Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Apakah Masalah-masalah Ijtihad Tidak Boleh Diingkari ?

70491

Tanggal Tayang : 04-03-2019

Penampilan-penampilan : 36090

Pertanyaan

Sebagian orang berkata: “Masalah-masalah yang masih diperdebatkan oleh para ulama, maka tidak mungkin diingkari bagi seseorang yang telah memilih satu dari pendapat mereka yang ada, mereka menyebutkan kaidah:

 لا إنكار في مسائل الخلاف 

“Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah khilafiyah”.

Apakah kaidah ini benar ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kaidah ini dikatakan oleh sebagian orang:

"لا إنكار في مسائل الخلاف"

“Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah khilafiyah”.

Tidak benar, yang benar adalah:

  لا إنكار في مسائل الاجتهاد  

“Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihadiyah”.

Penjelasannya adalah:

Bahwa masalah-masalah yang para ulama berbeda pendapat di dalamnya ada dua hal:

Pertama:

Masalah-masalah yang ada penjelasan hukumnya dengan teks yang jelas dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, tidak ada perdebatan di dalamnya, atau dengan dalil ijma’, kemudian sebagian generasi belakangan datang dengan pendapat yang janggal dan menyelisihi ijma’, atau ada dalil qiyas jaliy yang jelas menunjukkan hukumnya. Dalam masalah-masalah seperti ini diingkari mereka yang menyelisihi dalil.

Untuk permasalah seperti ini ada banyak contohnya, di antaranya adalah:

  1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memuji diri-Nya sendiri, dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan dalih takwil, padahal sebenarnya yang terjadi adalah penyimpangan dari teks Al Kitab dan As Sunnah.
  2. Mengingkari sebagian kenyataan yang telah dikabarkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang akan terjadi pada hari kiamat, seperti adanya timbangan dan shirat.
  3. Apa yang dikatakan oleh sebagian generasi modern dengan dibolehkannya mengambil bunga dari harta yang disimpan di bank, padahal hal itu sudah jelas sebagai riba yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  4. Pendapat yang menyatakan bahwa nikah tahlil (menikah setelah ada kesepakatan dengan mantan suami sebelumnya) boleh, ini pendapat yang batil bertentangan dengan petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang larangan muhallil (suami baru) dan muhallil lahu (suami sebelumnya).
  5. Pendapat yang membolehkan untuk mendengarkan alat musik dan pesta, ini adalah pendapat yang mungkar, ada banyak dalil dari Al Qur’an dan Sunnah dan juga pendapat generasi salaf yang menunjukkan batilnya pendapat tersebut; oleh karenanya para imam madzhab yang empat telah bersepakat akan keharamannya.
  6. Pendapat yang menyatakan bahwa orang yang masuk masjid pada hari Jum’at sedangkan imam sedang berkhutbah langsung duduk untuk mendengarkan khutbah dan tidak mendirikan shalat tahiyyatul masjid.
  7. Pendapat yang menyatakan tidak disunnahkan untuk mengangkat tangan di dalam shalat pada saat takbir ruku’, I’tidal dan berdiri menuju raka’at yang ketiga.
  8. Pendapat yang menyatakan bahwa shalat istisqa’ tidak disunnahkan. Telah ditetapkan riwayatnya di dalam shahihaini dan kitab lainnya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melakukannya secara berjama’ah bersama para sahabatnya.
  9. Pendapat yang menyatakan puasa sunnah 6 hari pada bulan Syawal tidak disunnahkan.

Beberapa masalah di atas yang yang serupa dengannya termasuk yang ada nash yang menjelaskan hukumnya maka mereka yang menyelisihinya perlu diingkari, para sahabat dan ngenerasi setelahnya dari para imam yang ada senantiasa mengingkari mereka yang mengingkari dalil yang shahih meskipun ia seorang mujtahid.

Kedua:

Masalah-masalah yang tidak ada penjelasan hukumnya dari dalil yang jelas dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas yang jelas.

Atau ada yang menjelaskan hukumnya dari dalil hadits akan tetapi (kedudukan hadits) shahih tidaknya masih diperdebatkan, atau tidak nampak jelas di dalam menjelaskan hukumnya, bahkan masih menunjukkan kemungkinan.

Atau ada nash-nash yang bertentangan dalam kenyataannya.

Masalah-masalah seperti ini membutuhkan ijtihad, penelitian, perenungan, untuk mengetahui hukumnya, beberapa contoh di antaranya adalah:

  1. Perbedaan tentang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mampu melihat Allah di dunia atau tidak.
  2. Perbedaan tentang ahli kubur mampu mendengarkan perkataan orang yang masih hidup atau tidak
  3. Batalnya wudhu’ dengan memegang kemaluan atau menyentuh wanita atau memakan daging onta.
  4. Qunut pada saat shalat subuh setiap hari.
  5. Qunut pada saat shalat witir, apakah dilakukan sebelum ruku’ atau setelahnya ?

Beberapa permasalahan ini dan yang serupa dengannya yang tidak ada nash yang jelas untuk menjelaskan hukumnya, maka orang yang berbeda pendapat tidak bisa diingkari, selama ia mengikuti pendapat seorang imam dari para imam yang ada dengan perkiraan bahwa pendapatnya yang benar, namun tidak dibolehkan bagi seseorang untuk mengambil pendapat dari para imam yang ada hanya sesuai dengan hawa nafsunya; karena dengan begitu telah berkumpul kepadanya semua keburukan.

Tidak mengingkari mereka yang berbeda dalam masalah-masalah seperti ini dan yang serupa dengannya, tidak berarti tidak menelitinya, atau tidak membandingkannya dan menjelaskan pendapat yang kuat dengan dalilnya, akan tetapi para ulama terdahulu maupun yang sekarang mereka senantiasa mengadakan pertemuan, diskusi, pembahasan terhadap masalah-masalah seperti ini, dan barang siapa yang nampak baginya kebenaran maka ia wajib untuk merujuk kepadanya.

Syeikh Islam –rahimahullah- berkata:

“Sungguh masalah-masalah ijtihadiyah seperti ini tidak bisa diingkari dengan tangan (kekuasaan), tidak dibolehkan bagi siapapun yang mewajibkan manusia untuk mengikutinya dalam masalah tertentu, akan tetapi perlu didiskusikan dengan alasan-alasan yang ilmiyah, barang siapa yang nampak baginya kebenaran salah satu dari dua pendapat tersebut, maka ia mengikutinya, dan barang siapa yang mengikuti pendapat yang lain, maka tidak boleh diingkari juga”. (Majmu’ Al Fatawa: 30/80)

Beberapa pendapat di bawah ini menurut sebagian ulama menguatkan pembagian sebelumnya:

  1. Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Ucapan mereka bahwa masalah ijtihad tidak bisa diingkari adalah tidak benar; karena pengingkaran itu bisa jadi mengarahkan kepada ucapan dengan hukum atau dengan perbuatan.

Kalau menurut yang pertama, jika pendapat tersebut menyimpang dari sunnah dan ijma’ pada masa lalu, maka wajib diingkari tanpa ada perbedaan di antara para ulama. Namun jika tidak demikian maka diingkari dalam arti menjelaskan sisi lemahnya bagi yang mengatakan bahwa yang benar adalah satu, dan mereka adalah mayoritas genarasi salaf dan para ahli fikih.

Adapun jika mengarah kepada perbuatan, maka jika hal itu menyimpang dari sunnah dan ijma’ maka wajib diingkari juga sesuai dengan derajat pengingkaran yang ada (tidak dipukul rata)

Adapun jika dalam masalah tersebut tidak terdapat sunnah, ijma’ , tidak ada ruang ijtihad juga maka tidak bisa diingkari orang yang melakukannya kalau dia sebagai seorang mujtahid atau muqallid (yang mengikuti tanpa tahu dalilnya).

Ketidakjelasan ini muncul dari sisi bahwa penganutnya meyakini masalah khilafiyah tersebut adalah masalah ijtihad, sebagaimana keyakinan sebagian kelompok manusia. Yang benar dan yang sesuai dengan pendapat para imam bahwa masalah ijtihad adalah masalah yang belum ada dalilnya maka wajib diamalkan secara zhahir, seperti hadits yang shahih tidak ada yang menetangnya dari jenis yang sama, maka jika hal itu tidak ada maka diperlukan ijtihad karena bertentangan dengan dalil-dalil yang mendekatinya atau karena ketidakjelasan dalil-dalil di dalamnya”. (Bayan Ad Dalil ‘ala Buthlan At Tahlil: 210-211)

Beliau juga berkata:

