Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya ingin mengetahui hukum mendiamkan (meninggalkan) kerabat, para kerabat yang menyebabkan kita berada dalam masalah, kepedihan, mata dan jiwa mereka yang buruk, mereka melancarkan sihir kepada kita, mereka merampas hak kita, menyebarkan isu dusta tentang kita, berlaku buruk kepada kita dengan semua bentuknya, maka apakah kita boleh mendiamkan mereka ?, bagaimanakah hukum perbuatan mereka ini dalam timbangan Islam ?, sebelumnya ibu dan ayah saya telah melarang saya untuk berkomunikasi dengan mereka dan menjauhi mereka sebisa mungkin, maka bagaimana menurut pendapat anda ?
Alhamdulillah.
Pertama:
Syariat datang menyuruh untuk bersilaturrahim dan dengan mema’afkan orang yang berbuat buruk, bahkan menghadapi kejahatannya dengan ihsan, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
فصلت/34 ، 35
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”. (QS. Fusshilat: 34-35)
As Sa’di –rahimahullah- berkata:
“Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan”. (QS. Fusshilat: 34)
Maksudnya adalah tidak sama perbuatan baik dan ketaatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala, juga tidak sama perbuatan buruk dan maksiat yang anda tidak menyukainya dan tidak ridha kepadanya, tidak lah sama antara berlaku baik kepada makhluk dengan berlaku buruk kepada mereka, baik dalam dzatnya, sifatnya, juga balasannya:
هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (QS. Ar Rahman: 60)
Kemudian diperintah melakukan ihsan secara khusus, mempunyai tempat yang besar, yaitu dengan berlaku baik kepada orang yang berlaku buruk kepadamu, seraya berfirman:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Maksudnya, jika ada orang yang berlaku buruk kepadamu, khususnya orang yang mempunyai hak besar kepada anda, seperti; para kerabat, teman-teman, atau yang setara dengannya, baik perlakuan buruk tersebut berupa ucapan atau perbuatan, maka perlakukanlah dia dengan ihsan (baik), jika ia memutus silaturrahim maka sambunglah, jika ia menzhalimi anda maka maafkanlah, jika ia menggunjing anda baik di belakang atau di depan anda, maka jangan anda balas dengan yang serupa akan tetapi maafkanlah, pergauilah dengan ucapan yang lembut. Dan jika ia mendiamkan anda dan tidak mau berbicara dengan anda maka sapalah dengan ucapan yang baik, awali dengan salam, maka jika anda balas keburukan dengan kebaikan maka akan mendapatkan manfaat yang besar.
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS. Fusshilat: 34)
Maksudnya seakan seperti kerabat yang lembut.
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا
Maksudnya sifat yang terpuji ini tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang jiwanya bersabar atas apa yang ia benci dan memaksakannya kepada hal-hal yang Allah cintai, karena nafsu itu tabiatnya akan membalas orang yang berlaku buruk dengan keburukan lainnya dan tidak memaafkannya, maka bagaimanakah dengan ihsan (perlakuan baik) ?
Jika manusia itu menjadikan jiwanya bersabar, mengerjakan perintah Tuhannya, mengetahui pahalanya yang besar, dan mengetahui bahwa membalas orang yang berlaku buruk dengan keburukan yang serupa tidak bermanfaat sama sekali, dan tidak menambah kecuali akan memperkeras permusuhan, dan bahwa berlaku baik kepadanya bukan termasuk kebiasaan takdirnya, akan tetapi barang siapa yang bertawadhu’ kepada Allah, maka Dia akan mengangkatnya, urusan menjadi mudah baginya, ia menikmati berhias dengan pekerjaan tersebut.
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Maksudnya, karena ia termasuk sifat-sifat makhluk yang khusus, yang seorang hamba akan mendapatkan derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat yang ia termasuk sifat akhlak terpuji yang paling besar.
Dan di dalam Shahih Muslim (2558) dari Abu Hurairah bahwa seseorang berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ لِي قَرَابَةً : أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي ، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ ؟ !! فَقَالَ : ( لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ ، وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai Rasulullah, sungguh saya mempunyai kerabat, saya menyambung silaturrahim kepada mereka dan mereka memutuskannya, saya berlaku baik kepada mereka dan mereka berlaku buruk kepada saya, saya lemhah lembut kepadanya, dibalas dengan perkataan kasar kepadaku. ?, seraya beliau bersabda: “Jika kondisi kamu sesuai dengan apa yang kamu sampaikan, maka seakan anda telah menaburkan abu, dan Allah senantiasa menolong anda selama kamu dalam kondisi seperti itu”.
Kedua:
Semua yang telah kami sebutkan ini adalah derajat yang tinggi dalam interaksi dengan makhluk, akan tetapi barang siapa yang tidak kuat dengan hal itu, atau tidak mampu membalas kejelekannya dengan kebaikan dan ia takut untuk berbaur dengan mereka akan membahayakan dirinya dengan sihir atau yang lainnya dari bentuk gangguan dan bahaya, sebagaimana yang telah disebutkan pada pertanyaan di atas, maka ia hendaknya menjauhi mereka, meninggalkan mereka untuk menjaga diri dari keburukan mereka.
Ibnu Abdi al Barr –rahimahullah- berkata:
“Para ulama telah melakukan ijma’ bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya selama tiga hari, kecuali ia khawatir kalau berbicara dan menyambung silaturrahim dengannya justru akan merusak agamanya, atau akan melahirkan pada dirinya bahaya terhadap agama dan dunianya, jika demikian maka ia telah diberikan keringanan untuk menjauhinya dan berapa banyak pemutusan/mendiamkan dengan cara baik itu lebih baik dari pada berbaur yang mengganggu”.
Seorang penyair berkata:
إذا ما تقضي الود إلا تكاشرا ... فهجر جميل للفريقين صالح
“Jika kecintaan tidak mampu mendatangkan kecuali ledekan (tertawaan) # Maka meninggalkan dengan cara baik bagi kedua belah pihak adalah sebuah kebaikan”.
(At Tamhid: 6/127)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Keluarga istri saya mengejek saya dan istri saya, maka bagaimanakah hukumnya mendiamkan mereka dan tidak mengunjungi mereka ?”
Beliau menjawab:
“Anda boleh tidak mengunjungi mereka, jika kunjungan tersebut justru akan mendatangkan kerusakan kepada anda, atau akan merusak istri anda; maka anda boleh menahan diri tidak mengunjungi mereka, anda juga boleh melarang istri anda untuk mengunjungi mereka”.
(Fatawa Nur ‘Ala Darb: 12/474 - 475)
Wallahu A’lam