Alhamdulillah.
Barangsiapa yang berumrah di bulan Syawal, berdiam di Mekkah kemudian pada tahun yang sama dia melakukan haji, maka dia termasuk melakukan haji Tamattu dan diharuskan menyembelih hadyu. Karena tamaattu’ adalah berihram untuk umrah di bulan haji dan dilakukan sampai selesai. Kemudian berihram untuk haji di tahun yang sama. Bulan-bulan haji yang dikenal adalah Syawwal, Dzulqaidah dan sepuluh Dzulhijjah.
Kalau dia safar diantara umrah dan haji, maka para ulama berbeda pendapat, yang kuat dalam hal itu adalah, kalau dia pulang ke negaranya, maka Tamattunya telah terputus. Kalau dia safar ke selain negaranya, maka dia tetap dalam Tamattunya. Kalau dia melakukan haji pada tahun yang sama, maka diharuskan menyembelih hadyu.
Para ulam’ AL-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya, ‘Saya telah melaksanakan umrah di bulan Syawwal tahun 1395 H. setelah selesai, saya kembali ke negaraku. Dimana insyaallah saya berniat kuat akan melaksanakan kewajiban haji pada tahun 1395 H, apakah saya terkenan hadyu atau tidak?
Mereka menjawabnya, ‘Mayoritas ulama berpendapat bahwa anda tidak terkena hadyu. Karena anda tidak Tamattu umrah sampai sampai haji dengan sekali safar. Dimana anda sebutkan telah kembali ke Negara anda setelah menunaikan umrah di bulan Syawwal 1395 H tidak menetap di Mekkah sampai menunaikan haji. Sebagian ulama berpendapat, anda tetap terkena hadyu meskipun anda pulang ke Negara anda atau jarak yang lebih jauh lagi, kalau sekiranya anda melaksanakan haji pada tahun yang sama. Berdasarkan keumuman firman Allah, ‘Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.’ SQ. Al-Baqaroh: 196.
Sementara fatwa dan yang dilaksanakan adalah pendapat mayoritas ulama yang tidak wajib hadyu akan hal itu.’ Selesai ‘Fatawa AL-Lajnah Ad-Daimah, 11/366.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, ‘Kalau seseorang berihram dengan Tamattu ketika sampai di Mekkah, maka dia harus melakukan thawaf dan sai dan mencukurnya. Sehingga dia dapat tahallul dari umrahnya. Dan dia dibolehkan pergi ke Jeddah, Toif, Madinah, atau ke tempat lain. Hal itu tidak memutuskan Tamattunya. Sehingga dia kembali dalam kondisi berihram untuk haji, maka Tamattunya tidak terputus. Sementara kalau dia safar ke negaranya dan kembali berihram dengan haji, maka Tamattunya terputus. Kalau dia kembali berihram dengan umrah setelah dia pulang ke negaranya, maka (yang dihitung) adalah umrah kedua bukan umrah pertama. Karena umrah pertama telah terputus dari haji dikarenakan pulang ke negaranya. Kesimpulannya adalah, barangsiapa yang melaksanakan haji Tamattu, dia dibolehkan safar antara umrah dan haji ke negeranya atau ke tempat lain. Akan tetapi kalau dia ke negaranya, kemudian kembali dengan ihram haji, maka telah terputus Tamattunya sehingga menjadi haji ifrad. Kalau dia safar ke selain negaranya, kemudian kembali berihram dengan haji, maka dia tetap dalam Tamattunya. Dan diharuskan menyembelih hadyu sebagaimana yang telah dikenal.’ Selesai ‘AL-Liqo’ As-Syahri, 16/4.
Hasilnya adalah kalau anda kembali ke Negara anda setelah umrah, maka Tamattunya terputus. Dan anda tidak diharuskan menyembelih hadyu. Kalau anda tetap di Mekkah atau safar ke tempat selain Negara anda seperti Madinah. Maka Tamattunya tidak terputus.
Seyogyanya diketahui bahwa manasik yang terbaik adalah Tamattu. Dimana Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kepada para shahabatnya. Dan beliau berharap ingin melaksanakannya. Telah ada penjelasan hal itu di soal jawab no. 31822.
Kalau anda telah kembali ke Negara anda dan terputus Tamattunya, yang lebih utama adalah anda berihram dari miqat dengan umrah ketika anda safar untuk haji, agar (dapat menjalankan) haji Tamattu.
Seyogyanya diketahui juga, bahwa hadyu bukan denda sehingga orang lari darinya. Bahkan ia adalah ibadah dimana seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala yang dapat menambah ketakwaan dan amalan sholeh. Sebagai bentuk syukur kepada Allah Ta’ala yang telah memudahkan menunaikan dua manasik (haji dan umrah).
Wallahu’alam.