Alhamdulillah.
Jika wanita nashrani itu ridha menikah dengan laki-laki muslim, maka hendaknya dia harus mengetahui beberapa perkara.
1- Isteri diperintahkan taat kepada suaminya dalam perkara selain maksiat. Tidak ada bedanya dalam masalah ini apakah isterinya seorang muslimah atau tidak. Jika suaminya memerintahkannya dalam perkara yang tidak maksiat, maka sang isteri harus mentaatinya. Allah telah menjadikan hak tersebut miliki suami, karena dia adalah kepala rumah tangga dan penanggungjawabnya. Tidaklah lurus kehidupan berkeluarga, kecuali jika disana terdapat Orang-orang yang katanya didengar oleh setiap anggota keluarga. Akan tetapi hal ini tidak berarti seorang laki-laki harus aniaya dan mengeksploitir hak tersebut untuk menyakiti isteri dan anak-anaknya. Tapi dia harus bersungguh sungguh dalam mewujudkan kesalehan serta kebaikan bagi keluarganya, menasehati dan bermusyawarah. Namun, kadang kehidupan mengalami kondisi tertentu yang butuh sikap tegas dan ungkapan penentu yang harus dia ambil dan harus ditaati. Maka, wanita tersebut hendaknya memahami prinsip ini sebelum dia menerima menjadi isterinya.
2. Bolehnya seorang muslim laki-laki menikah dengan wanita Nashrani dan Yahudi maksudnya adalah menikah dengan mereka sedangkan mereka tetap dalam agamanya. Tidak boleh bagi suami untuk memaksanya masuk Islam atau mencegahnya beribadah dengan ibadah khusus dalam agama mereka. Akan tetapi suami memiliki hak untuk mencegahnya keluar rumah walaupun ke gereja. Karena seorang isteri diperintahkan untuk taat kepadanya. Suamipun berhak mencegahnya melakukan kemungkaran terang-terangan di rumah, seperti meletakkan patung atau memukul lonceng.
Di antaranya adalah dalam masalah mengadakan perayaan-perayaan bid’ah, seperti hari raya natal. Karena hal itu munkar dalam Islam dari dua sisi; Dari sisi bahwa dia perkara bid’ah yang tidak ada dasarnya, seperti perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau hari raya ibu, dan dari sisi bahwa di dalamnya terkandung keyakinan rusak, yaitu bahwa Isa AlMasih dibunuh, disalib dan dimasukkan ke kuburan lalu bangkit lagi. Sementara hakikatnya bahwa Isa alaihissalam tidaklah dibunuh, tidak disalib, akan tetapi diangkat ke langit dalam keadaan hidup.
Lihat soal no. 10277 dan 43148.
Seorang suami tidak berhak memaksa isterinya untuk meninggalkan keyakinannya, akan tetapi dia dapat mengingkari tindakannya menebar kemungkaran dan mempertontonkannya. Maka mesti dibedakan antara haknya untuk terus memegang keyakinannya dan sikapnya mempertontonkan kemungkaran di dalam rumahnya. Hal serupa juga terjadi jika isterinya wanita muslimah dan meyakini bolehnya sesuatu sementara sang suami meyakini keharamannya, maka suami berhak melarangnya, karena dia pemimpin rumah tangga, dia berhak mengingkari apa yang diyakininya sebagai kemungkaran.
3. Pendapat jumhur ulama adalah bahwa orang-orang kafir menjadi sasaran pembicaraan dalam perkara-perkara cabang syariat, disamping mereka diajak beriman. Ini artinya mereka diharamkan apa yang diharamkan terhadap kaum muslimin, seperti minum khamar, makan daging babi, melakukan perbuatan bid’ah atau merayakannya. Suami berhak melarang isterinya melakukan hal-hal tersebut, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ (سورة التحريم: 6)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” SQ. At-Tahrim: 6.
Tidak dikecualikan dari semua itu kecuali keyakinan dan ibadahnya yang disyariatkan dalam agamanya, seperti shalat dan puasa mereka yang diwajibkan. Seorang suami tidak boleh menghalanginya dalam masalah ini. Adapun masalah minum khamar, makan babi dan merayakan natal, itu bukan bagian dari agama mereka, tapi karangan para pendeta mereka.
Ibnu Qayim rahimahullah berkata, “Adapun pergi ke gereja dan melakukan misa, maka suami berhak melarangnya. Hal ini dinyatakan oleh Imam Ahmad terhadap suami yang memiliki isteri wanita Nashrani, dia berkata, ‘Suami jangan mengizinkannya pergi untuk menghadiri perayaan natal dan misa.’ Dia berkata terhadap laki-laki yang memiliki budak perempuan dan meminta izin kepadanya untuk pergi menghadiri perayaan di gereja dan perkumpulan mereka, “Dia jangan mengizinkan hal tersebut.”
Ibnu Qayim berkata, “Alasan dari hal tersebut adalah agar dia jangan menjadi penolongnya dalam sebab-sebab kekufuran dan syiar-syiar yang tidak dibolehkan baginya.”
Beliau pun berkata, “Sang suami tidak boleh melarangnya untuk melakukan puasa yang dia yakini kewajibannya meskipun hal tersebut mencegahnya untuk dapat bersenang-senang dengannya pada waktu tersebut. Juga dia tidak boleh melarangnya di rumahnya menghadap ke barat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam membiarkan utusan dari Najran untuk melakukan shalat di masjidnya menghadap kiblat mereka.” (Ahkam Ahluzzimmah, 2/819-823)
Shalatnya utusan Najran di Masjid Nabawi disebutkan juga oleh Ibnu Qayim dalam kitab Zaadul Ma’ad (3/629).
Para peneliti berkata, “Para perawinya tsiqah, akan tetapi periwayatannya terputus.” Maksudnya, sanadnya lemah.
Lihat soal no. 3320.
Wallahu a’lam..