Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Hukum Melempar Semua Jumrah Pada Malam Hari dan Sebelum Tergelincirnya Matahari

96095

Tanggal Tayang : 13-08-2017

Penampilan-penampilan : 20997

Pertanyaan

Apakah boleh melempar jumrah pada hari-hari tasyriq sebelum matahari tergelincir (sebelum dzuhur); karena adanya kesulitan dan penuh sesak, sedangkan saya bersama ibu saya yang sudah lanjut usia ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Jumhur ulama fikih berpendapat bahwa melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari (sebelum dzuhur) tidak sah, berdasarkan riwayat yang menetapkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari, dan beliau pun telah bersabda:

( خذوا عني مناسككم(  رواه مسلم (1297(

“Ambillah manasik (tata cara ibadah haji) kalian dariku”. (HR. Muslim: 1297)

Perbuatan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau menunda pelaksanaan melempar jumrah sampai pada waktu tersebut (setelah dzuhur), padahal waktu tersebut sangatlah panas, dan beliau tidak melakukannya pada awal waktu (pagi hari) padahal cuacanya lebih dingin dan lebih mudah, menjadi dalil bahwa tidak dibolehkan melempar jumrah sebelum waktu tersebut.

Dan yang menjadi dalil lain bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melempar jumrah sesaat setelah tergelincirnya matahari dan sebelum mendirikan shalat dzuhur, maka hal ini menjadi dalil bahwa tidak sah melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari, kalau tidak demikian maka melempar jumrah sebelum dzuhur akan lebih utama; agar bisa mendirikan shalat dzuhur pada awal waktunya; karena shalat diawal waktunya lebih utama.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- (3/233) berkata:

“Dan dia (jamaah haji) tidak melempar (jumrah) pada hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari, jika dia melempar sebelum waktu tersebut, hendaknya mengulanginya. Inilah secara tekstual pendapat Imam Ahmad. Dan hal itu diriwayatkan dari Ibnu Umar, demikian juga pendapat Malik, Tsauri, Syafi’i, Ishak dan mereka para pemikir. Diriwayatkan juga dari Hasan dan ‘atha’, hanya saja Ishak dan para pemikir memberikan keringanan, jika melempar jumrah pada nafar awal boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari dan tidak beranjak (dari Mina) kecuali setelah tergelincirnya matahari, demikian juga pendapat Imam Ahmad. Ikrimah juga memberikan keringanan seperti itu. Thawus berkata: “(Boleh) melempar sebelum tergelincirnya matahari dan keluar (dari Mina) sebelumnya”.

Kemudian dia berdalil bahwa tidak bolehnya melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari, berdasarkan perkataan ‘Aisyah: “Beliau melempar jumrah, jika matahari sudah tergelincir (ke arah barat)”. Dan perkataan Jabir tentang sifat hajinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “ Saya telah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melempar jumrah pada waktu dhuha di hari raya, dan setelahnya beliau melempar setelah tergelincirnya matahari, dan beliau telah bersabda: “Ambillah manasik (tata cara ibadah haji) kalian dariku”.

Ibnu Umar berkata:

“Kami menunggu waktu, jika matahari sudah tergelincir maka kami melempar jumrah, kapan pun melempar yang penting setelah tergelincirnya matahari maka tetap sah,  hanya saja yang disunnahkan adalah bersegera melempar jumrah begitu matahari tergelincir (ke arah barat)”. Sebagaimana perkataan Ibnu Umar.

Atas dasar itulah maka melempar jumrah setelah tergelincirnya matahari secara dalil lebih rajih (kuat) dan lebih banyak madzhab yang menganutnya dan lebih berhati-hati untuk ibadah; karena barang siapa yang melaksanakannya maka melempar jumrahnya menjadi sah menurut kesepakatan para ulama. Adapun bagi mereka yang melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari, maka keabsahan melempar jumrahnya menjadi perbedaan di antara para ulama, bahkan tidak sah menurut sebagian besar para ulama.

Adapun apa yang telah anda sebutkan tentang penuh sesaknya orang yang berhaji, maka kemacetan tersebut juga ada sebelum tergelincirnya matahari, apalagi banyak orang yang menganggap remeh masalah ini dan mengampil pendapat yang lemah.

Bisa jadi melempar jumrah dilakukan sesaat sebelum ashar tiba atau setelahnya, hal itu akan lebih longgar.

Ketahuilah bahwa boleh melempar jumrah pada malam hari, apalagi anda bersama ibu anda yang sudah berusia lanjut, hal itu lebih baik dari pada melempar jumrah sebelum tergelincirnya matahari; karena tidak adanya dalil yang membatasi akhir dari masa melempar jumrah dengan terbenamnya matahari, demikian juga sebagian ahli fikih berpendapat demikian, seperti madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyyah.

Baca: Badai’ Shana’i: 2/138, Al Bahrul Raiq: 2/374, Tuhfatul Muhtaj: 4/125 dan Nihayatul Muhtaj: 3/311.

Imam Bukhori (1723) telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya oleh seseorang:

رَمَيْتُ بَعْدَ مَا أَمْسَيْتُ . فَقَالَ : لَا حَرَجَ

“Saya telah melempar jumrah pada malam hari”, beliau menjawab: “Tidak masalah”.

