Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

“Artikel Tentang Kemukjizatan Al Qur’an Dari Sisi Jumlah Bilangan dan Penggunaan Kalender Masehi

69741

Tanggal Tayang : 02-06-2014

Penampilan-penampilan : 37036

Pertanyaan

Belakangan ini saya pernah membaca tentang beberapa kemu’jizatan al Qur’an yang mencakup banyak hal, seperti tiga tahapan perjalanan janin, garis edar planet-planet, dan lain-lain. Salah satunya berbicara tentang kata “ اليوم “ (hari) yang disebutkan di dalam al Qur’an sebanyak 365 kali, dan kata “ القمر “ (bulan) terlulang sebanyak 12 hari, saya lupa berapa kali kata “ أيام “ (hari-hari) disebutkan di dalam al Qur’an. Suatu ketika salah seorang teman kami mencetak kalender hijriyah namun tidak terdiri dari 365 hari, apa arti dari kalender Islami ini ?, apakah kalender Islam itu tidak detail ?, atau karena Allah mengetahui bahwa mayoritas dunia akan menggunakan kalender miladi (masehi), dan menjadi isyarat bahwa kalender masehi lah yang benar?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Ada banyak kecenderungan manusia ketika membahas tentang kemukjizatan al Qur’an, di antaranya adalah “الإعجاز العددي  “ (kemukjizatan dari sisi bilangan), mereka pun menyebar luaskan melalui media cetak, baik Koran atau majalah, juga melalui dunia maya tentang beberapa kata yang terulang sekian kali penyebutan yang sesuai dengan lafadznya, atau jumlahnya sama dengan lawan katanya, seperti mereka mengklaim bahwa kata “ اليوم “ (hari) terulang sebanyak 356 kali, dan kata “ الشهر “ (bulan) sebanyak 12 kali, demikian juga dengan kata yang lain seperti: “malaikat dan syetan”, “dunia dan akherat”…

Sebagian orang mengira bahwa pengulangan tersebut adalah benar, dan mengira bahwa hal itu bagian dari kemukjizatan al Qur’an, mereka tidak membedakan antara “ اللطيفة  “ (Keindahan) dan “الإعجاز “ (kemukjizatan). Maka menulis buku yang terdiri dari jumlah halaman tertentu dengan kata-kata tertentu adalah perkara yang bisa dilakukan oleh setiap orang, mana sisi kemukjizatannya dalam hal ini ?, kemukjizatan yang ada di dalam al Qur’an bukanlah seperti keindahan (kata-kata) seperti ini, akan tetapi lebih mendalam dan lebih agung dari pada itu semua, dan inilah yang melemahkan para ahli bahasa dari orang-orang Arab yang fasih, baligh untuk mendatangkan yang serupa dengan al Qur’an atau dengan hanya 10 surat saja, atau bahkan satu surat saja mereka tidak mampu. Bukanlah hanya dari sisi keindahan yang memungkinkan bagi setiap penulis untuk mengarangnya, maka hendaknya kita semua berhati-hati.

Perlu diketahui bersama bahwa perbuatan seperti itu sudah dilakukan tidak hanya sekedar menghitung kata tertentu bahkan lebih dari pada itu. Maka sebagian dari mereka segera membatasi dengan bilangan-bilangan itu akan musnahnya negara Israel, sebagian yang lain berani menentukan kejadian hari kiamat, sebagian yang lain mengaitkan hancurnya gedung WTC di New York dengan al Qur’an surat at Taubah dari sisi ayat, nomor surat dan nomor juz-nya, serta menyebar-luaskannya. Semua ini merupakan hal yang sia-sia di dalam al Qur’an. Yang menjadi penyebab dari ini semua adalah ketidak-tahuannya akan hakekat kemukjizatan kitab Allah –ta’ala-.

Kedua:

Kalau diteliti hasil hitungan mereka yang menyebar-luaskan angka-angka tersebut tidak semuanya benar, saya mendapati sebagian mereka memilih dalam menghitung kata tertentu dengan metode yang sesuai dengan keinginan mereka. Semua ini mereka lakukan agar sampai pada tujuan yang mereka inginkan dan yang mereka sangkakan kepada kitab Allah.

