Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Wanita muslim, dimana suaminya mengatakan kepadanya sering sekali padahal dalam kondisi sangat marah ‘Engkau dicerai’. Apa hukum hal tersebut? Apalagi mereka mempunyai anak.
Alhamdulillah.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya tentang wanita yang berlaku buruk kepada suaminya dan menghinanya. Sehingga suaminya menceraikannya dalam kondisi marah. Maka beliau menjawab, “Kalau perceraiannya seperti apa yang disebutkan terjadi saat anda dalam kondisi sangat marah sampai tidak merasakan dan tidak menyadari, serta tidak dapat mengendalikan diri anda karena buruknya perkataan dan hinaan kepada anda atau semisalnya, maka dalam kondisi sangat marah tersebut anda menceraikannya tanpa sadar dan istri anda mengakui hal itu, atau anda mempunyai saksi yang adil akan hal itu, maka tidak jatuh talak. Karena dalil-dalil syariat menunjukkan bahwa sangat marah -apalagi diiringi dengan kondisi tidak sadar, dan itu lebih berat lagi – dapat menyebabkan tidak jatuhnya talak.
Di antara dalilnya adalah Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah radhiallahu anha sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا طلاق ولا عتاق في إغلاق
“Tidak jatuh talak dan tidak dianggap memerdekan budak, (jika dinyatakan) dalam kondisi tertutup (sangat marah).”
Sekelompok ulama mengatakan, ‘Al-Iglaq’ adalah terpaksa dan marah. Maksudnya adalah sangat marah. Kemarahan dapat menutupi tujuan seseorang, mirip dengan orang pandir, gila dan mabuk, disebabkan kemarahan yang sangat. Maka tidak jatuh talak. Jika hal tersebut disertai hilangnya kesadaran dan tidak dapat mengendalikan apa yang keluar darinya karena kondisi yang sangat marah, maka dengan sebab itu talak tidak jatuh.
Kemarahan itu ada tiga kondisi:
Kondisi pertama: Hilang kesadaran, maka disamakan dengan orang gila. Talak dalam kondisi seperti ini tidak jatuh menurut seluruh ulama.
Kondisi kedua: yaitu sangat marah sekali, cuma tidak sampai hilang kesadaran, akan tetapi dia masih bisa merasakan dan ada sedikit akalnya. Namun dia sangat marah, hingga menjatuhkan talak. Talak macam ini pun tidak jatuh juga menurut pendapat yang kuat.
Kondisi ketiga: Marahnya biasa saja, tidak keras sekali. Hanya marah biasa seperti marah yang umumnya terjadi pada seseorang. Marah seperti ini bukan patokan, maka talak dalam kondisi seperti itu dianggap jatuh menurut seluruh ulama.
(Fatawa At-Talaq, hal. 19-21. Disusun oleh Dr. Abdullah At-Toyyar dan Muhammad Musa)
Apa yang disebutkan oleh syekh Bin Baz rahimahullah dalam kondisi kedua adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayim rahimahumallah. Ibnu Qoyyim juga menulis tentang hal itu dalam tulisan yang judulya ‘Igotsatul Lahfan Fi Hukmi Tolaqil Gadban’ di antara yang ditulis di sana adalah:
Marah itu ada tiga macam.
Salah satunya adalah terjadi pada seseorang yang dasarnya masih waras sehinggal akal dan pikirannya tidak berubah sama sekali dan dia mengetahui apa yang diucapkannya serta maksudnya. Maka tidak ada keraguan lagi bahwa talak seperti ini dianggap jatuh, begitu juga dalam hal membebaskan (budak), maka dianggap berlaku.
Macam kedua adalah kemarahannya sampai pada puncaknya hingga tertutup pintu kesadaran dan keinginannya. Tidak mengetahui apa yang diucapkan dan apa yang diinginkan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan bahwa talak seperti itu tidak jatuh. Jika sangat marah sehingga seseorang tidak menyadari apa yang diucapkan, maka tidak diragukan lagi bahwa ucapan dalam kondisi tersebut tidak dapat dilaksanakan, apapun ucapannya. Karena perkataan orang yang terkena kewajiban (mukallaf) itu direalisasikan disertai dengan adanya ilmu orang yang mengatakan yang keluar darinya, baik arti maupun keinginan orang yang berbicara.
Macam ketiga: Pertengahan di antara dua sisi. Dia melewati batas dasarnya namun tidak sampai seperti orang gila. Kondisi semacam ini ada perbedaan dan perdebatan. Namun dalil-dalil syariat menunjukkan tidak jatuh perceraian dan memerdekaan (budak) serta akad-akad yang didalamnya menuntut adanya pilihan dan keridhaan. Hal ini termasuk bagian dari iglaq (sangat marah) sebagaimana yang ditafsirkan oleh para tokoh ulama.
(Disadur dari kitab Mathalib Ulin Nuha, 5/323. Dan semisalnya dalam kitab Zadul Ma’ad secara ringkas , 5/215. Silahkan lihat Al-Muasu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, 29/18).
Kepada suami hendaknya dia bertakwa kepada Allah Ta’ala, jauhi perkataan cerai agar tidak terjadi kerusakan dan keretakan rumah tangganya.
Sebagaimana kami juga memberi nasehat kepada suami dan istri secara bersama-sama, agar bertakwa kepada Allah dalam menunaikan hukum-hukumNya, dengan menilai secara obyektif apa yang terjadi pada suami terhadap istrinya. Apakah itu termasuk marah biasa yang biasanya memang menjadi sebab terjadinya percaraian. Yaitu pada tingkat (kemarahan) ketika dimana perceraian itu dianggap jatuh menurut kesepakatan para ulama. Dan hendaknya keduanya berhati-hati, jangan sampai karena mempertimbangkan adanya anak-anak di antara mereka berdua membuat mereka menggambarkan kemarahan yang dapat menyebabkan mufti (pemberi fatwa) berfatwa jatuhnya talak, padahal keduanya mengetahui kondisinya lebih ringan dari itu.
Dengan demikian, maka keberadaan anak-anak di antara suami istri hendaknya menjadi motivasi untuk menjauhi penggunaan kata-kata cerai dan sembrono dalam menggunakannya, bukan justeru untuk memanipulasi hukum syar’i setelah terjadinya perceraian dengan mencari solusi dalam bentuk mencari-cari keringanan di antara ulama fikih dalam masalah ini.
Kita memohon kepada Alah agar kita semua dikaruniai pemahaman dalam agama dan mengagungkan syiar dan syareatnya.
Wallahu a’lam