“Dalam masalah-masalah ijtihad, barang siapa yang mengamalkan pendapat sebagian para ulama, maka tidak perlu diingkari juga tidak perlu dijauhi, dan barang siapa yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat maka tidak perlu diingkari”. (Majmu’ al Fatawa: 20/207)

  1. Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Pendapat mereka: “Sungguh masalah ijtihad itu tidak bisa dingkari” adalah tidak benar, kemudian beliau menyebutkan ucapan Syeikh Islam Ibnu Taimiyah di atas, lalu beliau berkata:

“Bagaimana seorang ahli fikih berkata: Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah yang masih diperdebatkan. Para ahli fikih dari berbagai kelompok mereka telah berterus terang bahwa putusan seorang hakim menjadi batal jika berbeda dengan kitab dan sunnah meskipun telah sesuai dengan pendapat sebagian para ulama ?!, sedangkan jika dalam masalah tersebut tidak terdapat sunnah dan ijma’, juga tidak ada ruang untuk berijtihad maka tidak diingkari orang yang mengamalkannya sebagai seorang mujtahid atau muqallid.

Beberapa masalah yang diperdebatkan oleh generasi salaf dan generasi khalaf, yang keduanya sudah meyakini kebenaran salah satu dari dua pendapat dari permasalahan tersebut, seperti; seorang wanita yang sedang hamil masa iddahnya sampai melahirkan, jima’nya suami kedua menjadi syarat halalnya wanita tersebut kembali kepada suami pertama (setelah diceraikan), mandi besar sudah wajib dilakukan hanya dengan bersetubuh meskipun belum sampai ejakulasi, riba fadhli haram, nikah mut’ah haram, nabidz (proses antara juz dan khamr) yang memabukkan haram, seorang muslim tidak diqishas dengan orang kafir, mengusap kedua sepatu boleh bagi orang yang mukim dan musafir, yang disunnahkan di dalam ruku’ adalah meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut tanpa dirapatkan, mengangkat kedua tangan pada saat ruku’ dan bangkit dari ruku’ adalah sunnah, hak syuf’ah (yang berdekatan) berlaku bagi tanah dan perabot, wakaf itu benar dan pasti, denda jemari adalah sama, tangan pencuri dipotong karena (mencuri) tiga dirham, cincin dari besi boleh menjadi mas kawin, tayammum itu sampai kedua pergelangan tangan hanya dengan satu kali pukulan (pada debu) dibolehkan, puasanya wali (ahli waris) untuk si mayit dibolehkan, jama’ah haji bertalbiyah sampai melempar jumrah aqabah, orang yang sedang berihram boleh jika keharuman parfumnya berkelanjutan namun tidak boleh memulai pemakaiannya, yang disunnahkan pada salam ke kanan dan kiri dalam dalam shalat dengan assalamu’alaikum warahmatullah, assalamu’alaikum warahmatullah, memilih barang di dalam majelis diakui dalam jual beli, jual beli hewan yang sedang menyusui dan susunya diambil terlebih dahulu, maka dibayar harganya plus satu sha’ kurma sebagai ganti susu yang diambil, shalat kusuf dengan dua ruku’ pada setiap rakaat, peradilan itu boleh digelar dengan saksi dan sumpah, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya, oleh karenanya banyak para imam menjelaskan batalnya hukumnya seseorang yang memutuskan berbeda dengan banyak permasalahan ini, tanpa mencederai siapa yang berpendapat dengannya.

Yang penting, tidak ada alasan di hadapan Allah pada hari kiamat bagi siapa saja yang sampai kepadanya masalah ini dari hadits, atsar yang tidak ada penentang baginya untuk dicampakkan”. (I’lam Al Muwaqi’in: 3/300-301)

  1. Ibnu Qudamah Al Maqdishi berkata:

“Tidak selayaknya bagi seseoang untuk mengingkari orang lain yang mengamalkan madzhabnya sendiri, karena tidak ada pengingkaran terhadap hal-hal hasil ijtihad”. (Al Adab As Syar’iyyah karya Ibnu Muflih: 1/186)

  1. An Nawawi berkata di dalam Syarah Muslim:

“Para ulama berkata: “Tidak boleh bagi seorang mufti juga seorang qadhi untuk menolak orang yang berbeda dengan dirinya, jika ia tidak berbeda dengan nash, ijma’ atau qiyas yang jelas”.

