Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Kaidah: Peristiwa Dikaitkan Dengan Waktu Yang Terdekat. Penerapannya, Seseorang habis Mandi janabah, Melihar selotip Yang Menghalangi Sampainya Air (Ke tubuh).

07-10-2024

Pertanyaan 309429

Saya mau bertanya tentang kaidah Peristiwa Dikaitkan Dengan Waktu Yang Terdekat. Apa maknanya? Apakah ada syarat-syaratnya?  misalnya dugaan kuat bahwa dia mendapatkan sebelum itu atau selain dari itu. Karena saya membaca tentangnya, akan tetapi saya belum memahaminya. Apakah contohnya seseorang berwudhu kemudian didapati sesuatu yang menghalangi antara jasad dan air berupa tepung atau yang lainnya dan dia tidak mengetahui kapan terjadinya hal itu, apakah sebelum mandi atau setelahnya. Apakah dia (harus) mengulangi mandinya, dan hal itu juga berlaku dalam wudhu dan ibadah-ibadah lainnya? Apa maksud waktu yang terdekat?

Pertanyaan kedua: Kalau seorang wanita tidak jelas ada sesuatu yang keluar apakah dia cairan biasa atau mazi atau lainnya, apakah dia dibolehkan memilih di antara keduanya dan menetapkan hukum atas pilihannya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kaidah ‘Peristiwa Dikaitkan Dengan Waktu Yang Terdekat’, Maksudnya adalah ‘kalau terjadi perbedaan waktu terjadinya suatu perkara, dan tidak ada bukti yang menentukannya, maka perkara ini disandarkan kepada waktu yang terdekat dari suatu kondisi. Karena hal itu yang lebih meyakinkan, sementara waktu yang terjauh itu masih meragukan. Akan tetapi kalau Terdapat bukti penyandarannya ke waktu terjauh, maka dia harus mengamalkannya. (Mausu’ah Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah, karangan Doktor Muhammad Sidqi Al-Barnu, 12/316).

Terkadang diungkapkan dengan redaksi ‘Hukum asalnya, semua peristiwa diperkirakan kepada waktu yang terdekat.’ Atau dengan redaksi ‘Setiap peristiwa  dialihrkan kepada waktu yang terdekat’.

As-Suyuthi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Asybah Wan Naza’ir, hal. 59, “Kaidah asal dari dalam suatu peristiwa adalah memperkirakan waktu terdekat.

Di antara contoh kasus dalam masalah ini, misalnya; Seseorang melihat mani di bajunya, namun dia tidak ingat waktu bermimpinya, maka dia harus mandi (besar) menurut pendapat yang terkuat. (As-Syafi’i) berkata dalam kitab ‘Al-Umm’, “Dan diwajibkan mengulangi semua shalat yang telah dia lakukan sejak tidur yang terakhirnya.”

Di antara contohnya juga: Seseorang mandi atau berwudhu, kemudian dia melihat sesuatu yang menghalangi sampainya air, baik berupa adonan atau bahan lainnya, sementara dia tidak mengetahui waktu terjadinya. Maka sesuai kaidah, kejadian tersebut diperkirakan terjadi  setelah dia bersuci, sehingga dia tidak harus mengulangi mandi atau berwudhu. Karena orang yang mengalami suatu peristiwa, maka kapan kejadiannya disandarkan kepada waktu terdekatnya.

Silakan lihat kitab ‘Gomzu Uyunil A-Bashoir Fi syarkhi Al-Asybah wan naza’ir, (1/217). Durorul Hukkam Fi Syarkh Majallatul Ahkam, (1/28).

Akan tetapi kalau ada petunjuk yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu sebelumnya yang lebih lama, maka dia berpatokan dengan hal tersebut.

Di antara contoh hal itu, kalau diketahui pada barang yang telah dijual ada catat setelah berada di tangan  pembeli, sementara penjual beralasan bahwa hal itu  terjadi ketika barang sudah ada di pembeli, sedangkan pembeli menuduh terjadinya ketika berada pada penjual namun tidak ada bukti pada keduanya. Maka pendapat (yang diambil) adalah yang menduga bahwa kejadiannya di waktu yang terdekat, dalam hal ini adalah pendapat penjual plus diambil sumpahnya, sehingga terjadinya cacat tersebut dianggap saat barang berada di tangan pembeli. Kecuali kalau cacatnya itu memang dari bentuk awalnya yang tidak mungkin terjadi seperti itu di tangan pembeli.” (Silakan lihat Mausu’atul Qowaid, (1/113).

Kedua:

Keluarnya cairan merupakan perkara yang biasa terjadi pada Wanita. Dia lebih sering dibandingkan dengan keluarnya madzi.  Cairan yang keluar dari kemaluan (wanita) itu suci, akan tetapi dia dapat membatalkan wudhu, berbeda dengan mazi, dia termasuk najis.

Terdapat penjelasan perbedaan antara cairan, madzi dan mani dalam jawaban soal no. (257369) di dalamnya dijelaskan bahwa siapa yang rancu dari urusan ini, maka dia diperbolehkan untuk memilihnya, dan menjadikan hukum pada salah satunya, dan ini adalah mazhab Syafiiyyah, dan hal ini lebih layak terutama bagi orang yang  mengalami was-was.

Dalam kitab Mugni Al-Muhtaj, (1/215) dikatakan, “Kalau ada kemungkinan sesuatu yang keluar itu mani atau lainnya seperti wadi atau madzi, maka dipilih di antara keduanya menurut pendapat yang menjadi sandaran. Kalau dia anggap itu mani, maka dia harus mandi. Atau dia berpendapat yang lainnya (selain mani), maka cukup berwudu dan membersihkan anggota tubuh yang terkena, karena kalau dia bersuci sesuai  pandangan terhadap salah satunya, maka dia dianggap suci secara yakin. Dan kemungkinan yang lainnya tidak berlaku dan tidak dipertentangkan.”

Wallahu a’lam

Fikih Bersuci
tampilan di situs islamqa.info