Alhamdulillah.
Pertama:
Kami tidak tahu kenapa sebagian orang yang diberikan kekuasaan untuk mengatur urusan kaum muslimin masih berani menentang agama Alloh, mereka tidak cukup hanya meninggalkan hukum-hukum yang sudah Alloh turunkan, bahkan sampai menambahkan hukum yang bertentangan dengan syariat-Nya, memerangi hukum-hukumnya dan mengolok-oloknya, di antaranya adalah:
Mempersempit ranah yang dihalalkan oleh Alloh bahkan sampai melarangnya, menyebar-luaskan yang haram dan menyetujuinya, kalau sekiranya ketidaktaatan manusia itu hanya berkaitan dengan dirinya, maka urusannya menjadi mudah, kalau sampai menjadi undang-undang yang kuat, bahkan sampai ada yang diberi hadiah bagi mereka yang melakukannya dan diberi sangsi bagi yang meninggalkan.
Semoga Alloh memperbaiki keadaan umat Islam baik mereka para penentu kebijakan atau mereka yang menjadi rakyatnya, kalau saja mereka mau berfikir sejenak bahwa tempat terakhir mereka adalah sebidang tanah yang sempit (kuburan), tidak ditemani oleh para pembantu, ajudan, menteri, harta, mahkota, makanan dan minuman mereka, pasti mereka mengetahui besarnya urusan tersebut, dan bukan masalah yang bisa dipermainkan. Kalau saja mereka memikirkan akan pertemuan dengan Tuhan mereka, maka bisa dipastikan mereka akan meninjau kembali semua urusan dunianya, dan kalau kiranya Alloh mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Alloh akan memberi hidayah kepada mereka.
Kedua:
Ketahuilah wahai saudaraku penanya, anda tidak boleh menikahi wanita tanpa persetujuan walinya, ketahuilah juga bahwa selama ada bapaknya maka adik laki-lakinya tidak bisa menikahkannya, perwalian seorang bapak akan dialihkan jika dia memang melarang anak perempuannya menikah dengan siapapun atau karena alasan yang tidak dibenarkan oleh syariat dan masuk akal dan sejalan dengan syariat. Dia menolak untuk menikahkan putrinya pada kondisi seperti yang anda sebutkan di atas adalah perkara yang baik, masuk akal dan sesuai dengan syariat, bagaimana anda ingin dia menikahkan putrinya dengan anda tanpa surat resmi yang berlaku di negara tersebut ?!, apakah anda mengetahui akibatnya jika pada kemudian hari terjadi masalah ?
Mendokumentasikan akad nikah –termasuk bentuk akad yang lain- bukan perkara bid’ah dalam agama, namun lebih kepada maslahat mursalah (kemaslahatan umum) yang sesuai dengan syari’at.
Maslahat mursalah adalah kemaslahatan umum yang dibiarkan, belum akomodir oleh syari’at dan belum dinafikan, hukumnya kemaslahatan semacam ini dikembalikan kepada kaidah-kaidah syari’at secara umum, jika ternyata masuk kepada kemaslahatan yang diakomodir oleh syari’at maka bisa dijalankan, dan jika ternyata termasuk pada kemaslahatan yang tidak dianggap oleh syariat maka bukan termasuk darinya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pada saat menjelaskan tentang definisi maslahat mursalah: “Adalah jika seorang mujtahid berpendapat bahwa perbuatan ini akan mendatangkan manfaat yang jelas, dan di dalam syari’at tidak ditemukan dalil yang melarangnya”. (Majmu’ Fatawa: 11/342-343)
Di dalam peresmian surat-menyurat pernikahan terdapat beberapa kemaslahatan , di antaranya:
1.Menjaga hak seorang istri, untuk menetapkan mas kawinnya yang tidak dibayar kontan, menyebutkan di dalamnya syarat-syaratnya, dan dia akan mendapatkan bagian warisannya dari suami dan anak-anaknya.
2.Memastikan nasab anak-anaknya dari suaminya.
3.Melarang akad nikah lagi bagi wanita yang sudah bersuami, karena sudah berada di bawah tanggungan suaminya.
4.Menjaga hak-hak suami dalam rangka penyebutan jumlah mas kawin yang telah diterima oleh istrinya.
5.Mencegah suami untuk menikah lebih dari empat kali.
Demikianlah banyak sekali kemaslahatan yang tidak mungkin bagi syari’at melarang adanya pencatatan resmi pernikahan, bahkan menjadi syarat dalam pernikahan untuk menjaga hak-hak yang ada, dan mencegah kerusakan.
Di dalam al Mausu’ah al Fikhiyah (6/170):
“Alloh –subhanahu wa ta’ala- telah mensyariatkan untuk menulis (akad) dan disaksikan untuk menjaga hak-hak yang ada, sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ) البقرة/282 ، (
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al Baqarah: 282)
) وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ ) ،
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki”. (QS. Al Baqarah: 282)
( وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ )
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (QS. Al Baqarah: 282)
Syariat juga telah mewajibkan mendokumentasikan beberapa bentuk komitmen yang lain karena sangat pentingnya, seperti prosesi pernikahan.
Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:
“Apakah diharuskan ada orang yang menuntun ucapan wali dari mempelai wanita dalam prosesi ijab kepada mempelai laki-laki, dan menuntun mempelai laki-laki dalam prosesi qabulnya, atau pernikahan tetap sah tanpa orang tersebut, jika pernikahan tersebut terpenuhi syarat dan rukunnya ?”.
Mereka menjawab:
“Jika masalahnya sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan, dalam hal ijab dan qabul antara anda dan bapak calon istri anda, dengan dihadiri para saksi juga persetujuan calon istri anda yang disebutkan dalam akad nikah, maka pernikahan tersebut hukumnya sah, meskipun tidak ada orang lain yang memandu prosesi akad nikah tersebut; karena hal itu bukan termasuk syarat sah nikah juga bukan termasuk kelengkapan prosesi pernikahan, akan tetapi negara mewajibkan warganya untuk memenuhi administrasi akad nikah kepada instansi yang ditunjuk negara secara resmi dan mencatatnya untuk menghapuskan kerancuan dan agar tidak main-main dalam pernikahan, menjaga nasab, kehormatan dan hak-hak yang ada, juga agar tidak saling mengingkari ketika ada sengketa antara suami istri, mentaati pemimpin dalam masalah tersebut dan masalah lain yang serupa adalah wajib, karena yang demikian akan membantu untuk mengatur urusan semua masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan bagi mereka.
(Syeikh Ibrohim bin Muhammad Aalu Syeikh, Syeikh Abdur Razzaq Afifi, Syeikh Abdullah bin Ghadyan, Syeikh Abdullah bin Mani’)
(Fatawa Lajnah Daimah: 18/105-106)
Atas dasar itulah maka, Bapak dari wanita tersebut menolak untuk menikahkan putrinya dengan anda; karena negara telah melarang poligami adalah perkara yang bisa diterima oleh akal sehat, perbuatan beliau tidak bertentangan dengan syariat, tidak dihalalkan bagi anda untuk menikahinya tanpa restu dari bapaknya, perwalian adik laki-lakinya adalah batil karena bapaknya masih ada, memaksakan tetap melaksanakan akad nikah adalah batil dan rusak.
Ketiga:
Sedangkan “Zawaj ‘Urfi” (pernikahan adat) ada dua gambaran:
Pertama:
Seorang laki-laki menikahi wanita dengan sirri (sembunyi-sembunyi), tanpa seizing walinya, inilah definisi yang digunakan oleh banyak orang secara umum, jika memang demikian, maka akad tersebut adalah haram tidak sah juga; karena persetujuan wali termasuk syarat sahnya akad nikah.
Kedua:
Penikahan yang berlangsung dengan persetujuan wali, akan tetapi tanpa pengumuman dan tanpa dicatat pada instansi pencatatan nikah, hal ini meskipun termasuk pernikahan yang sah dilihat dari sisi syarat dan rukunnya, namun akan berdampak negatif, barang siapa yang melakukannya maka hendaknya dilarang, apalagi terkait dengan pencatatan resmi pernikahan.
Kondisi anda yang ditanyakan adalah bahwa bapak dari wanita tersebut tidak merestui pernikahan anda, maka larangan untuk melanjutkan proses pernikahan tersebut pada dua sisi:
1.Karena walinya tidak merestuinya.
2.Tidak adanya pencatatan resmi pernikahan pada instansi yang berwenang.
Pada jawaban soal nomor: 2127 anda akan mendapatkan ringkasan penting tentang syarat dan rukun pernikahan, syarat-syarat seorang wali. Dan pada jawaban soal nomor: 7989 terdapat rincian penting yang lain mengenai seorang wali, keberadaannya menjadi syarat sahnya pernikahan. Pada kedua jawaban soal nomor: 45663 dan 45513 anda akan mendapatkan hukum pernikahan urfi (pernikahan adat).
Wallahu a’lam.