  1. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:

“Jika ada seseorang berkata tentang masalah khilafiyah, maka hal ini batil menyelisihi ijma’nya umat, para sahabat dan genarasi berikutnya mereka senantiasa mengingkari orang yang menyelisihi dan orang yang berbuat salah siapapun dia, meskipun ia adalah orang yang paling paling alim dan paling bertaqwa. Jika Allah telah mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk dan agama yang benar, dan kita diperintah untuk mengikutinya, dan tidak menyimpang darinya, konsekuensinya adalah barang siapa dari kalangan para ulama yang menyelisihi beliau, maka ulama tersebut salah diingatkan dan diingkari kesalahannya, dan jika yang dimaksud adalah dalam masalah ijtihad, yaitu; masalah ijtihad yang masih belum jelas kebenarannya, maka ucapannya ini benar. Tidak boleh bagi seseorang mengingkari sesuatu karena pelakunya berbeda dengan madzhabnya atau dengan kebiasaan orang, sebagaimana tidak dibolehkan bagi seseorang menyuruh kecuali dengan ilmu, maka ia tidak boleh mengingkari kecuali dengan ilmu, semua ini masuk dalam firman Allah:

 ولا تقف ما ليس لك به علم 

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Al isra’: 36)

(Ad Durar As Sunniyah: 4/8)

  1. Asy Syaukani berkata:

“Ungkapan ini –tidak ada pengingkaran terhadap masalah khilafiyah- telah menjadi antisipasi terbesar untuk menutup pintu amar makruf dan nahi mungkar, keduanya kedudukanya sama dengan yang telah kami ketahui, dan kedudukan yang telah kami jelaskan kepadamu, yaitu; wajib dengan kewajiban dari Allah –‘azza wa jalla- dan dengan kewajiban Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada umat ini, perintah kepada yang ma’ruf dari hal-hal yang makruf di dalam syari’at ini, dan larangan kepada yang mungkar dari hal-hal yang mungkar di dalam syari’at ini pula, yang menjadi tumpuan hal itu adalah Al Kitab dan As Sunnah, diwajibkan bagi seorang muslim untuk menyuruh yang makruf dengan apa yang telah ia dapatkan di dalam keduanya atau di dalam salah satunya dan melarang apa yang ada di dalam keduanya atau di dalam salah satunya sebagai kemungkaran.

Jika ada seseorang dari para ulama yang berkata namun berbeda dengan hal itu, maka pertama ucapannya itu adalah kemungkaran wajib diingkari, yang kedua kemudian kepada pelakunya.

Syari’at yang mulia ini yang kita semuanya diperintah untuk mengerjakan hal yang ma’ruf di dalamnya, dan mencegah kemungkaran karenanya, semua itu tertera di dalam Al Kitab dan As Sunnah. (As Sail Al Jarrar: 4/588)

  1. Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata sebagai jawaban dari orang yang berkata: “Masalah khilafiyah tidak ada pengingkaran di dalamnya”.

“Kalau saja kami katakan: permasalahan khilafiyah tidak ada pengingkaran di dalamnya secara mutlak, maka agama akan hilang semuanya pada saat yang diambil yang ringan-ringan saja, karena anda hampir tidak mendapatkan masalah kecuali di dalamnya terdapat perbedaan di antara manusia”.

Masalah khilafiyah itu dibagi dua:

  1. Masalah ijtihadiyah yang masih ada ruang perbedaan, artinya khilafiyah tersebut benar adanya namun masih ada ruang untuk diskusi, maka dalam kondisi seperti ini tidak ada pengingkaran terhadap seorang mujtahid, adapun manusia secara umum, maka mereka diwajibkan agar sesuai dengan ulama yang ada di daerah mereka, agar masyarakat umum tidak kebingungan; karena kalau kita katakan kepada orang umum: “Pendapat apa saja yang kamu dengar, maka ambil, maka yang terjadi umat tidak akan menjadi satu umat, oleh karenanya Syeikh kami Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- berkata: “Orang-orang awam itu sesuai dengan madzhab para ulama mereka”.
  2. Masalah khilafiyah yang tidak ada ruang untuk berijtihad, maka mereka yang berbeda akan diingkari, karena tidak ada ruang alasan baginya.

(Liqo Al Bab Al Maftuh: 49/192-193)

Wallahu A’lam

Baca juga: kitab Hukmu Al Ingkar fii Masail Al Khilaf karya DR. Fadhl Ilahi Zhohir

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam