Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Bentuk Nikah Syighar dan Kapan Nikah Syighar Batil ?

17-06-2024

Pertanyaan 214343

Saya menikah dengan sepupu saya kurang lebih satu tahun lalu. Akan tetapi, saya bingung dengan pernikahan saya, terutama masalah sahnya pernikahan. Saudara perempuan suami saya menikah dengan saudara laki-laki saya. Di laman website Anda, saya membaca bahwa model pernikahan seperti ini dinamakan dengan nikah Syighar yang haram hukumnya dalam Islam. Seperti diketahui, pernikahan ini sangat marak di Pakistan dan Afghanistan. Dalam bahasa Pashto pernikahan ini dinamakan dengan nikah Badal. Pernikahan ini sudah dilakukan sejak lama sekali. Jika pernikahan dengan cara seperti ini haram di dalam syariat Islam, mengapa kita tidak menemukan para ulama (para imam) yang membantah. Kita tidak menemukan mereka melarang akad nikah dengan cara seperti ini? Saya pernah mencari informasi-informasi seputar nikah Syighar, akan tetapi saya masih belum mengerti apakah pernikahan saya termasuk model seperti ini ataukah tidak. Saya menemukan beberapa pendapat ulama yang berbeda seputar masalah ini. Contohnya, saya mendapatkan bahwa madzhab Hanafi memandang akad nikahnya sah dan wajib membayar mahar. Namun madzhab lain memandang berbeda tentang masalah ini. Apa sebenarnya nikah Syighar itu? Apakah pasangan harus bercerai dengan membawa konsekuensi masalah yang akan ditimbulkan di tengah-tengah keluarga?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Nikah Syighar -atau yang biasa dinamakan orang dengan nikah Badal- diharamkan dan dilarang oleh syariat Islam, karena terdapat unsur kezaliman pada perempuan, menghancurkan hak-haknya dan mempermainkan tanggungjawab perwalian.

فعن ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا شِغَارَ فِي الْإِسْلَامِ رواه مسلم (1415) .

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada nikah Syighar dalam Islam.” (HR. Muslim, no. 1415).  

وعن جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ قال : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ رواه مسلم (1417) .

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah Syighar.” (HR. Muslim, no. 1417).

Kedua.

Menikah dengan cara Syighar memiliki tiga bentuk.

Pertama, tiap orang dari keduanya menikah dengan kerabat orang lain, atau dengan perempuan yang berada di bawah perwaliannya (yang diurusnya) tanpa adanya syarat pernikahan salah satu dari keduanya menjadi dasar atas pernikahan yang lainnya, tergantung pada pernikahan itu, dan masih tetap ada mahar pada masing-masing pernikahan mereka berdua. Bentuk seperti ini bukanlah nikah Syighar dan tidak ada masalah di dalamnya.

Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah kumpulan pertama (18/427) disebutkan, “Adapun jika orang pertama meminang perempuan yang diurus orang kedua, kemudian orang kedua tadi meminang perempuan yang diurus orang pertama tanpa adanya syarat. Pernikahan kedua orang inipun terlaksana dengan adanya keridhaan (kerelaan) kedua mempelai wanita dan syarat-syarat nikah lainnya pun terpenuhi, maka tidak ada perbedaan dalam masalah ini. Pernikahan seperti itu bukanlah nikah Syighar.”

Kedua, pernikahan terlaksana dengan syarat orang pertama menikahkan perempuan yang diurusnya dengan orang kedua (dan orang kedua menikahkan perempuan yang diurusnya dengan orang pertama) namun tidak ada mahar untuk kedua mempelai wanita. Budh’i (kemaluan atau hubungan biologis) wanita pertama menjadi imbalan bagi Budh’i wanita kedua dan sebaliknya. Bentuk nikah Syighar seperti ini dilarang dalam hadits nabi, berdasarkan kesepakatan para ulama.

Imam As-Syafi’i Rahimahullah mengatakan, “Apabila seseorang menikahkan putrinya atau perempuan yang diurusinya dengan siapapun (orang kedua) dengan syarat orang kedua menikahkan putrinya atau perempuan yang diurusnya, dengan syarat mahar si perempuan adalah Budh’i si perempuan yang dinikahkan. Masing-masing lelaki tersebut tidak menyebutkan mahar untuk masing-masing perempuan. Inilah nikah Syighar yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nikah seperti ini tidak boleh dan dihapus.” (Al-Umm, 6/198).

Ibnu Abdil Barr Rahimahullah mengatakan, “Sedangkan makna nikah Syighar dalam syariat adalah orang pertama menikahkan perempuan yang diurusnya dengan orang kedua, dengan syarat orang kedua menikahkan perempuan yang diurusnya, dan tidak ada mahar untuk kedua perempuan melainkan Budh’i perempuan pertama ditukar dengan Budh’i perempuan kedua, sesuai dengan yang ditafsirkan oleh Malik dan sekelompok fuqaha.” (Al-Istidzkar, 5/465).

Beliau juga mengatakan, “Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa nikah Syighar dilarang dalam hadits.” (At-Tamhid, 14/70).

Ibnu Rusyd Rahimahullah mengatakan, “Adapun nikah Syighar, mereka (para ulama) sepakat bahwa gambarannya adalah orang pertama menikahkan perempuan yang diurusnya dengan orang kedua dengan syarat orang kedua menikahkah perempuan yang diurusnya dengan dirinya. Kedua orang tersebut tidak membayar mahar, kecuali hanya Budh’i perempuan pertama sebagai imbalan untuk Budh’i perempuan kedua. Mereka (para ulama) sepakat bahwa nikah Syighar tidak boleh, karena ada larangan dari Nabi.” (Bidayatul Mujtahid, 3/80).

Hukum ini tidak terbatas pada anak perempuan dan saudara perempuan, akan tetapi mencakup semua perempuan yang diurusnya (berada dalam perwaliannya).

An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Mereka sepakat (Ijma’) bahwasanya selain anak perempuan, seperti saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan perempuan), bibi-bibi (dari pihak ayah), anak-anak perempuan dari paman dan juga budak perempuan dalam hal ini sama dengan anak-anak perempuan.” (Syarah Shahih Muslim, 9/201).

Para ulama madzhab Hanafi sepakat dengan jumhur ulama bahwasanya bentuk pernikahan seperti ini (Nikah Syighar) dilarang dan tidak boleh, namun mereka mensahkan nikah Syighar ini (jika terjadi) dan mewajibkan adanya mahar Mitsil bagi setiap perempuan yang dinikahi. Mereka mengatakan, “Dengan demikian, maka bukanlah Syighar.” Lihat Al-Mabsuth, 5/105 dan Bada’ius Shana’i’ 2/278.

Ketiga, seseorang menikahkan putrinya, saudara perempuannya atau perempuan yang diurusnya dengan seorang lelaki dengan syarat lelaki tadi menikahkan putrinya atau perempuan yang diurusnya, akan tetapi ada mahar untuk masing-masing perempuan yang dinikahi, baik maharnya sama atau berbeda. Bentuk pernikahan seperti ini menjadi poin perbedaan pendapat di antara ulama.

Sebagian ulama berpendapat bahwa bentuk pernikahan seperti ini juga termasuk nikah Syighar yang dilarang, dan adanya syarat sudah cukup menjadikannya sebagai nikah Syighar. Ini adalah pendapat madzhab Zhahiri dan dipilih oleh sebagian ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali.

Al-Kharqi Al-Hambali Rahimahullah mengatakan, “Apabila dia menikahkan perempuan yang diurusnya dengan seorang lelaki dengan syarat si lelaki menikahkan dengan perempuan yang diurusnya, maka tidak ada pernikahan di antara mereka berdua, meskipun mereka menentukan mahar pada pernikahan itu.” (Mukhtashar Al-Kharqi, hal. 238).    

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Bin Baz Rahimahullah Ta’ala dan Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’. Dalam fatwanya disebutkan, “Apabila seseorang menikahkan perempuan yang diurusnya dengan seorang lelaki dengan syarat lelaki itu menikahkan perempuan yang diurusnya dengannya, maka inilah nikah Syighar yang dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Inilah nikah yang dinamakan oleh orang dengan nikah Badal. Nikah seperti ini rusak (Fasid), baik disebutkan mahar ataukah tidak. Baik tercapai keridhaan (kerelaan) ataukah tidak.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, kumpulan pertama, 18/427).

Mereka (para ulama) berhujjah dengan riwayat Muslim dalam Shahihnya, no. 1416 dari jalur Ibnu Numair, dari Ubaidillah, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ : زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي ، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي  .

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah Syighar. Nikah Syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan putrimu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan putriku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku.’”

Syaikh Bin Baz Rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah ia menjadi Syighar secara mutlak. Apabila di dalamnya terdapat syarat berdasarkan teks hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena di dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, ‘Nikah Syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan putrimu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan putriku,’ dan tidak mengatakan, ‘Di antara keduanya tidak ada mahar,’ tetapi dia menyebutkannya secara mutlak (tanpa ikatan).” Majmu; Fatawa Ibnu Baz, 20/280).

Beliau juga mengatakan, “Nikah Badal tidak boleh. Nikah Badal dinamakan juga dengan nikah Syighar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya dalam beberapa hadits. Maka tidak boleh nikah Badal dengan persyaratan. Lelaki pertama mengatakan, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku. Atau nikahkanlah aku dengan putrimu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan putriku. Inilah nikah Badal. Dinamakan juga dengan nikah Syighar. Seandainya disebutkan mahar, meskipun maharnya sama atau berbeda, selama terdapat persyaratan, maka tidak boleh.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, Ibnu Baz, 21/26).

Pernikahan seperti ini oleh madzhab Maliki dinamakan dengan Wajhu As-Syighar. Hukum pernikahan ini menurut mereka adalah nikahnya sunah untuk dibatalkan sebelum Dukhul (terjadi hubungan suami-istri). Sedangkan jika sudah Dukhul, maka dihukumi sah pernikahannya disertai dengan mahar yang lebih besar dari mahar Mitsil atau mahar Musamma pada masing-masing perempuan.

Dalam kitab At-Tahdzib fi Ikhtisharil Mudawwanah, 2/132, disebutkan, “Jika dikatakan padanya, ‘Nikahkanlah aku dengan putrimu dengan mahar 100 dengan syarat aku menikahkanmu dengan putriku dengan mahar 100 atau 50, maka tidak ada kebaikan di dalamnya. Ia termasuk ke dalam Wajhu As-Syighar. Pernikahan ini batal sebelum hubungan suami-istri dan tetap (berlaku) setelah hubungan suami-istri. Bagi masing-masing perempuan mendapat lebih dari mahar Musamma atau mahar Mitsil. Pernikahan seperti ini tidak jelas disebut sebagai Syighar karena adanya mahar di dalamnya.”

Dinamakan dengan Wajhu As-Syighar (Wajhu maknanya adalah segi -penerj) karena dari satu segi pernikahan ini Syighar, namun dari segi yang lain tidak. Dari segi di mana pihak lelaki menyebutkan mahar untuk masing-masing perempuan, maka tidak dinamakan sebagai Syighar, karena akad tidak terlepas dari mahar. Namun dari segi di mana di dalamnya disebutkan syarat satu pihak menikahi pihak lain, maka dinamakan Syighar.” (Hasyiyatul ‘Adawi ‘Ala Kifayatit Thalibir Rabbani, 2/52).

Pendapat yang dianut oleh jumhur ulama adalah pernikahan ini tidak dianggap sebagai Syighar, jika disebutkan mahar untuk masing-masing perempuan.

Imam As-Syafi’i Rahimahullah mengatakan, “Apabila seseorang menikahkan putrinya atau perempuan yang diurusinya dengan siapapun (orang kedua) dengan syarat orang kedua menikahkan putrinya atau perempuan yang diurusnya dengan syarat mahar si perempuan adalah begitu (dengan menyebutkan seberapa maharnya), sedangkan mahar untuk perempuan lainnya adalah begitu (dengan menyebutkan seberapa maharnya) lebih banyak atau lebih sedikit, maka ini bukanlah Syighar yang dilarang.” (Al-Umm, 5/83).

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Adapun jika mereka menyebutkan mahar pada nikah Syighar, dia berkata, ‘Aku menikahkanmu dengan putriku dengan syarat menikahkan aku dengan putrimu, dan mahar masing-masing dari kedua perempuan itu adalah 100, atau mahar putriku 100, sedangkan mahar putrimu 50, lebih sedikit atau lebih banyak, maka pernyataan yang diriwayatkan dari Ahmad yang kami ketahui adalah pernikahan itu sah.” (Al-Mughni, 7/177).

Ibnu Al-Qayyim mengatakan, “Terdapat perbedaan pendapat tentang Illat (alasan) pelarangan. Ada yang mengatakan karena menjadikan masing-masing dari kedua akad ini menjadi syarat bagi yang lainnya. Ada yang mengatakan karena persekutuan dalam hal kemaluan, dan menjadikan kemaluan masing-masing dari kedua wanita ini sebagai mahar bagi yang lainnya, padahal mahar ini tidak bisa dimanfaatkan oleh kedua wanita itu, sehingga manfaat mahar itu tidak kembali kepada keduanya, bahkan manfaat mahar kembalinya kepada sang wali, yaitu dia memiliki kemaluan istrinya karena dia menyerahkan kemaluan anak dalam perwaliannya kepada orang lain. Ini adalah kezaliman kepada kedua wanita ini dan menghilangkan pernikahan mereka dari mahar yang bisa mereka manfaatkan. Faktor inilah yang sesuai dengan maknanya dari segi bahasa Arab. Karena mereka (orang Arab) mengatakan, ‘Baladun syaghirun min amirin,' yakni negeri yang kosong dari pemimpin, atau ‘Darun syaghiratun min ahliha,’ yakni pemukiman yang kosong dari penghuninya, begitu pula perkataan mereka Syagharal kalbu,’ yakni anjing itu mengangkat satu kakinya dan mengosongkan tempatnya.

Oleh karena itu, kalau mereka menyebutkan mahar bersamaan dengan akad, maka hilanglah hal yang terlarang itu, dan tidak ada lagi masalah yang tersisa kecuali pensyaratan masing-masing dari keduanya kepada yang lainnya dengan sebuah syarat yang tidak menyebabkan rusaknya akad. Inilah yang disebutkan secara tekstual dari Imam Ahmad.” (Zadul Ma’ad, 5/99).

Hal itu berdasarkan riwayat Al-Bukhari, no. 5112 dan Muslim, no. 1415 dari jalur Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  melarang nikah Syighar. Nikah Syighar adalah seseorang menikahkan anak perempuannya dengan orang lain agar orang lain tersebut juga mau menikahkan anak perempuannya dengannya, sedangkan di antara keduanya tidak ada mahar.”

Imam As-Syafi’i Rahimahullah mengatakan, “Saya tidak tahu penafsiran Syighar dalam hadits, ataukah penafisran Ibnu Umar, atau Nafi’ atau Malik.” (Al-Umm, 6.197).

Ada riwayat yang menunjukkan bahwa penafsiran itu dari Nafi’ Rahimahullah Ta’ala. Dalam Shahih Al-Bukhari, no. 6960 diriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar Al-Umari, ia berkata, “Nafi telah menceritakan kepadaku dari Abdullah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah Syighar. Aku berkata kepada Nafi’, “Apakah Syighar itu?” Nafi menjawab, “Seorang lelaki menikahi anak perempuan seseorang, lalu orang tersebut menikahi anak perempuan si lelaki tadi tanpa mahar. Atau seorang lelaki menikahi saudara perempuan seseorang, lalu orang tersebut menikahi saudara perempuan si lelaki tanpa mahar.”

Dalam As-Shihah, 2/700, Al-Jauhari mengatakan, “Syighar dengan mengkasrah huruf Syin adalah pernikahan pada masa jahiliyah, yaitu seorang lelaki mengatakan kepada seseorang, ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu, lalu aku menikahkanmu dengan saudara perempuanku atau anak perempuanku, dengan syarat mahar masing-masing perempuan itu adalah kemaluan perempuan yang lain. Seolah-olah keduanya menghapuskan mahar dan melepaskan kemaluan darinya.”

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari jalur Ibnu Numair, dari Ubaidillah bin Umar Al-Umari, dari Abu Az-Zinad,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ : زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي ، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah Syighar. Nikah Syighar adalah seseorang mengatakan kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan putrimu, niscaya aku akan menikahkanmu dengan putriku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku.’”

Maka sesungguhnya penafsiran Syighar di dalamnya juga bukan perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. An-Nasa’i, 6/112, telah meriwayatkan dan menjelaskan di dalamnya bahwa tafsiran Syighar, yaitu dalam perkataan Ubaidillah bin Umar Al-Umari -salah satu perawi hadits- dan bukan perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Atas dasar itulah, penafsiran ini tidak menjadi hujjah, akan tetapi tafsiran Nafi’ lah yang lebih utama untuk diterima.

Pendapat yang dinyatakan oleh jumhur ulama lebih kuat. Apabila disebutkan mahar Mitsil, suami adalah orang yang sekufu’ dan si perempuan pun ridha, maka ini bukanlah nikah Syighar.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimmahullah mengatakan, “Yang benar adalah madzhab ahli Madinah, Malik dan lainnya. Inilah yang disebutkan secara tekstual dari Imam Ahmad dalam jawaban-jawabannya. Kebanyakan murid-murid Imam Ahmad generasi awal menyatakan bahwa alasan rusaknya pernikahan ini adalah syarat menghilangkan mahar dari pernikahan.” (Majmu’ Al-Fatawa, 34/126).  

Pendapat inilah yang dipilih oleh yang mulia Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah. Beliau pernah ditanya tentang nikah Badal jika masing-masing dari istri rela (ridha) dan mereka berdua mendapat maharnya secara sempurna.

Beliau menjawab, “Apabila masalahnya seperti yang Anda sebutkan bahwa masing-masing istri mendapatkan mahar Mitsilnya, dan masing-masing ridha dengan suaminya, maka tidak masalah dengan pernikahan tersebut, dan bukan termasuk nikah Syighar yang diharamkan. Wa Billahit Taufiq.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/159).

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Apabila maharnya mahar Mitsil tidak berkurang, si wanita telah ridha dengan suami, suami sekufu’ dengannya, maka pernikahan ini sah. Inilah pendapat yang benar menurut kami. Jika terkumpul tiga syarat, yaitu kufu’, mahar Mitsil dan ridha, maka pernikahan ini tidak masalah, karena tidak terdapat kezaliman pada para istri. Mereka telah diberikan mahar Mistil sempurna, tidak ada paksaan, terlebih lagi masing-masing dari kedua lelaki telah suka dengan anak perempuan dari orang lainnya.

Teks dalil menuntut jika ada mahar sesuai kebiasaan, ridha dan kufu', maka tidak ada larangan." (Al-Mumti' 'Ala Zadil Mustaqni', 12/172).

Meskipun ada pendapat yang menyatakan pernikahan dengan bentuk seperti ini sah, namun tidak seharusnya pernikahan seperti ini dijalani.

Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Syaikh Rahimahullah mengatakan dalam kumpulan fatwanya, 10/158, "Harus menjadi perhatian di masa mendatang, hendaknya tidak dilakukan pernikahan yang terdapat unsur pertukaran, baik disebutkan mahar ataukah tidak, karena kuatnya pendapat yang menyatakan pernikahan model itu rusak, karena di dalamnya terdapat kerusakan yang besar, karena menyebabkan  wanita dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya demi mengutamakan kepentingan (kemaslahatan ) para wali daripada kepentingan si perempuan. Tidak samar lagi (jelas) bahwa hal ini tidak boleh. Dan oleh karena dapat menimbulkan kerugian pada wanita dalam masalah mahar Mitsil mereka, sebagaimana fakta yang terjadi di tengah-tengah manusia yang melakukan praktik pernikahan seperti ini, seperti halnya dapat memicu banyak sekali pertikaian dan permusuhan setelah pernikahan."

Ketiga.

Jika terjadi nikah Syighar, yaitu pada bentuk yang ulama sepakat melarangnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka pernikahannya batil dan harus fasakh nikah menurut jumhur ulama dan diulang akadnya.

Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra, 2/98, "Bagaimana pendapat Anda jika terjadi nikah Syighar, kedua suami sudah berhubungan suami-istri, hingga kedua istri melahirkan anak, apakah hal itu boleh atau nikahnya fasakh?"

Imam Malik menjawab, "Nikahnya fasakh seketika."

Imam As-Syafi'i mengatakan, "Tidak halal nikahnya. Nikah tersebut fasakh." (Al-Umm, 6/198).

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Riwayat dari Ahmad tidak berbeda bahwasanya nikah Syighar itu rusak (Fasid).” (Al-Mughni, 10/42).

Ibnu Abdil Barr Al-Maliki Rahimahullah mengatakan, “Akad nikah seperti ini tidak sah. Nikahnya fasakh sebelum dan sesudah berhubungan suami-istri.” (Al-Istidzkar, 16/203).

Atas dasar itulah, barangsiapa yang jelas bahwa pernikahannya dalam bentuk Syighar, maka ia harus fasakh nikah, dan mengulang akadnya kembali disertai dengan pemenuhan syarat-syaratnya, menyebutkan mahar untuk perempuan yang diridhai olehnya. Yang mulia Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah pernah ditanya tentang nikah Syighar, kemudian beliau menjawab, “Nikahnya rusak (Fasid). Keduanya harus dipisahkan. Kemudian setelah itu ia meminang perempuan itu. Jika si perempuan ridha dan ia pun membayar mahar Mistilnya, maka ia boleh menikahi perempuan itu dengan akad yang baru.” (Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Syaikh, 10/160).

Syaikh Bin Baz Rahimahullah mengatakan, “Walinya menikahkan si perempuan kembali dengan akad syar’i dan mahar syar’i, dengan dihadiri dua saksi. Tidak perlu menjalani masa iddah, tetapi menikah saat itu, karena pada dasarnya air maninya adalah miliknya. Sedangkan apabila si lelaki tidak suka pada si perempuan dan si perempuan tidak suka pada si lelaki, maka si lelaki bisa menjatuhkan talak satu. Jika si perempuan sudah menjalani masa iddah, maka ia boleh dinikahi oleh lelaki siapa saja yang dikehendakinya.“ (Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, Ibnu Baz, 21/39).  

Akan tetapi telah dijelaskan bahwa ulama madzhab Hanafi men-sah-kan pernikahan dalam bentuk Syighar ini dan mereka mewajibkan mahar Mitsil bagi setiap perempuan (istri). Barangsiapa yang bertaklid pada mereka dalam pendapat ini, atau ia tinggal di suatu negeri yang penduduknya umumnya bermadzhab Hanafi, atau peradilan mereka berdasarkan madzhab Hanafi, maka nikahnya tidak fasakh, berdasarkan kaidah dalam masalah ijtihadiyah.

Setelah membicarakan tentang batalnya nikah tanpa wali, seperti pendapat jumhur ulama, berbeda dengan madzhab Hanafi, Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hakim menghukumi sah pada akad seperti ini, atau yang bertanggungjawab atas akadnya adalah seorang hakim, maka tidak boleh dibatalkan. Begitu pula seluruh pernikahan yang rusak.” (Al-Mughni, 7/6).

Ibnu Muflih Rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang bertaklid dengan mujtahid dalam masalah sahnya nikah yang terjadi perbedaan pendapat, maka suami-istri yang menikah tidak dipisah karena ada perubahan ijtihad si mujtahid yang ditaklidinya dalam masalah sahnya pernikahan, sebagaimana jika seandainya seorang mujtahid yang memandang sahnya pernikahan menghukumi hal tersebut.” (Al-Furu’, 11/218).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah pernah ditanya tentang nikah Tahlil, dan bagaimana jika seorang Muslim bertaklid pada sebagian ulama yang membolehkannya. Beliau menjawab, “Nikah Tahlil yang mana mereka (kaum pria) berkomplot dengan suami -baik secara lafazh dan adat istiadat- agar ia menceraikan istri atau suami yang meniatkan hal itu, hukumnya adalah haram. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat pelakunya dalam beberapa hadits. Tidak halal bagi Muthalliq (suami pertama yang menceraikan) untuk melaksanakan akad, dan tidak boleh bagi Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut) menahan si perempuan atas dasar nikah Tahlil ini, akan tetapi wajib baginya untuk melepaskannya. Akan tetapi, jika ternyata ia melakukan Tahlil atas dasar ijtihad atau taklid, maka hal itu diperbolehkan. Si perempuan melakukan nikah Tahlil dan suaminya yang pertama menikahinya, ternyata kemudian ia mengetahui keharaman nikah Tahlil. Berdasrkan pendapat yang kuat, ia tidak wajib melepaskan perempuan itu, akan tetapi di masa mendatang ia dilarang melakukannya. Allah telah mengampuni kesalahan yang telah berlalu.” (Majmu’ Fatawa, 32/151-152).

Atas dasar itulah, pernikahan Anda sah. Akan tetapi orang-orang dilarang melakukannya di masa mendatang, seperti yang dikatakan oleh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Wallahu A’lam.

Pernikahan Yang Tidak Sah / Rusak
tampilan di situs islamqa.info