Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya mempunyai anak yang tempramen, dan menjadi bahan olokan, maka bagaimanakah cara terapi yang efektif dari sifat seperti ini ?
Alhamdulillah.
Pernah ditanyakan sebelumnya bagaimanakah mengatasi rasa marah, maka silahkan anda merujuk pada jawaban soal nomor: 658, yang di antaranya adalah:
1. Berlindung kepada Allah dengan membaca ta’awudz
2. Diam
3. Tenang, jika sedang berdiri maka duduklah, dan jika sedang duduk maka berbaringlah.
4. Mengingat pahala dari menahan marah, sebagaimana dalam hadits shahih: “Janganlah marah, maka bagimu surga”.
Mengetahui kedudukan dan derajat yang tinggi bagi yang mampu mengendalikan dirinya, sebagaimana dalam hadits shahih:
" ومن كف غضبه ستر الله عورته ، ومن كظم غيظه _ ولو شاء أن يمضيه أمضاه _ ملأ الله قلبه رجاء يوم القيامة " حسنه الألباني في السلسلة الصحيحة (906)
“Dan barang siapa yang menahan rasa marahnya, maka Allah akan menutupi auratnya, dan barang siapa yang menyembunyikan rasa marahnya –padahal ia mampu melakukannya- maka Allah akan mengisi hatinya dengan harapan (baik) pada hari kiamat”. (Dihasankan oleh al Baani dalam “Silsilah Shahihah” 906)
Mengetahui petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada saat marah. Mengatahui bahwa menyembunyikan marah adalah tanda-tanda orang yang bertaqwa, sebagaimana dalam hadits di atas. Mengingat pada saat diingatkan. Menahan dan mengamalkan nasehat. Mengetahui sisi-sisi negatif marah. Orang yang marah hendaknya mengambil pelajaran pada saat ia marah. Berdoa agar Allah menghilangkan rasa marahnya di dalam hatinya.
Berikut ini cerita yang bagus yang menjadi contoh dalam menerapi anak seperti dalam kondisi pertanyaan di atas:
Ada seorang anak yang tempramen, ia kehilangan kesabarannya pada waktu yang lama, maka bapaknya memberinya satu kantong paku, dan berkata: “Wahai anakku, saya ingin kamu menancapkan paku pada dinding kayu kebun kami, setiap kali kemarahanmu mulai memuncak dan kehilangan kesabaranmu, maka demikianlah seorang anak tadi melaksanakan nasehat bapaknya.
Pada hari pertama ia menancapkan 37 paku, namun menancapkan paku pada dinding bukan perkara yang mudah.
Maka ia mulai berusaha mengendalikan kemarahannya, dan pada beberapa hari setelahnya ia mulai menancapkan paku lebih sedikit, dan setelah beberapa minggu, ia mulai mampu mengendalikan dirinya dan berhenti marah dan menancapkan paku. Pada saat bapaknya datang ia memberitahu bahwa dirinya sudah menyelesaikan tugasnya, maka bapaknya bahagia dengan perubahan ini, dan berkata: “Akan tetapi sekarang –wahai anakku- kamu harus mengeluarkan paku-paku tersebut pada hari-hari dimana kamu mulai tidak marah lagi”.
Maka sang anak mulai mencabuti paku-paku tersebut pada hari dimana ia sudah tidak marah lagi, sampai paku-paku yang menempel di dinding tersebut habis.
Sang anak akhirnya mendatangi bapaknya dan mengabarkan bahwa tugasnya selesai, maka bapaknya membawanya ke hadapan dinding tadi dan berkata: “Bagus sekali, namun lihatlah pada lubang-lubang yang ada pada dinding tersebut, dinding ini tidak akan bisa kembali seperti semula, dan ia menambahkan:
Ketika kamu mengatakan sesuatu pada saat marah, maka ia akan meninggalkan bekas seperti lubang-lubang dinding tadi pada jiwa orang lain”.
Kamu bisa menodong orang dan mengeluarkan pisau, akan tetapi tidak akan bermanfaat pernyataanmu: “Maafkan saya ya”; karena lukanya akan menempel di sana.