Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Hukum Nikah Misyar Dan pahala Atas Kesabaran Seoarang Istri Yang Suaminya Sering Menikah

97642

Tanggal Tayang : 02-10-2017

Penampilan-penampilan : 5926

Pertanyaan

Apakah pernikahan dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh seorang istri akan mengakibatkan gugurnya hak-hak dan kewajiban seorang istri? Saya adalah seorang istri yang suami saya menikah lagi dengan tiga orang istri yang lain, dan dia tidak memperlakukan kami secara adil. Dia pernah mengatakan bahwa pernikahan dengan syarat yang ditetapkan oleh seorang istri (nikah Misyar) tidak akan bisa memberikan keadilan kepada kalian semua. Maka apakah saya akan mendapatkan pahala dengan derita yang saya terima dari suami saya yang beristrikan banyak. Jika memang tidak mungkin membuahkan pahala bagi saya, maka saya akan mengajukan cerai kepada suami saya yang telah terlena dan difitnah oleh istri-istrinya yang lain? Perlu diketahui sebenarnya saya adalah istri pertama dari suami saya dan ibu dari putra-putrinya. Apakah kami mendapat pahala atas derita yang kami tanggung, yang derita itu berupa kesedihan dan juga siksaan yang kami dapati?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

.

Pertama:

Hendaknya terpenuhi semua syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan sehingga pernikahan tersebut sah dan sempurna. Di antaranya adalah keberadaan nyata masing-masing dari suami dan istri serta keridhoan keduanya, persetujuan wali mempelai wanita dan menjadi wali dalam akad nikah, dan terdapat saksi-saksi yang melegalkan pernikahan. Anda dapat ketahui penjelasannya pada jawaban soal no. 2127.

Kedua :

Pernikahan itu dianggap sah apabila terpenuhi semua syarat-syarat dan rukun- rukun akad nikah, dan model pernikahan semacam ini atau ‘Pernikahan Al Misyar’ telah ada sejak dahulu. Yaitu sebuah bentuk pernikahan di mana seorang suami mensyaratkan kepada  seorang wanita yang ingin agar laki-laki tersebut menikahinya bahwa dia (suami) tidak akan memberikan uang belanja kepada istri-istrinya secara merata, atau bahkan tidak memberikan nafkah kepada mereka sama sekali, atau tidak menyediakan tempat tinggal bagi mereka, dan kadang-kadang mensyaratkan dengan sekedar menyediakan waktu di siang hari saja untuk istrinya yang dikenal dengan istilah ‘Nahariyaat’. Akan tetapi kadang-kadang seorang isterilah yang memberi syarat kepada suaminya dengan menggugurkan kewajiban-kewajiban suami kepada istri atau istri tidak akan menuntut hak-haknya kepada suami, karena bisa jadi sang istri tersebut memiliki harta yang banyak dan tempat tinggal sehingga dia menggugurkan kewajiban suami untuk memenuhi itu semua. Kadang-kadang seorang istri pun rela hanya digilir di siang hari saja, atau rela hanya tinggal bersamanya selama beberapa hari saja tanpa menyertainya pada hari-hari kebutuhan dan hajatnya, dan fenomena seperti inilah yang menonjol di zaman kita dewasa ini.

Dan pembatalan hak-hak dan kewajiban semacam ini dari kedua belah pihak baik suami dan istri tidak menjadikan pernikahan itu menjadi haram, meski sebagian ulama tidak menyukainya akan tetapi tidak sampai menjadikannya keluar dari koridor yang dibolehkan dari sisi syarat-syarat dan rukunnya.

Di dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/337, Dari Al Hasan Al Bashri dan Athaa bin bi Rabaah sesungguhnya beliau berdua tidak melihat adanya larangan dalam kasus pernikahan An Nahariyaat (nikah misyar).

Masih dari sumber yang sama, 3/338, Dari Amir As Sya’bi sesungguhnya dia pernah ditanya tentang seseorang yang telah memiliki istri dan menikah dengan perempuan lain lagi, lalu dia mensyaratkan untuk menggilir salah satu istrinya sehari saja dan untuk istri yang lain selama dua hari? Beliau menjawab: Tidak ada masalah dalam hal tersebut.

Masih tetap dari sumber yang sama, “Akan tetapi hal tersebut di atas sangat dibenci oleh Muhammad bin Sirin, Hammad bin Abi Sulaiman, dan Az Zuhri.”

Banyak Ulama kontemporer kita yang membolehkan pernikahan semacam ini. Syekh Bin Baaz Rahimahullah ditanya tentang pernikahan Misyar, yaitu sebuah pernikahan di mana seorang suami menikahi lagi istri yang kedua, ketiga atau keempat, dan sang istri tersebut memiliki kondisi yang mengharuskannya tetap tinggal bersama dengan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya di rumahnya. Maka sang suami mendatanginya di waktu-waktu tertentu saja karena memang masing-masing dari kedua belah pihak telah memiliki kesibukannya sendiri-sendiri. Dari sisi syariat bagaimanakah hukum pernikahan semacam ini?

Beliau, rahimahullah, menjawab, “Yang demikian dibolehkan jika memang telah memenuhi kelayakan syarat-syarat akad nikah secara syariat, yaitu keberadaan seorang wali, keridhoan kedua belah pihak dari suami dan istri dan kehadiran dua orang saksi yang adil dan dapat dipercaya terhadap proses berlangsungnya pernikahan dan terbebasnya suami istri dari penghalang-penghalang pernikahan, sebagaimana keumuman sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :

أحق ما أوفيتم من الشروط أن توفوا به ما استحللتم به الفروج

“Syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang menyebabkan halalnya  kehormatan wanita bagi kalian.” 

dan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain :

المسلمون على شروطهم

“Orang-orang Islam itu menjalankan sesuai dengan syarat-syarat yang diberlakukan kepada mereka.”

Maka jika antara suami dan istri keduanya telah bersepakat bahwa istri tetap tinggal bersama keluarganya, atau pembagian jatah waktu untuknya hanya berlaku di siang hari saja atau pada hari-hari tertentu saja, atau malam-malam tertentu saja maka yang demikian tidak jadi masalah dengan syarat semuanya diutarakan secara terus terang tanpa ada yang ditutup-tutupi saat pernikahan.” (Fatawa Ulama Albalad Alharam, hal. 450-451)

Akan tetapi ketika banyak orang  yang buruk dalam mengaplikasikan pernikahan tersebut, para ulama yang pada awalnya memberikan fatwa dan membolehkan pernikahan tersebut, mereka menghentikan fatwa tentang dibolehkannya pernikahan semacam ini, dan diantara ulama yang paling getol melarang pernikahan tersebut adalah dua orang Syekh besar yaitu; Syekh Abdul Aziz bin Baaz dan Syekh Al Utsaimin Rahimahumallah.

Syekh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah ditanya, “Apa perbedaan antara pernikahan Misyaar dengan pernikahan yang syar’I dan apakah syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam pernikahan misyar?’ Beliau menjawab, “Yang wajib bagi setiap muslim adalah hendaknya ia menikah dengan pernikahan yang syar’i, dan menghindarkan sesuatu yang bertentangan dengannya, baik yang disebut sebagai pernikahan Misyar atau yang lainnya, dan diantara syarat dari pernikahan syar’i adalah adanya keterusterangan, dan apabila antara suami-istri ada hal yang disembunyikan maka pernikahan tersebut tidak sah.” (Fatawa Syekh bin Baaz,  20/ 431, 432).

Pada dasarnya pernikahan semacam ini merupakan solusi dari banyak problematika yaitu menjamurnya perawan tua yang tersebar di masyarakat Islam. Karena bisa jadi seorang suami tidak bisa konsisten dalam pembagian yang adil terhadap para istrinya, atau tidak mampu memberikan nafkah kepada dua orang istri. Ada di antara kaum wanita yang telah memiliki harta yang banyak, rumah dan lain sebagainya dan dia ingin menjaga kehormatan dirinya, maka dia rela diperistri oleh seorang suami yang datang kepadanya  pada hari-hari tertentu dalam sepekan, atau beberapa pekan dalam sebulan, dan Allah mentakdirkan kepada keduanya anugrah berupa kasih sayang, kebahagiaan dan kondisi yang lebih baik yang merubah keadaan rumah tangga mereka sebelumnya. Maka sang suami bisa memberikan pembagian secara adil berupa nafkah dan tempat tinggal yang layak bagi istri-istrinya.

Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam pernikahan semacam ini juga ada keburukannya, di antaranya adalah ;

·Perselisihan dan persengketaan terhadap harta peninggalan setelah wafatnya sang suami,

·Disembunyikannya pernikahan tersebut dan tidak disebarluaskan,

·Rumor yang diedarkan oleh sebagian penyebar isu baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan yang mengatakan bahwa hubungan keduanya adalah hubungan yang haram,

·Kedua suami dan istri tersebut tinggal jauh dari para kerabat dan tetangga, dan apabila ada orang yang melihat keduanya mereka akan mengatakan, Ini pasti perkawinan Misyar!!.

Setelah pemaparan ini, menjadi jelas bagi anda wahai saudari penanya bahwa tidak semestinya suami anda mengabaikan hak-hak anda dan menzalimi dalam memenuhi hak-hak anda, karena sesungguhnya ketika dia menikahi anda tanpa syarat-syarat sebagaimana dalam pernikahan Misyar, karena anda adalah istri pertamanya. Kalaupun ada pengurangan dari hari-hari giliran menginap maka hendaklah itu diberikan kepada istri-istrinya yang lain bukan kepada anda, maka barangsiapa dari seorang lelaki yang menikahi istri-istrinya dengan pernikahan Misyar maka para istri tersebut yang boleh digugurkan hak-haknya, baik dalam hal nafkah, tempat tinggal maupun giliran menginap (sesuai dengan apa yang telah disepakati kedua belah pihak saat pernikahan). Tidak halal baginya berdiam dan tinggal berlama-lama di sela hari-hari dan malam-malam giliran anda di rumah istri-istrinya yang lain dengan mengabaikan anda secara dzalim, terlebih lagi anda tidak menggugurkan hak-hak anda.

Ketiga:

Menikahnya seorang suami dengan perempuan lain bisa jadi penyebabnya karena sang suami sendiri, dan bisa jadi  penyebabnya timbul dari istri. Ada kalanya suami memiliki syahwat yang sangat kuat dan dia merasa tidak cukup hanya dengan satu istri, dan ada kalanya karena dia sering melakukan perjalanan jauh ke negara-negara tertentu dan dia membutuhkan seorang istri yang bisa menjaga kehormatannya serta melayani kebutuhan hidupnya. Kadang-kadang penyebabnya timbul karena istri, misalnya, kurang pedulinya sang istri dalam hal kebersihan rumahnya, kurangnya perhatian terhadap anak-anaknya, kurangnya berhias dan mempercantik diri untuk suaminya serta menjaga kehormatan suaminya. Jika penyebabnya karena yang kedua, maka hendaknya anda berinstropeksi kepada diri anda dan mencari apa gerangan kesalahan yang terjadi sehingga suami anda berkehendak untuk menikah dengan wanita lain.

Apabila penyebabnya karena yang pertama, maka tidak ada hal lain yang patut anda kerjakan melainkan kesabaran. Karena kesabaran itu memiliki kedudukan yang sangat agung dalam syariat, dan orang yang bersabar baik dalam menjalankan ketaatan kepada Allah atau kesabaran dari bermaksiat kepada-Nya, atau kesabaran terhadap segala ketentuan Allah, maka baginya pahala-pahala yang tiada batas dan sangat luar biasa di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ  (سورة الزمر: 10)

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Dan sesungguhnya bagi anda pahala yang sangat agung di sisi Allah Ta’ala jika anda telah bertaqwa kepada- Nya  dalam kehidupan rumah tangga anda, baik itu dalam melaksanakan hak-hak suami, perhatian terhadap kebutuhan anak-anak serta pendidikan mereka, sebagaimana bagi anda pahala di sisi Allah apabila anda bersabar atas perbuatan suami anda yang menikah lagi dengan perempuan lain selain anda.

Terkait perkara ini ada rincian  penjelasan yang dapat anda lihat pada jawaban soal no. 21421.

Akhirnya kami memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa memberikan rizqi kepada anda berupa kesabaran dan keridhoan serta memperbaiki prilaku suami anda kepada anda.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam