Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah orang-orang sholeh yang meninggal, semoga Tuhan kita memuliakannya. Seorang hamba yang masih hidup ketika mohon kepada Allah berkata, "Dengan kesaolehan syekh Fulan dan dengan keutamaannya disisi-Mu dan dengan ibadahnya kepada-Mu, aku mohon Engkau menghilangkan kesusahanku Ya Allah." Kami tahu bahwa manfaat itu dari Allah?
Alhamdulillah.
Tidak diragukan lagi bahwa doa termasuk ibadah yang mulia dalam agama. Dimana seorang hamba mendekatkan diri dengannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak diragukan juga, bahwa tidak diperkenankan seorang pun menyembah Allah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan lewat lisan Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori (2499) dan Muslim (3242) dari Hadits Aisyah radhillahu’anha berkata, Rasulullah sallallahu’alihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam (agama) kami yang tidak ada (aturan) darinya, maka ia tertolak.’
Dalam redaksi riwayat Muslim (3243), beliau bersabda, "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami, maka ia tertolak."
Dari sini diketahui bahwa memohon dan bertawasul kepada Allah Ta’ala yang tidak bersumber dari Nabi-Nya sallallahu’alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan, sertai tidak dilakukan oleh para shahabat mulia, padahal mereka adalah orang yang paling semangat terhadap kebaikan dan paling dahulu melakukannya. Maka itu termasuk bid’ah munkar, selayaknya seorang hamba yang mencintai Tuhannya dan mengikuti Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam agar tidak melakukan dan tidak beribadah dengannya.
Kalau kita melihat dari apa yang anda sebutkan –wahai penanya- dari tawasul kepada kepada Allah dengan kedudukan orang sholeh, ibadah dan kedudukan di sisi Allah, kami dapatkan hal itu termasuk perkara yang dibuat-buat, tidak bersumber dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat nan mulia. Tidak ada riwayat bahwa mereka bertawasul suatu hari dengan kedudukan dan kemuliaan seseorang di sisi Tuhannya. Baik sewaktu hidup maupun sepeninggalnya. Bahkan mereka waktu hidupnya bertawasul kepada Allah dengan doanya untuk mereka.
Ketika beliau sallallahu’alaihi wa sallam meninggal dunia, mereka bertawasul dengan doa orang-orang saleh yang masih hidup dan mengabaikan bertawasul dengan kedudukannya. Hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa bertawasul dengan dzat dan kedudukannya kalau sekiranya baik dan dianjurkan, mereka pasti telah mendahuluinya. Siapakah yang mengaku lebih kuat berbuat kebaikan dari Umar bin Khottob radhiallahu’anhu. Beliau tidak bertawasul kepada Allah dengan kedudukan Nabinya sallallahu’alaihi wa sallam, tapi bertawasul kepada Allah dengan doa pamannya. Sementara para shahabat menyaksiakn hal itu tanpa ada pengingkaran atau berbeda.
Sebagaimana disebutkan dalam shahih Bukhari, 954 dari Anas bin Malik radhillahu’anhu.
" أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ :" اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ "
“Sesungguhnay Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, apabila datang musim, beliau minta diturunakan hujan lewat Abbas bin Abdul Muthallib dan mengatakan, ‘Ya Allah sesunggunya dahulu kami bertawasul kepada Engkau dengan Nabi kami, lalu Engkau turunkan hujan kepada kami. Kini kami bertawasul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami," Anas berkata, ‘Maka diturunkan hujan untuk mereka.’
Makna tawasul mereka dengan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam atau Abbas adalah tawasul dengan doanya, dengan dalil apa yang telah ada pada sebagian jalan hadits, dari Anas berkata:
" كَانُوا إِذَا قَحَطُوا عَلَى عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَسْقَوْا بِهِ , فَيَسْتَسْقِي لَهُمْ فَيُسْقَوْنَ فَلَمَّا كَانَ فِي إِمَارَة عُمَر " فَذَكَرَ الْحَدِيث أخرجه الإسماعيلي في مستخرجه على الصحيح . وجاء عند عَبْد الرَّزَّاق مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاس " أَنَّ عُمَر اِسْتَسْقَى بِالْمُصَلَّى , فَقَالَ لِلْعَبَّاسِ : قُمْ فَاسْتَسْقِ , فَقَامَ الْعَبَّاس " فَذَكَرَ الْحَدِيث . نقله الحافظ في الفتح وسكت عليه
“Dahulu ketika kemarau waktu zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam mereka meminta hujan lewat Nabi, maka beliau memohon minta hujan untuk mereka, maka diturunkan hujan untuk mereka. Ketika pada pemerintahan Umar dan disebutkan (sisa matan hadits) dikeluarkan oleh Al-Ismaily di kitab Mustkhraj ‘alas Shoheh. Telah ada dari Abdurrozaq dari Hadits Ibnu Abbas, ‘Sesungguhnya Umar meminta hujan di tempat shalat. Dan beliau mengatakan kepada Abbas, ‘Berdirilah dan memohonlah (kepada Allah) agar diturunkan hujan. Maka Abbas berdiri dan disebutkan (sisa matan haditsnya) dinukil oleh Al-Hafidz di Fath dan beliau diam (tidak berkomentar).
Dari sini jelas, bahwa tawasul yang dimaksudkan oleh Umar radhiallahu’anhu adalah tawasul dengan doa orang sholeh yaitu tawasul yang benar dan diperbolehkan. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal itu, dan dikenal dari kondisi para shahabat nan mulia radhillahu’anhum. Dimana mereka ketika kemarau dan hujan tertahan, maka mereka meminta kepada Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam agar mendoakan untuk mereka, dan beliau berdoa kemudian diturunkan hujan untuk mereka. Hadits-hadits tentang masalah itu banyak dan dikenal.
Terdapat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/153: ‘Doa dengan kedudukan Rasulullah atau kedudukan fulan dari kalangan shahabat atau lainnya waktu hidupnya tidak dibolekan. Karena ibadah itu tauqifi (paten). Sementara Allah tidak mensyariatkan hal itu. akan tetapi mensyariakan kepada hamba-Nya bertawasul kepada-Nya dengan Nama dan sifat-Nya. Serta dengan tauhid, beriman dan dengan amalan-amalan saleh. Bukan dengan kedudukan fulan bin fulan pada kehidupannya. Maka seharusnya orang yang telah terkena beban kewajiban (mukallaf) mencukupkan dengan apa yang Allah Ta'ala syariatkan. Dari sini diketahui bahwa bertawasul dengan kedudukan fulan dan kemuliaan serta haknya termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Tidak ada seorangpun yang mendapatkan kekhususan dengan dari Allah karena kebaikan pendahulunya. Karena tidak bukan kebaikan mereka atas amalannya sehingga dia berhak mendapatkan balasan kebaikan. Seperti halnya tiga penghuni gua. Mereka tidak bertawasul kepada Allah dengan kebaikan orang-orang terdahulu, akan tetapi mereka bertawasul dengan amalan-amalannya mereka."
Kami memohon kepada Allah agar menetapkan terhadap agama dan syariatnya sampai bertemu (kepada-Nya) amin. Wallahu’alam
Silahkan lihat kitab ‘At-Tawasul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu’ karangan Syekh Al-Albany hal, 55 dan seterusnya. Dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/153, kitab ‘At-Tawashul Ila Haqiqatus Tawasul’ karangan Syekh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, hal. 180.