal. Kalau telah ada ketetapan mendapatkan beban kewajiban, maka diharuskan untuk menahan (dari pembatal puasa) dan tidak diharuskan mengqadha. Karena mereka menahan di waktu ketika diharuskan menahan. Sementara sebelum waktu itu, mereka belum terkena beban kewajiban berpuasa.
Sementara kelompok kedua, mereka mendapatkan perintah berpuasa, oleh karena itu puasa wajib bagi mereka. Akan tetapi ada uzur yang memperbolehkan dia berbuka. Yaitu haid, safar, dan sakit. Dan Allah memberikan keringanan kepada mereka sehingga dibolehkan berbuka. Sehingga kehormatan hari itu telah hilang dari mereka. Ketika uzurnya telah hilang di siang hari, maka tidak bermanfaat sedikitpun menahannya (dari pembatal puasa). Maka diharuskan dia mengqadha setelah Ramadan.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, "Kalau musafir datang ke daerahnya dalam kondisi berbuka, maka dia tidak diharuskan menahan. Dia dibolehkan makan, minum pada sisa harinya. Karena apabila dia menahan tidak makan minum, hal itu tidak bermanfaat sedikitpun baginya karena dia harus mengqadha hari itu. ini adalah pendapat yang kuat. Yaitu madzhab Malik dan Syafi’i serta salah satu riwayat dari Imam Ahamd rahimahullah. Akan tetapi tidak selayaknya dia makan dan minum secara terang-terangan." (Majmu Fatawa Syekh Ibn Utsaimin, 19/ soal no. 58)
Beliau juga menambahkan, "Jika wanita haid atau nifas bersih di pertengahan hari (Ramadan), dia tidak diharuskan menahan, dibolehkan makan dan minum. Karena menahannya tidak bermanfaat sedikitpun juga, sebab dia diharuskan mengqadha untuk mengganti hari itu. Ini adalah madzhab Malik, Syafi’i dan salah satu riyawat dari Imam Ahmad. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata, "Siapa yang boleh makan di awal waktu, maka makanlah pada sisa waktu yang ada." Yakni barangsiapa yang dibolehkan berbuka di awal siang, maka dia dibolehkan berbuka pada akhir waktu." (Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 19/soal no. 59)
Syekh juga ditanya, "Barangsiapa yang berbuka di siang Ramadan karena ada uzur syar’i. Apakah dia dibolehkan makan dan minum sisa harinya?"
Beliau menjawab dengan mengatakan, "Dia dibolehkan makan dan minum, karena dia berbuka karena ada uzur syar’i. Kalau dia berbuka ada uzur syar’i, maka telah hilang kehormatan hari itu baginya, dia dibolehkan makan dan minum. Berbeda dengan orang yang berbuka di siang ramadan tanpa ada uzur, maka dia diharuskan menahan. Meskipun dia diharuskan mengqadhanya. Maka harus ada perhatian perbedaan pada dua masalah ini." (Majmu Fatawa Syekh Ibn Utsaimin, 19/ soal no. 60)
Beliau menambahkan, "Telah kami sebutkan dalam pembahasan mengenai puasa, bahwa kalau wanita haid suci di siang hari, maka para ulama berbeda pendapat, apakah dia diharuskan menahan sisa harinya tidak makan dan tidak minum, atau dibolehkan makan dan minum pada sisa harinya. Kami telah katakan, bahwa hal itu ada dua riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah, salah satunya adalah –dan ini yang terkenal dalam madzhab- dia diharuskan menahan, sehingga tidak boleh makan dan minum.
Riwayat kedua, bahwa dia tidak diharuskan menahan, maka dibolehkan makan dan minum. Kami telah katakan bahwa riwayat kedua ini juga termasuk madzhab Malik dan Syafi’i rahiamahumallah.
Hal itu juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhaillahu anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah di akhir waktu." Kami katakan, "Seharusnya bagi pencari ilmu dalam masalah perbedaan (seperti ini) melihat dalilnya dan mengambil yang kuat menurut dirinya, tidak perlu memperdulikan siapapun selagi dalil bersamanya. Karena kita diperintahkan mengikuti Rasul seperti dalam firman-Nya, "Ketika di hari ada panggilan untuk mereka, dikatakan apa yang kamu sambut dari (seruan) para Rasul."
Adapun alasan mereka dengan hadits shahih bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan puasa hari Asyura di tengah hari, lalu orang-orang menahan sisa harinya. Kami katakan, "Hadits ini tidak dapat dijadikan sandaran. Karena puasa Asyura tidak terdapat hilangnya penghalang, akan tetapi yang ada adalah kewajiban yang baru. Beda antara hilangnya penghalang dan kewajiban yang baru, jika kewajiban baru artinya bahwa hukum belum ada ketetapan sebelum ada sebabnya. Sedangkan hilangnya penghalang artinya bahwa hukum telah ada ketetapan jika tidak ada penghalang. Selagi penghalang ini ada disertai adanya sebab hukum, maka dengan adanya penghalang tersebut tidak mungkin suatu ama dianggap sah. Masalah yang mirip dengan penanya ini adalah kalau seseorang masuk Islam di siang hari, maka orang yang masuk Islam ini mendapatkan kewajiban baru. Mirip dengan ini juga, kalau anak kecil balig di tengah hari ketika dia dalam kondisi tidak berpuasa. Maka ini juga termasuk kewajiban baru baginya. Maka kami katakan bagi yang masuk Islam di siang hari, anda harus menahan (dari makan dan minum) dan tidak harus mengqadha. Kita katakan kepada anak kecil yang balig di siang hari, anda harus menahan dan tidak diharuskan mengqadha. Berbeda denga wanita haid kalau dia suci. Maka menurut kesepakatan (ijmak) para ulama bahwa dia harus mengqadha. Jika wanita haid ketika suci di siang hari, para ulama juga bersepakat kalau dia menahan sisa harinya, hal itu tidak bermanfaat dan tidak dianggap berpuasa, dia harus mengqadhanya.
Dengan demikian, dapat diketahui perbedaan antara kewajiban baru dan hilangnya penghalang. Masalah wanita haid apabila suci termasuk hilangnya penghalang. Sementara masalah anak kecil ketika balig atau apa yang disebutkan penanya dengan mengharuskan puasa hari Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadan, termasuk masalah kewajiban baru.
Wallahul-Muwaffiq.
(Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 19/ sol no. 60)
Wallahu’alam .