Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Apakah Bagi Seorang Wanita Berkurban atau Beraqiqah Untuk Dirinya Sendiri Karena Bapaknya Tidak Mengaqiqahinya ?

Pertanyaan

Seorang wanita yang usianya telah mencapai 39 tahun ingin berkurban, maka dikatakan: “Pertama kamu mengaqiqahi dirimu sendiri; karena bapakmu belum mengaqiqahimu”, dia telah menikahkannya sebelum mengaqiqahi anak-anaknya, anak perempuannya tersebut sudah mempunyai seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, apakah dia mengaqiqahi anak-anak dan dirinya sendiri atau bapaknya yang mengaqiqahi mereka semua ?, sebagaimana diketahui bahwa umur anak perempuan wanita tersebut sudah berusia 15 tahun, sedangkan anak laki-lakinya umur 16 tahun, apakah hukum aqiqah itu wajib atau bisa gugur setelah bayi tersebut mencapai akil baligh ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah sesuai dengan pendapat yang rajih, dan telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 20018, aqiqah adalah tugas seorang bapak, bukanlah tugas seorang ibu dan juga bukan tugas anak-anak.

Aqiqah tidak gugur karena usia anak sudah baligh, jika seorang bapak telah diberikan kemampuan, disunnahkan baginya agar mengaqiqahi anak-anaknya yang belum diaqiqahi. Jika seorang bapak belum mengaqiqahi anaknya, maka apakah telah disyari’atkan bagi anak tersebut atau yang lainnya untuk mengaqiqahi dirinya sendiri ?, terdapat perbedaan di antara para ulama. Dan yang nampak adalah bahwa hal itu telah disyari’atkan dan disunnahkan.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata dalam Al Mughni (9/364): “Jika memang belum pernah diaqiqahi, sampai anak tersebut menjadi baligh, dan telah bekerja, maka tidak ada aqiqah lagi baginya. Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini, beliau berkata: “Hal itu menjadi tanggungan bapaknya”, berarti tidak mengaqiqahi dirinya sendiri; karena yang disunnahkan adalah dilakukan oleh orang lain”.

Atha’ dan Hasan berkata: “Hendaknya dia mengaqiqahi diri sendiri; karena telah disyari’atkan kepadanya dan karena seseorang itu tergadaikan dengan aqiqahnya, maka sebaiknya disyari’atkan baginya agar menebus dirinya sendiri”.

Menurut pendapat kami bahwa aqiqah itu disyari’atkan kepada seorang bapak, maka tidak bisa dilakukan oleh selainnya, seperti jika dilakukan oleh orang lain (bukan kerabat) dan sama dengan zakat fitrah.

Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata di dalam Tuhfatul Maudud fii Ahkamil Maulud: “Bab 19: Hukum seseorang yang belum diaqiqahi oleh bapaknya, apakah dia mengaqiqahi dirinya sendiri setelah baligh ?. Al Khollal berkata: “Bab disunnahkannya bagi yang belum di aqiqahi pada masa kecilnya agar mengaqiqahi dirinya sendiri pada saat dewasa, kemudian dia menyebutkan pembahasan Ismail bin Sa’id Asy Syalnaji bahwa dia berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad tentang seorang laki-laki yang diberi tahu oleh bapaknya bahwa dia belum mengaqiqahinya, apakah dia mengaqiqahi dirinya sendiri ?, beliau berkata: “Aqiqah itu menjadi tanggungannya seorang bapak”.

Dan di antara pembahasan Al Maimuni bahwa dia berkata: “Saya Berkata pada Abu Abdillah: “Jika dia belum mengaqiqahinya pada masa kecilnya, apakah dia mengaqiqahinya pada saat sudah dewasa ?, maka beliau menyebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa tetap diaqiqahi pada saat dewasa namun beliau menganggapnya lemah. Saya berpendapat adalah termasuk hal baik jika belum diaqiqahi pada masa kecilnya maka dia diaqiqahi setelah dewasa, dan berkata: “Jika ada orang yang melaksanakannya, saya tidak membencinya”. Dia berkata: “Abdul Malik telah mengabarkan kepada saya di tempat lain, bahwasanya dia telah berkata kepada Abu Abdillah: “Maka tetap diaqiqahi pada saat dewasa”. Dia berkata: “Saya belum pernah mendengar tentang hal itu pada saat dewasa”. Saya berkata: “Bapaknya dahulu kesulitan ekonomi lalu Alloh mudahkan, maka dia ingin untuk tidak meninggalkan anaknya sebelum diaqiqahi. Dia berkata: “Saya tidak tahu dan belum pernah mendengar tentang aqiqah pada usia dewasa”. Lalu dia berkata kepadaku: “Barang siapa yang melaksanakannya maka hal itu baik, dan sebagian orang ada yang mewajibkannya”.

Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- berkata setelah menukil ucapan tersebut:

“Pendapat yang pertama lebih kuat, bahwasanya disunnahkan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri; karena hukumnya aqiqah adalah sunnah muakkadah, bapaknya telah meninggalkannya maka disyari’atkan baginya untuk mengaqiqahi dirinya sendiri jika mampu, hal itu berdasarkan keumuman beberapa hadits di bawah ini, di antaranya adalah:

Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى ) أخرجه الإمام أحمد ، وأصحاب السنن عن سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح (

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, maka disembelihkan baginya pada hari ke tujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama”. (HR. Imam Ahmad dan Ashbabus Sunan dari Samrah bin Jundub –radhiyallahu ‘anhu- dengan sanad yang shahih)

Hadits Ummu Kurz al Ka’biyah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

أنه أمر أن يُعق عن الغلام بشاتين وعن الأنثى شاة”. أخرجه الخمسة ، وخرج الترمذي وصحح مثله عن عائشة

“Bahwa beliau telah menyuruh untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing kibas, dan untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing”. (HR. Imam yang lima, dan Tirmidzi meriwatkan dan menshahihkan riwayat serupa dari Aisyah).

Hadits ini tidak ditujukan kepada bapak saja, maka tentu juga mencakup anak dan ibu dan kerabat dari anak yang dilahirkan”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Baaz: 26/266)

Atas dasar inilah maka dikatakan kepada saudari yang sedang ditanya: “Anda boleh mengaqiqahi diri anda sendiri atau untuk anak-anak anda jika bapak mereka belum mengaqiqahi mereka”.

Kedua:

Berkurban adalah sunnah muakkadah, disyari’atkan bagi laki-laki dan perempuan, boleh juga untuk seorang laki-laki dan anggota keluarganya, boleh juga untuk seorang wanita dan anggota keluarganya.

Maka bagi wanita tersebut agar menyembelih kurban, baik suaminya sudah berkurban atau belum berkurban.

Jika dia sudah berkurban, maka hal itu juga bisa dianggap aqiqahnya.

Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata: “Bab 18 Tentang Hukum Menggabungkan Antara Aqiqah dan Kurban”.

Al Khollah berkata: “Bab Riwayat Bahwa Berkurban Juga Bisa Dianggap Sebagai Aqiqah: Telah dikabarkan kepada kami Abdul Malik al Maimuni bahwa dia berkata kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) bahwasanya dibolehkan untuk berkurban bagi seorang anak dengan niat untuk mengaqiqahinya juga ?, dia berkata: “Saya tidak tahu”, lalu beliau berkata: “Ada beberapa pendapat yang membolehkannya”. Saya berkata: “Apakah mereka itu para tabi’in ?”. Beliau berkata: “Ya”. Abdul Malik telah mengabarkan kepadaku pada tempat yang lain, dia berkata: “Abu Abdillah menyebutkan bahwa sebagian mereka berkata: “Jika dia melaksanakan ibadah kurban maka hal itu sudah bisa mewakili aqiqah”.

‘Ishmah bin ‘Ishom telah mengabarkan kepadaku di tempat yang lain dari Hambal bahwa Abu Abdillah berkata: “Jika disembelihkan untuknya tetap dianggap sah untuk kurban dan aqiqah. Dia berkata: “Saya telah melihat Abu Abdillah telah membeli hewan kurban lalu dia sembelih untuk dirinya dan keluarganya, pada waktu itu anaknya Abdullah masih kecil, saya berpendapat bahwa dia menyembelih untuk aqiqah dan berkurban, lalu dia bagikan dagingnya dan sebagiannya dimakan sendiri”. (Tuhfatul Maudud).

Baca juga jawaban soal nomor: 38197 dan 20018.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam