Alhamdulillah.
Sertifikat investasi yang dikeluarkan oleh bank-bank ribawi beserta ketiga jenisnya (A, B dan C) semuanya haram.
Sertifikat investasi ini merupakan obligasi pinjaman dengan bunga. Sertifikat investasi ini bervariasi sesuai dengan jenisnya.
Sertifikat investasi kelas A bunganya berupa persentase dan bunganya ditambahkan pada pokok nilai sertifikat hingga waktu sertifikat itu berakhir setelah sepuluh tahun.
Sertifikat investasi kelas B memiliki tingkat bunga tertentu yang dibayarkan setiap bulan, setiap tiga bulan, atau setiap enam bulan, sesuai dengan kesepakatan perjanjian dengan bank. Modalnya tetap dan tidak mengalami kerugian.
Kedua jenis ini hukumnya haram, karena merupakan pinjaman yang dijamin disertai dengan bunga yang dijamin dan bukanlah Mudharabah sama sekali. Kalau seandainya Mudharabah, maka Mudharabah yang rusak. Syariat tidak membolehkan Mudharabah di mana pemilik modal memberikan jaminan pada hartanya dan tidak memberikan pekerja jumlah dana tertentu.
Di antara keputusan majelis Majma’ Al-Fiqh Al-Islami yang diadakan pada Konferensi ke-14 di Qatar tanggal 8-13 Dzulqa’dah 1423 H yang bertepatan dengan tanggal 11-16 Januari 2003 menyatakan bahwa akad hutang-piutang berbeda dengan akad Mudharabah yang syar’i, di mana keuntungan dan kerugian diperuntukkan bagi debitur (peminjam). Sedangkan Mudharabah adalah berserikat pada keuntungan dan saling menanggung kerugian jika terjadi kerugian. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ (رواه أحمد ، وأصحاب السنن بسند صحيح)
“Pemanfaatan barang itu berbalas penjaminan.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan dengan sanad yang shahih).
Maksudnya apa yang dihasilkan dari pengembalian (return), perkembangan dan tambahan adalah halal bagi orang yang menanggung beban kerusakan. Para fuqaha telah menyimpulkan kaidah fikih dari hadits ini dengan redaksi Al-Ghunmu bil Ghurmi (seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko). Sebagaimana halnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang keuntungan terhadap barang yang tidak dapat dijamin baik dan buruknya (HR. Ashabus Sunan). Telah terjadi Ijma’ dari kalangan ahli fikih sepanjang zaman dan semua madzhab bahwasanya tidak boleh menentukan keuntungan investasi pada Mudharabah dan semua kerjasama dengan dana tertentu atau dengan persentase tertentu dari dana investasi (modal), karena di dalamnya terdapat unsur jaminan pada dana pokok (modal). Hal itu bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang shahih, dan menimbulkan terputusnya persekutuan dalam keuntungan dan kerugian yang merupakan tuntutan dari persekutuan dan bagi hasil (Mudharabah). Ijma’ seperti ini sangatlah kuat dan tetap, jika tidak ada yang menyelisihi. Dalam hal ini, Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al-Mughni, 3/34, “Para ulama yang dihafal pendapatnya berijma’ tentang pembatalan Mudharabah jika salah satu pihak atau kedua belah pihak mensyaratkan untuk dirinya sendiri beberapa dirham tertentu. Sedangkan Ijma’ adalah dalil yang berdiri sendiri. Dan ulama yang memutuskan hal itu dengan ijma’ memberikan pesan kepada kaum Muslimin untuk mencari penghidupan yang halal, menjauhi penghidupan yang haram untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”
Sedangkan sertifikat investasi kelas C tidak terdapat bunga tertentu. Seseorang boleh mendapatkan kembali nilainya kapanpun ia mau. Sertifikat ini memberinya hak untuk melakukan penarikan berkala yang dilakukan pada nomor sertifikat tersebut. Penarikan ini diatur dalam akad dengan patner, sehingga tanpa pencabutan itu dia tidak akan ikut dalam program sertifikat ini. Inilah yang menjadikan hukumnya adalah riba, seperti kedua sertifikat investasi sebelumnya. Ia termasuk juga ke dalam kaidah Kullu qardhin jarra manfa’atan fa huwa riba (Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba).
Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah pernah ditanya, “Bank nasional Mesir telah mengeluakan sertifikat investasi kelas C, yaitu sertifikat yang dibeli dari bank dan berlaku penarikan pada sertifikat yang dibeli itu secara bulanan. Sertifikat yang ditarik akan menghasilkan keuntungan sejumlah dana yang besar, dan pemilik sertifikat dapat mempertahankan sertifikat itu agar tidak kembali ke bank dan mengambil nilainya kapanpun dia mau. Lalu, bagaimanakah hukum dana yang besar yang berhasil diraih oleh pemilik sertifikat yang beruntung tadi ?”
Mereka menjawab, “Apabila realitanya seperti yang disebutkan, maka muamalah (interaksi) seperti ini termasuk judi dan termasuk dosa besar, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Sesungguhnya setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui minuman keras dan judi serta (bermaksud) menghalangi kamu dari mengingat Allah dan (melaksanakan) salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al-Ma’idah : 90-91).
Orang yang berinteraksi dengannya haruslah bertaubat kepada Allah, memohon ampunan kepada-Nya, menjauhi interaksi tersebut dan melepaskan diri dari penghasilan darinya. Semoga Allah memberikan taubat kepadanya.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 13/301-302).
Lihatlah perincian yang lengkap pada jawaban dari pertanyaan no. 72413.
Telah diterbitkan keputusan dari majelis Majma’ Al-Fiqh Al-Islami yang menyatakan haramnya ketiga jenis sertifikat investasi ini. Teks dari keputusan itu adalah :
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad, penutup para nabi dan rasul, beserta keluarga dan sahabatnya. Keputusan no. 6/11/62 tentang Obligasi. Sesungguhnya Majma’ Al-Fiqh Al-Islami yang mengadakan rangkaian Muktamarnya yang ke-6 di Jeddah Arab Saudi dari tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H bertepatan dengan tanggal 14-20 Maret 1990 M, setelah menelaah kajian-kajian dan rekomendasi serta hasil yang diajukan pada seminar Pasar Uang yang diadakan di Rabath tanggal 20-24 Rabi’us Tsani 1410 H bertepatan dengan tanggal 20-24 Oktober 1989 M kerjasama antara Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dan Ma’had Al-Islami Lil Buhuts wat Tadrib Bil Bank Al-Islami lit Tanmiyah dengan dihadiri oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Saudi Arabia. Setelah menelaah terhadap obligasi merupakan sertifikat yang mana pihak yang mengeluarkan harus membayar nilai nominal kepada pemegangnya ketika layak disertai dengan bunga yang disepakati yang ditambahkan pada nilai nominal dari obligasi atau menetapkan manfaat yang disyaratkan baik berupa bonus (hadiah) yang dibagikan dengan undian atau dana yang dipotong atau diskon, menetapkan :
1. Obligasi yang mewakili komitmen untuk membayar jumlah tersebut dengan bunga yang ditribusikan padanya atau manfaat bersyarat dilarang menurut hukum syariat, dalam hal penerbitan, pembelian, atau perdagangan. Karena merupakan pinjaman riba, baik yang menerbitkannya adalah swasta atau publik yang terkait dengan negara. Tidak ada pengaruh dengan menyebutnya sertifikat, sukuk investasi, atau tabungan, atau menyebut bunga riba yang terikat dengan keuntungan, sewa, komisi atau pengembalian.
2. Obligasi tanpa kupon hukumnya juga haram, karena merupakan pinjaman yang dijual dengan harga kurang dari nilai nominalnya, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari selisihnya, karena merupakan diskon atas obligasi tersebut.
3. Obligasi yang berhadiah juga haram, karena merupakan pinjaman yang memberikan keuntungan atau kenaikan, bagi semua pemberi pinjaman, atau bagi sebagian dari mereka, tidak secara khusus, selain karena dugaan perjudian.
4. Di antara alternatif-alternatif dari obligasi terlarang baik yang diterbitkan, dibeli atau diperdagangkan adalah obligasi atau sukuk yang didasarkan pada bagi hasil suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu, di mana pemiliknya tidak mempunyai bunga atau keuntungan sekaligus, melainkan mendapat persentase dari hasil proyek ini sebanding dengan jumlah obligasi atau sukuk yang mereka miliki, dan mereka tidak akan memperoleh keuntungan ini, kecuali keuntungan tersebut benar-benar tercapai.
Dalam kaitan ini, kita dapat mengambil manfaat dari rumusan yang telah disetujui oleh keputusan No. 5 sidang keempat Majma’ Al-Fiqh Al-Islami ini tentang obligasi Muqaradhah.”
Wallahu A’lam