Alhamdulillah.
.
Jika orang tersebut sakit yang tidak ada harapan sembuh, maka dia tidak wajib puasa dan tidak wajib qadha. Tapi cukup baginya memberi makan orang satu orang miskin untuk satu hari yang dia tidak berpuasa. Jika dia telah melakukan hal itu semasa hidupnya, maka itu sudah cukup. Jika belum, maka ahli warisnya harus melakukannya.
Adapun jika sakitnya adalah sakit yang masih diharapkan kesembuhannya, maka dia tidak wajib berpuasa di bulan Ramadan karena sakitnya, akan tetapi dia wajib qadha. Jika ternyata dia belum mampu qadha karena sakitnya berlanjut, maka tidak ada kewajiban baginya, tidak wajib puasa dan tidak wajib memberi makan dan tidak wajib bagi ahli warisnya berpuasa untuknya atau memberi makan atas namanya.
Adapun jika dia mungkin melakukan qadha, akan tetapi belum dia laksanakan, maka disunahkan bagi ahli warisnya untuk berpuasa atasnya sejumlah bilangan hari yang dia berbuka. Jika mereka tidak melakukannya, mereka dapat memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang dia tinggalkan puasanya.
Maka dengan demikian, makna hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam;
من مات وعليه صيام
“Siapa yang meninggal sedangkan dia memiliki hutang puasa….”
Maksudnya adalah siapa yang tidak berpuasa karena uzur seperti haid, safar atau sakit yang diharapkan kesembuhannya dan dia mampu mengqadhanya namun belum dia lakukan, maka disunahkan bagi kerabatnya untuk berpuasa atasnya.
Dikatakan dalam kitab Aunul Ma’bud, 7/26
“Para ulama sepakat bahwa siapa yang berbuka karena sakit atau safar, kemudian dia tidak menganggap remeh untuk mengqadhanya hingga meninggal, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya, tidak wajib baginya memberi makan, hanya saja Qatadah berkata, dia harus memberi makan, dikabarkan bahwa Thawus juga berpendapat demikian.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Majmu Fatawa, 19/Apa yang dimakruhkan dan disunahkan dalam hukum qadha.
“Siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadan karena sakit, kemudian dia meninggal sebelum sempat mengqadha, maka tidak ada kewajiban baginya, baik dari sisi nash ataupu atsar, juga tidak dari sisi ucapan para ulama.
Adapun berdasarkan nash, Allah Taala berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (سورة البقرة: 185)
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” QS. Al-Baqarah: 185
Maka Allah menjadikan bahwa yang wajib adalah menggantinya di hari lain, maka jika dia meninggalkan sebelum mampu melaksanakannya, maka dia meninggalkan sebelum masa diwajibkan baginya, maka dia seperti orang yang meninggal sebelum masuknya Ramadan. Tidak wajib baginya memberi makan untuk Ramadan yang akan datang, walaupun dia meninggal sesaat sebelum Ramadan.
Begitupula, orang yang sakit, selama dalam sakitnya, tidak wajib baginya berpuasa. Jika dia meninggal sebelum sembuh maka dia telah mati sebelum diwajibkan baginya berpuasa. Maka tidak wajib baginya memberi makan, karena memberi makan adalah ganti bagi puasa, jika dia tidak wajib berpuasa, maka tidak wajib ditunaikan gantinya.
Inilah kesimpulan dari petunjuk Al-Quran, bahwa orang yang belum memungkinkan untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya.
Adapun berdasarkan sunah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رواه البخاري، رقم 1952 ومسلم، رقم 1147)
“Siapa yang mati sedangkan dia punya kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya.” (HR. Bukhari, no. 1952 dan Muslim, no. 1147)
Yang tersirat dari hadits ini jelas, pemahamannya adalah bahwa siapa yang mati dan dia tidak memiliki kewajiban puasa, maka tidak dipuasakan untuknya. Telah diketahui sebelumnya bahwa orang sakit jika sakitnya berlanjut, maka tidak wajib baginya menunaikan puasa secara langsung dan tidak juga diwajibkan mengqadha puasanya saat sakit.
Adapun berdasarkan ucapan para ulama, dalam kitab Al-Mughni, hal. 241, juz 3, cetakan Darul Manar, pengarang berkata, “Kesimpulannya adalah bahwa siapa yang memiliki kewajiban puasa Ramadan, tidak sunyi kondisinya dari dua keadaan;
Salah satunya; Meninggal sebelum memungkinkan baginya berpuasa, apakah karena sempitnya waktu, atau karena uzur sakit, atau karena safar, atau karena lemah berpuasa. Kondisi seperti ini tidak ada kewajiban apa-apa baginya menurut mayoritas ulama. Adapun Thawus dan Qatadah diriwayatkan keduanya berkata, ‘Wajib baginya memberi makan sebagai gantinya, kemudian beliau menyebutkan alasan hal itu dan membantahnya.
Kemudia dia berkata (hal. 341), “Kondisi kedua, seseorang mati sedangkan dia sudah memungkinkan untuk berpuasa, maka wajib baginya dikeluarkan makanan untuk orang miskin. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hal itu diriwayatka dari Aisyah dan Ibnu Abbas.
Kemudian dia berkata, ‘Abu Tsaur berkata, dilakukan puasa untuknya. Ini adalah pendapat dalam mazhab Syafii. Kemudian dia berdalil dengan hadits Aisyah yagn telah kami sebutkan sebelumnya.
Dikatakan dalam kitab Syarhul Muhazab, hal. 343, juz 6, cetakan maktabah Al-Irsyad, “Pasal. Dalam berbagai mazhab ulama, orang yang mati sedangkan dia memiliki kewajiban puasa yang tak terlaksana karena sakit, safar atau uzur selain keduanya, sementara dia tidak memungkinkan mengqadhanya hingga meninggal; telah kami sebutkan dalam mazhab kami bahwa dia tidak memiliki kewajiban apa-apa, tidak dilakukan puasa atasnya dan tidak diberikan atas namanya makanan (untuk orang miskin). Perkara ini tidak ada khilaf di kalangan kami.
Pendapat ini juga dinyatakan oleh Abu Hanifah, Malik dan mayoritas ulama. Al-Abdary berkata, “Ini merupakan pendapat para ulama seluruhnya, kecuali Thawus dan Qatadah. Keduanya berkata, ‘Wajib memberi makan untuk setiap satu hari, satu orang miskin. Kemudia dia menyebutkan alasannya dan dibantahnya. Dia berkata, ‘Al-Baihaqi dan ulama lainnya dalam mazhab kami berdalil dengan hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم ) رواه البخاري ومسلم (
“Jika aku perintahkan kalian dengan satu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dikatakan dalam kitab Al-Furu, hal. 39, juz 3, cetakan Al Tsani, “Jika dia tunda qadha hingga akhirnya mati (sebelum qadha), maka jika karena ada uzur, tidak ada kewajiban baginya, demikian nash menyatakan dan sesuai dengan pendapat imam yang tiga, karena tidak ada dalil.”
Dengan demikian jelaslah, tidak ada masalah dalam hal ini, yaitu bahwa puasa tidak perlu diqadha bagi orang yang masih memiliki uzur hingga meninggal, demikian juga tidak diperintahkan memberikan makan untuknya, kecuali bagi mereka yang sakit apabila tidak ada harapan sembuh, maka ketika itu kedudukannya seperti orang tua renta yang tidak mampu berpuasa, maka dia harus memberi makan orang miskin. Karena orang seperti ini wajib baginya memberi makan saat dia masih hidup sebagai pengganti puasanya.
Maka tidak ada kewajiban pada diri seseorang dalam hal ini sebagaimana ditetapkan para ulama dan sebagaimana diketahui dalam catatan kami, perkara ini nyaris menjadi ijmak kalau tidak ada riwayat dari Thawus dan Qatadah (yang menyatakan harus memberi makan).”
Terdapat dalam Fatawa Lajnah Daimah soal berikut (10/372), “Ibuku sakit di bulan Ramadan pada tahun 1397 H. Dia tidak dapat melakukan puasa delapan hari. Lalu dia meninggal tiga bulan setelah Ramadan. Apakah saya berpuasa untuknya selama delapan hari itu. Apakah boleh menundanya setelah Ramadan tahun 1398 H ataukah aku bersedekah untuknya?
Mereka menjawab, “Jika ibumu sembuh setelah bulan Ramadan yang delapan harinya tidak berpuasa dan berlalu padanya waktu yang memungkinkannya untuk berpuasa qadha, namun dia meninggal sebelum mengqadhanya, maka disunahkan bagi salah satu kerabatnya berpuasa delapan hari tersebut. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
من مات وعليه صيام صام عنه وليه (متفق عليه)
Siapa yang meninggal sementara dia memiliki kewajiban puasa, maka kerabatnya hendaknya berpuasa untuknya.” (Muttafaq alaih)
Adapun jika sakitnya berlanjut dan belum mampu baginya qadha namun dia telah meninggal, maka orang seperti ini tidak perlu berpuasa qadha untuknya, karena asalnya tidak memungkinkan baginya melakukan qadha, berdasakakn keumuman firman Allah Taala,
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al Baqarah: 286)
Dan firmanNya
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupan anda semua.”
Wallahu a’lam.