Tidak ada dalil yang membatasi masa akhir dari melempar jumrah, maka hal itu menunjukkan bahwa melempar jumrah pada malam hari tetap sah.

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata:

“Tidak ada dalil yang menyatakan dilarang melempar jumrah pada malam hari, maka hukum asalnya adalah boleh. Yang lebih utama adalah melempar jumrah pada siang hari pada semua waktu di hari raya dan setelah matahari tergelincir pada tiga hari setelahnya jika hal itu memungkinkan. Sedangkan melempar jumrah pada malam hari tetap sah untuk hari yang mataharinya sudah terbenam, dan tidak sah untuk hari berikutnya”.

Barang siapa yang ketinggalan untuk melempar jumrah pada siang hari di hari raya, maka dia melempar jumrah pada malam tanggal 11 nya sampai pada jam terakhir malam itu. Barang siapa yang ketinggalan untuk melempar jumrah sebelum terbenamnya matahari pada tanggal 11 maka dia melemparnya setelah terbenamnya matahari pada malam tanggal 12, dan barang siapa yang terlambat melempar jumrah pada tanggal 12 nya sebelum terbenamnya matahari, maka dia melemparnya setelah terbenamnya matahari pada malam tanggal 13, barang siapa yang terlambat untuk melempar jumrah pada siang hari dari tanggal 13 sampai terbenamnya matahari, maka dia wajib membayar dam; karena masa melempar jumrah semuanya berakhir dengan terbenamnya matahari pada tanggal 13”. (Fatawa Syeikh Ibnu Baaz: 16/144)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Wahai syeikh yang terhormat, anda tentu mengetahui bagaimana kondisi para wanita pada musim haji dengan penuh sesaknya orang di sana dan mereka tidak bisa melaksanakan manasik haji di beberapa tempat, sebagian para ulama telah memberikan fatwa bahwa dibolehkan bagi seorang wanita untuk melempar jumrah pada malam hari, maka apakah walinya juga pergi bersamanya untuk melempar jumrah pada malam hari, atau walinya pergi melempar jumrah pada siang harinya dan pada malam harinya hanya mengantarnya untuk melempar jumrah ?”

Beliau menjawab:

“Yang benar bahwa melempar jumrah pada malam hari dibolehkan, kecuali pada malam hari raya, maka tidak boleh melempar jumrah kecuali pada akhir malamnya, demikian juga pada tanggal 12 nya maka tidak boleh menundanya sampai akhir malamnya jika dia ingin besegera keluar dari Mina; karena jika dia menundanya sampai akhir malamnya maka dia wajib bermalam lagi sampai tanggal 13. Demikian juga dengan melempar jumrah pada tanggal 13 nya hendaknya tidak mengakhirkannya sampai pada malam harinya; karena hari-hari tasyriq akan  berakhir dengan terbenamnya matahari pada tanggal 13. Maka dibolehkan juga melempar jumrah pada malam hari bagi laki-laki, pendapat kami bahwa melempar jumrah pada malam hari akan mendatangkan ketenangan dan melempar dengan khusu’, maka akan lebih utama baginya dari pada dia melakukannya pada siang hari dalam keadaan tidak mengetahui apakah bisa kembali lagi ke kemahnya atau meninggal dunia, dia tidak menunaikan ibadah –pada saat melaksanakannya- sebagai ibadah, akan tetapi dia melaksanakannya dengan kondisi fikirannya yang cemas dan hawatir akan (keselamatan) dirinya sendiri, kami telah menentukan kaidah yang mengarahkan pada syari’at: “Bahwa menjaga dzat ibadah itu lebih utama dari pada menjaga waktu atau tempat pelaksanaannya selama waktunya luas”. Oleh karenanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

(لا صلاة بحضرة الطعام، ولا وهو يدافعه الأخبثان)

“Tidak ada shalat di hadapan makanan, dan tidak shalat jika sedang terdorong oleh buang air kecil atau buang air besar”.

Barang siapa yang sedang terdorong untuk buang air kecil atau besar, maka kami berpendapat: “Tundalah shalat pada akhir waktu sampai buang hajatmu selesai, meskipun sebenarnya shalat diawal waktu lebih utama, akan tetapi jika anda tetap mendirikan shalat dalam kondisi terdorong untuk buang air, maka anda tidak akan mendapatkan kekhusyu’an yang berkaitan erat dengan dzat ibadah itu, oleh karenanya kami berpendapat pada era sekarang bahwa melempar jumrah pada malam hari lebih utama dari pada dilakukan pada siang hari, jika melempar jumrah pada siang hari tidak bisa khusyu’ dan tidak bisa melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan, maka dibolehkan bagi seorang laki-laki untuk menunda melempar jumrah sampai pada malam hari agar dia bisa pergi bersama keluarganya untuk melempar jumrah bersama-sama”. (Liqa al Baab al Maftuh: 21/18)

Kesimpulan:

Tidak boleh melempar jumrah pada hari-hari tasyriq sebelum tergelincirnya matahari, dan melempar jumrah pada malam hari menjadi jalan keluar dan ada keluasan, segala puji bagi Alloh.

Wallahu A’lam’.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam