Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Hukum Bekerja Memakai Ijazah Yang Diraih Dalam Ujian Yang Ada Kecurangan

21-08-2023

Pertanyaan 279129

Saya telah bertanya dalam soal no. (278157) tentang bekerja memakai ijazah yang didapatkan dengan sejumlah kecurangan dan hukum gaji yang didapatkan berdasarkan ijazah ini. Dan anda mengalihkan ke soal no. (26123) dari Syekh Abdul Karim Al-Khudair, saya seringkali merujuk banyak fatwa tentang topik ini. Dan saya dapatkan sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa sah bekerja dengan memakai ijazah ini kalau dia bertaubat dari kecurangannya, jika dia profesional dibidangnya. Kami memohon kepada anda untuk menjelaskan dalil-dalil dan landasan dasar yang dibangun tentang arti dari perkataan ini (yaitu bahwa ijazah tidak akan merusak atau tidak batal disebabkan adanya kecurangan)

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kecurangan itu diharamkan baik dalam ujian maupun di tempat lainnya berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (رواه مسلم، رقم 102)

“Siapa yang melakukan kecurangan, maka dia bukan dari golonganku. HR. Muslim, (102)

Maka bagi siapa yang pernah melakukannya, hendaknya dia bertaubat kepada Allah ta’la.

Tidak mengapa bekerja dengan memakai ijazah ini selagi dia bagus dalam bekerja. Karena maksud utama dan yang terbesar mempersyaratkan ijazah dalam bekerja adalah pemiliknya benar-benar memiliki keahlian dalam pekerjaan tertentu ini, meskipun sebatas dugaan kuat.

Padahal semua orang yang meminta ijazah atau mensyaratkannya, mengetahui bahwa sebagian orang yang membawanya terkadang tidak layak dalam pekerjaannya. Terkadang ada yang mendapatkan ijazah namun tidak sesuai kapasitasnya atau semisal itu sebagaimana banyak terjadi. Akan tetapi cukup ijazah itu sebagai bukti akan keahlian dalam suatu pekerjaan. Kemudian akan dilihat kenyataannya.

Kalau pekerjaannya sesuai harapan dan ijazah sepadan dengan keahlian, maka telah terpenuhi tujuan mensyaratkan ijazah.

Berlebih-lebihan untuk mencari tahu apakah dalam prosesnya mendapatkan ijazah di dalamnya terdapat kecurangn dan perkara-perkara lain yang tidak tampak, adalah sikap yang akhirnya akan menyulitkan diri sendiri dan juga sika berlebih-lebihan untuk mengetahui keahlian seseorang dalam suatu bidang.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Seseorang bekerja dengan menggunakan ijazah sekolah, sedangkan  dia curang dalam ujian mendapatkan ijazah ini. Sekarang dia melakukan pekerjaan ini dengan baik, menurut kesaksian bawahannya. Bagaimana hukum gajinya, apakah dibolehkan atau dilarang?”

Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa insyaallah, hendaknya dia bertaubat kepada Allah dari kecurangan yang pernah dia lakukannya. Kalau dia telah melakukan pekerjaan sesuai yang diharapkan, maka tidak mengapa dari sisi pekerjaannya. Akan tetapi dia berbuat salah dengan kecurangan yang lalu. Maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah dari hal itu.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 19/31).

Mungkin bisa mengambil dalil dalam hal ini dengan memperhatikan yang terbanyak dan mayoritas serta memaafkan yang sedikit. Oleh karena itu perlu dibedakan antara orang yang curang dalam ujian dengan orang yang mendapatkan ijazah palsu.

Kalau instansi kerja mensyaratkan ijazah tertentu, dimana dia dapatkan dengan kecurangan waktu ujian. Maka persyaratannya telah tertunaikan dan dimaafkan dosa yang terjadi padanya. Berbeda dengan orang yang tidak mengikuti ujian dan membawa ijazah palsu, maka dia tidak dianggap (tidak dimaafkan).

Bisa ditambah dia dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan apa yang diinginkannya atau dia melakukannya seperti halnya orang-orang yang punya keahlian sama. Kalau ditambah hal itu dengan bertaubat dari apa yang telah dia lakukan berupa sikap berlebihan dan kecurangan, maka akan semakin kuat sisi keringanan dalam hal itu, karena diketahui dari maksud syariat nan agung dalam rangka membantu orang yang bertaubat atas taubatnya. Dan memaafkan apa yang terjadi sebelum itu. Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

سورة البقرة: 275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal ini berlaku umum terhadap semua orang yang telah mendapatkan peringatan dari Tuhannya. Maka Allah telah memaafkan apa yang telah berlalu.

Yang menunjukkan hal itu ada ketetapan pada hak orang Islam adalah apa yang ada setelah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al-Baqarah: 278)

Maka Allah memerintahkan untuk meninggalkan apa yang tersisa. Tidak diperintahkan untuk mengembalikan apa yang telah mereka dapatkan. Hal itu menunjukkan bahwa yang sudah terjadi, maka halal bagi mereka. Hal ini ditunjukkan dalam ayat berikutnya, “Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.” Dan Allah maha menerima taubat hambaNya.

Kalau tanya, “Apakah hal ini khusus bagi orang-orang kafir?” Maka katakan, “Dalam Al-Qur’an tidak ada yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi katakan, Siapa yang telah datang padanya peringatan dari Tuhannya, kemudian dia berhenti, maka yang lalu diampuni baginya. Hal ini mencakup orang Islam dan bahkan mereka lebih utama (mendapatkan kemurahan ini).”

Bahkan bisa dikatakan, “Sesungguhnya hal ini mencakup orang yang mengetahui pengharaman ini. Kalau datang padanya peringatan dari Tuhannya dan dia berhenti, maka Allah akan mengampuni orang yang bertaubat dengan taubatnya. Maka apa yang telah lalu dari perbuatannya itu dianggap seperti tidak ada. Ayat ini mencakup hal itu, apa yang telah lalu sudah menjadi bagiannya  dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Dan yang menunjukkan akan hal itu adalah firman-Nya setelah itu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

Sampai pada firman-Nya:

وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu.” (QS. Al-Baqarah: 279)

Taubat mencakup orang Islam yang berbuat maksiat sebagaimana juga mencakup orang kafir. (Jami’ Al-Masail, 1/27).

Wallahua’lam

tampilan di situs islamqa.info