Syeikh DR. Kholid as Sabt berkata:

“DR. Azraq Abdur Razzaq Quthnah mengkritisi tentang kemukjizatan al Qur’an dari sisi bilangan, dan dikumpulkan di dalam bukunya yang berjudul: “Rasmul Mushaf wa I’jaz ‘Adadi, Dirasah Naqdiyah fi Kutub I’jaz ‘Adadi fil Qur’an Karim” dan beliau menyimpulkan dalam penutup buku tersebut, tentang tiga buku berikut ini:

1.Kitab “ I’jaz Raqm 19 ” karangan Basim Jarrar

2.Kitab “Al I’jaz ‘Adadi fil Qur’an” karangan Abdur Razzaq Naufal

3.Kitab “Al Mukjizat” karangan Adnan Rifa’i

Kesimpulan beliau adalah sebagi berikut:

“Saya telah sampai selama penelitian saya pada kesimpulan bahwa pemikiran tentang kemukjizatan al Qur’an dari sisi bilangan –sebagaimana yang telah saya paparkan dalam buku ini- adalah tidak benar. Bahwa buku-buku tersebut terkadang sengaja memberikan syarat-syarat tertentu baik yang bersifat pedoman atau kritikan, dengan tujuan untuk menetapkan kebenaran pendapat mereka yang menggiring para pembaca agar membenarkan hasil-hasil yang sudah ditentukan sebelumnya. Syarat-syarat yang bersifat pedoman tersebut ada yang keluar dari ijma’ ummah, seperti adanya perbedaan dengan mushaf rasm utsmani, hal ini termasuk yang tidak boleh dilakukan, juga bersengaja menulis beberapa kata seperti yang tertera dalam salah satu mushaf dan tidak mengambil ibrah dari penulisan mushaf yang lain, hal ini juga menyebabkan adanya perbedaan dengan dasar-dasar bahasa Arab dari sisi kosa kata bahasa Arab dan lawan katanya.

( Halaman: 197, Damaskus, Penerbit Manar, Cetakan pertama, 1420 H. 1999 M)

DR. Fahd ar Rumi telah menyebutkan hal yang serupa dengan pilihan DR. Abdur Razzaq Naufal yang bersifat mengkritisi kata-kata hingga berbanding lurus dengan bilangan yang dimaksud, seperti firman Allah: Bahwa kata “اليوم  “ telah disebutkan sebanyak 365 kali sesuai dengan bilangan hari-hari dalam satu tahun, untuk mencocokkan hal tersebut mereka menggabungkan antara kata “ اليوم  “ dengan kata “يوماً  “ dan meninggalkan kata “يومكم “, “يومهم  “, dan “يومئذ  “ . Karena kalau beberapa kata barusan dimasukkan maka akan terjadi perbedaan antara jumlah kata dengan jumlah hari-hari dalam satu tahun. Demikian juga pada kata “الاستعاذة  “ (perlindungan) dari Syetan disebutkan sebanyak 11 kali, mereka memasukkan termasuk dalam hitungannya dua kata: “أعوذ  “ (aku berlindung) dan “فاستعذ  “ (maka berlindunglah) dan meninggalkan kata “عذت  “ (aku berlindung), “يعوذون  “ (mereka berlindung), “أعيذها  “ (aku mohon perlindungan untuknya) dan “ معاذ الله “ (aku mohon perlindungan kepada Allah).

Baca: ( “Ittijahat Tafsir fil Qarn as Sabi’ ‘Asyar: 2/699-700, Bairut, Muassasah Risalah, Cetakan kedua 1414 H. )

Dari penjelasan ilmiyah ini menjadi jelas sebagai jawaban dari jumlah kata “ اليوم “ di dalam al Qur’an al Karim yang disebutkan dalam pertanyaan.

Ketiga:

Adapun hitungan yang Allah sebutkan di dalam al Qur’an Karim adalah merupakan hitungan yang detail yang tidak menyelisihi sepanjang tahun, yaitu; hitungan bulan.

Seperti firman Allah:

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا ) الكهف/25

“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”. (QS. Al Kahfi: 25)

Sebagian ulama menyebutkan selama 300 tahun menurut kalender masehi, dan 309 hari menurut kalender hijriyah. Dalam masalah ini Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin telah menjabnya dan menjelaskan hitungan menurut Allah –ta’ala- adalah hitungan bulan (hijriyah) bukan matahari (masehi).

Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“وَازْدَادُوا تِسْعاً “

“…..dan ditambah sembilan tahun (lagi)”. (QS. Al Kahfi: 25)

Yaitu; ditambah dari 300 tahun Sembilan tahun lagi, maka mereka tinggal di dalam gua selama 309 hari. Mungkin ada saja yang bertanya: Kenapa Allah tidak mengatakan 309 hari langsung ?

Maka jawabannya adalah: sebenarnya sama saja, hanya saja al Qur’an adalah yang paling baligh bahasanya, agar sesuai dengan akhiran setiap ayat maka dia berfirman:

( ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعاً )

Tidak sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang bahwa 300 tahun adalah sesuai dengan kalender masehi, dan ditambah 9 tahun dengan kalender hijriyah, karena tidak mungkin kita bersaksi kepada Allah bahwa Dia menghendaki hal ini. Siapa yang berani bersaksi atas nama Allah bahwa Dia menghendaki hal tersebut ?, hingga seandainya pun sama jumlahnya antara 300 tahun masehi dengan 309 tahun hijriyah tidak mungkin kita bersaksi kepada Allah akan hal ini; karena hitungan menurut Allah adalah satu.

Apa tanda-tandanya bahwa jumlah hari yang dipakai adalah hitungan Allah ?

Jawabannya adalah kata “الأهلة  “ (bulan sabit). oleh karenanya kami mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 300 tahun masehi ditambah dengan 9 tahun hijriyah adalah pendapat yang lemah:

Karena tidak mungkin kita bersaksi kepada Allah bahwa Dia menghendaki demikian.

Bahwa jumlah bulan dan tahun menurut Allah adalah dengan bulan (hijriyah), Allah berfirman:

( هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نوراً وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب( يونس/5 ،

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. (QS. Yunus: 5)

Allah juga berfirman:

يسئلونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج ) البقرة/189 (

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”. (QS. al Baqarah: 189)

“Tafsir Surat Al Kahfi”

Hitungan dengan bulan dan hilal inilah yang dikenal oleh para Nabi dan kaumnya, dan tidak diketahui jumlah hitungan dengan matahari dari para pengikut agama yang tidak faham, ironisnya banyak umat Islam sekarang yang menyetujuinya.

DR. Kholid as Sabt berkata ketika beliau membantah orang yang berdalil dengan ayat:

(لاَ يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْاْ رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلاَّ أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ١١٠ في سورة التوبة
 

“ Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati mereka itu telah hancur. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At Taubah: 110)

atas hancurnya WTC di Amerika.

Kelima:

“Semua bentuk keterkaitannya dengan hitungan matahari ini adalah hitungan turun temurun dari umat-umat yang penuh dengan animisme, mereka tidak mengambil dari pelajaran para Nabi –‘alaihis shalatu was salam-. Sesungguhnya hitungan yang dianggap oleh syariat adalah hitungan dengan bulan dan bulan sabit, dan inilah yang lebih tepat dan lebih detail. Dan yang menunjukkan bahwa yang dikenal dalam syariat para Nabi adalah hitungan bulan dan bulan sabit adalah hadits Wasilah bin Asqa’ –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

أُنْزِلَتْ صُحُفُ ‏‏إِبْرَاهِيمَ ‏عَلَيْهِ السَّلَام ‏‏فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ  ) أخرجه أحمد ( 4 / 107 ) ، والبيهقي في" السنن " ( 9 / 188 ) ، وسنده حسن

“Suhuf Ibrahim –alaihis salam- telah diturunkan pada malam pertama di bulan Ramadhan, dan Taurat diturunkan pada hari ke-6 dari bulan Ramadhan, dan Injil diturunkan pada 13 hari bulan Ramadhan, dan al Qur’an diturunkan pada hari ke-24 pada bulan Ramadhan”. (HR. Ahmad: 4/107 dan Al Baihaqi dalam “As Sunan”: 9/188 dengan sanad yang baik)

Imam Al Al Baani menyebutkan dalam “Ash Shahihah” 1575: “Hal ini tidak bisa diketahui kecuali jika hitungannya dengan hitungan bulan dan hilal, dan yang menguatkan pendapat ini adalah hadits yang disebutkan di dalam Shahihain dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: Pada saat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendatangi kota Madinah , beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ke-10 (‘Asyura’) seraya beliau bersabda: “Hari apa ini ?” , mereka menjawab: “ini hari baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa… (al Hadits). (HR. Bukhori: 2004 dan Muslim: 1130, Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- telah menjelaskan bahwa mereka tidak menganggap hitungan dengan matahari”. (Fathul Baari: 4/291, lihat juga: 7/323)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata sebagai catatan atas firman Allah –ta’ala-:

( هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ …) يونس/5

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) ….”. (QS. Yunus: 5)

dan firman Allah:

( وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ . وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ ) يس/38 ، 39 :

“dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”. (QS. Yaasin: 38-39)

“Oleh karenanya hitungan bulan lebih dikenal oleh banyak umat terdahulu karena jauh dari kesalahan dan lebih tepat dari pada hitungan matahari, dan banyak orang yang menggunakannya, oleh karenanya Allah berfirman:

( وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ) يونس/5

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. (QS. Yunus: 5)

Dan Dia (Allah) tidak mengatakan untuk bilangan tahun pada matahari.

Oleh karenanya, bulan-bulan haji, puasa, hari raya, dan hari besar Islam hitungannya adalah berdasarkan peredaran bulan, sebagai hikmah dan rahmat dari Allah dan bentuk penjagaan-Nya kepada agama-Nya; karena banyak orang menggunakannya, tidak terjadi kerancuan dan kesalahan, dan tidak boleh dalam agama (Islam) terjadi perbedaan dan kesalahan sebagaimana yang telah terjadi pada agama ahli kitab”. (Miftah Daaris Sa’adah: 538-539)

Kemungkinan bisa difahami dari pernyataan terakhir Ibnul Qayyim –rahimahullah- bahwa ahli kitab mereka sengaja memakai hitungan matahari. Sebagaimana juga dijelaskan oleh al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- setelah menisbahkannya kepada Ibnu Qayyim”. (Fathul Baari: 7/323)

Namun kenyataannya, dalam syariat mereka pun ternyata tidak dikenal sebelumnya, perubahan kepada hitungan matahari itu terjadi setelah itu melalui tangan-tangan orang-orang bodoh di antara mereka.

Adapun hikmah dari firman Allah: ( يسئلونك عن الأهلة ... )

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Diantaranya adalah bahwa waktu-waktu yang dipakai oleh semua umat adalah waktu yang telah ditentukan oleh Allah –ta’ala-, yaitu; hilal yang merupakan waktu internasional, berdasarkan firman Allah:

( مواقيت للناس )

“Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia…”. (QS. Al Baqarah 189)

Sedangkan apa yang terjadi belakangan ini bahwa penentuan bilangan tahun berdasarkan kalender masehi, maka tidak ada dasarnya baik dari sisi panca indra, akal, dan syari’at. Maka dari itu terkadang anda mendapatkan sebagian bulan 28 hari, sebagian yang lainnya 30 hari, dan yang lain 31 hari tanpa adanya sebab yang jelas kenapa dibedakan seperti ini. Kemudian tidak ada tanda-tanda yang rasional dari bulan-bulan tersebut yang dijadikan rujukan untuk menentukan waktu mereka, berbeda dengan bulan-bulan hijriyah ia memiliki tanda-tanda yang rasional yang diketahui oleh semua orang.

“Tafsir al Baqarah: 371”

Imam al Qurtubi ketika memberi catatan pada firman Allah yang menyatakan:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ ) التوبة/36 (

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi…”. (QS. at Taubah: 36)

“Ayat ini menunjukkan bahwa menjadi suatu kewajiban untuk mengaitkan hukum-hukum dalam ibadah dan lainnya kepada bulan dan tahun yang dikatahui oleh bangsa Arab, bukan bulan-bulan yang diketahui oleh mereka yang non Arab, Romawi, Qibthi, meskipun tidak sebanyak 12 bulan; karena bilangannya berbeda, sebagian lebih dari 30 hari, yang lain kurang dari 30 hari. Sedangkan bulan-bulan arab tidak lebih dari 30 hari, meskipun sebagiannya kurang dari 30 hari, berkurangnya dalam hitungan bulan tidak bisa dipastikan terjadi pada bulan tertentu, akan tetapi pas 30 hari atau kurang itu hitungannya berdasarkan peredaran bulan dalam porosnya”.

“Tafsir Qurtubi: 8/133”.

Wallahu ‘alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam