Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Sekiranya aku mengadakan perjalanan sejauh 100 mil atau lebih dari itu, berapakah jumlah raka'at shalat yang mesti aku tunaikan sebelum dan sesudah safar? Aku kira boleh aku mengqashar shalat sebelum dan sesudah safar, bukankah begitu?
Alhamdulillah.
Pertama, tiada batasan pasti dalam sunnah nabi, mengenai jarak safar yang membolehkan seseorang mengqashar shalat dan berbuka puasa.
Para ulama banyak berbeda pendapat dalam masalah ini. Yang benar, jarak safar tersebut mengacu pada kebiasaan penduduk suatu daerah. Jika dalam pandangan masyarakat, dalam jarak tertentu, mereka sebut sebagai safar, maka ia boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa. Dan ini pendapat yang diambil oleh para peneliti ilmiah. Seperti Ibnu Qudamah al Maqdisi dan Ibnu Taimiyah. Lihat soal jawab no: 10993 dan 38079.
Kedua, seorang musafir tidak mendapat rukhsah (keringanan) dalam safarnya (seperti qashar shalat dan berbuka puasa) kecuali setelah keluar dari rumahnya dan telah melewati tapal batas negerinya. Dan ia tetap berada dalam rukhsah tersebut sehingga ia kembali ke negerinya.
Tidak boleh ia mengqashar shalatnya terkecuali setelah ia meninggalkan tempat tinggalnya atau batas kampungnya. Ia tidak boleh mengqashar shalat sedangkan ia masih berada di dalam rumahnya atau kampungnya.
Sedangkan mengenai berbuka puasa, para ulama berbeda pendapat.
Sebagian ulama membolehkan ia berbuka walaupun ia masih berada di dalam rumahnya atau di kampungnya, apabila ia telah berazam yang kuat untuk mengadakan safar dan telah menyiapkan perbekalan safarnya.
Adapun mayoritas ulama, tidak membolehkan berbuka bagi seseorang yang mau mengadakan safar sebelum ia keluar dari tempat tinggalnya atau kampungnya. Dan pendapat inilah yang lebih kuat dan lebih berhati-hati.
Ibnu Taimiyah berkata,
'Apakah disyaratkan bagi musafir telah keluar dari kampungnya yang akan mengqashar shalat dan berbuka puasa?
Jawabnya, ada dua pendapat ulama salaf terkait masalah ini.
Sebagian ahli ilmu berpendapat boleh baginya berbuka puasa dan mengqashar shalat ketika ia sudah menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perjalanan dan ia tinggal naik kendaraannya. Disebutkan bahwa Anas radhiallahu anhu pernah melakukan hal tersebut.
Tapi jika anda memperhatikan ayat, "Dan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan, maka ia boleh berbuka dan mengganti puasa yang ia tinggalkan di hari lain sejumlah hari yang ia tinggalkan." Maka anda dapatkan bahwa pendapat ini tidak benar. Karena ia belum terhitung safar, tapi ia masih berstatus mukim di kampung tersebut.
Untuk itu, ia tidak boleh berbuka puasa terkecuali jika ia telah meninggalkan perkampungannya.
Adapun sebelum ia keluar dari rumahnya, maka ia belum layak disebut musafir.
Dan yang benar adalah ia belum boleh berbuka sebelum ia meninggalkan kampungnya. Oleh karena itu ia tidak boleh pula mengqashar shalat sehingga ia keluar dari kampungnya, demikian pula dengan berbuka puasa.'
(Syarh almumti', 6/ 346).
Bagi orang yang telah berazam untuk mengadakan safar, tidak boleh ia mengqashar shalat di rumahnya. Karena qashar masuk dalam hukum safar dan keringanannya. Sedangkan ketika seseorang masih berada di rumahnya belum terhitung safar. Inilah pendapat jumhur ulama.
Dalam masalah ini banyak pendapat yang lemah, seperti pendapat yang membolehkan mengqashar shalat ketika masih berada di rumahnya.
Atau pendapat yang mengatakan bahwa bagi musafir belum boleh mengqashar shalat bagi yang berangkat safar di siang hari sehingga telah memasuki waktu malam.
Atau pendapat ketiga yang mengatakan bahwa ia boleh mengqashar shalat jika telah melewati tembok atau pagar rumahnya.
Imam Nawawi berkata,
'Mazhab kami, jika telah meninggalkan tapal batas kampung, maka ia boleh mengqashar shalat. Dan sebelum itu, jika baru keluar dari rumahnya maka belum boleh mengqashar shalat. Dan inilah pendapat yang diambil Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad dan mayoritas ulama.
Dikisahkan Ibnu Mundzir dari Harits bin Abu Rabi'ah bahwa ia pernah melakukan safar dan ia shalat dua raka'at di rumahnya, di sana ada al Aswad bin Yazid dan yang lainnya dari murid-murid Ibnu Mas'ud. Hal senada diceritakan oleh Atha' dan Sulaiman bin Musa.
Mujahid berkata, 'Jika keluar dari rumahnya (dengan tujuan safar) di siang hari, maka ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum masuk waktu malam. Dan jika keluar dari rumahnya di malam hari, belum boleh mengqashar shalatnya sehingga masuk waktu siang.'
Dari Atha' ia berkata, 'Jika telah melewati tembok rumahnya, maka ia boleh mengqashar shalatnya.'
Kedua mazhab ini tidak benar (fasid).
Mazhab Mujahid menyelisihi hadits-hadits yang shahih. Di mana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika telah sampai di Dzul Hulaifah, sewaktu keluar dari Madinah.
Sedangkan mazhab Atha' dan lainnya, bertentangan dengan istilah safar.'
(Al Majmu', 4/ 228).
Dibolehkan bagi orang yang melakukan safar untuk menjama' dua shalat sebelum pelaksanaan safar, jika ia merasa sulit untuk melaksanakan shalat kedua di tengah perjalanannya. Sedangkan qashar tidak boleh dilakukan di rumahnya.
Syekh Utsaimin rahimahullah berkata,
'Tiada batas waktu tertentu bagi musafir maupun mukim selama anda berniat kembali ke kampung halaman, atau anda berniat mukim abadi. Maka pada saat itu tidak berlaku hukum safar bagi anda. Dan inilah pendapat yang shahih.
Hukum safar dimulai sejak seseorang meninggalkan desanya dan telah melewati batas desanya atau kotanya. Tidak boleh menjama' dua shalat sehingga anda meninggalkan negeri anda. Terkecuali jika anda khawatir, anda sulit melaksanakan shalat kedua di tengah perjalanan.'
(majmu' fatawa Ibnu Utsaimin, 15/ 346).
Berkata syekh Shalih Fauzan rahimahullah,
'Jika telah masuk waktu Zhuhur, sementara anda belum memulai safar, maka anda wajib melaksanakan shalat Zhuhur secara sempurna empat raka'at tanpa diringkas (qashar).
Sedangkan shalat Ashar, jika perjalanan anda berhenti di waktu Ashar, maka anda tunaikan shalat Ashar secara sempurna pada waktunya setelah anda sampai di tempat tujuan. Adapun jika perjalanan anda berlanjut hingga selepas maghrib. Artinya terlewat waktu Ashar sedangkan anda dalam safar. Dan anda tak mungkin turun dari mobil yang anda kendarai. Maka pada saat itu boleh anda menjama' dua shalat. Karena ini merupakan keadaan yang membolehkan anda menjama' dua shalat tersebut. Akan tetapi anda lakukan dengan sempurna, yakni empat raka'at empat raka'at.
Jika anda telah shalat Ashar dengan Zhuhur di waktu Zhuhur (jama' taqdim) di rumah anda, dan anda ingin melakukan safar setelahnya, maka anda lakukan shalat Zhuhur dan Ashar secara sempurna. Masing-masing empat raka'at. Tidak mengapa anda menjama'nya. Karena jama' shalat dibolehkan pada saat itu.
Adapun qashar, belum dimulai waktunya. Karena qashar itu dibenarkan setelah anda melewati tapal batas negeri, yang anda menetap di sana.'
(Al muntaqa min fatawa syekh Fauzan, 3/ 62).
Ia melanjutkan,
'Hukum safar dimulai sejak seseorang keluar meninggalkan negeri yang dia menetap di sana. Jika seseorang keluar dari tempat tinggalnya atau melewati tapal batas negerinya, maka sejak saat itu telah berlaku hukum safar. Seperti; mengqashar shalat dan berbuka puasa dan lain sebagainya. Adapun bagi orang yang masih tinggal di rumah, belum berlaku baginya hukum safar.
Jika masuk waktu shalat sementara ia masih berada di daerahnya, maka ia shalat secara sempurna pada waktunya. Meskipun ia berpindah dari satu pemukiman ke pemukiman lainnya (masih dalam satu desa), karena ia masih belum terhitung safar. Sehingga ia telah melewati semua pemukiman atau desanya.'
(Al muntaqa min fatawa syekh Fauzan, 3/ 62 -63).