Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Anak perempuan adalah amanah bagi bapaknya, Allah –subhanahu wa ta’ala- telah menyuruh untuk menjaga dan memelihara amanah tersebut; tidak diragukan bahwa pemilihan suami yang sholeh baginya adalah sebesar-besarnya bentuk penjagaan seorang wali kepada anak perempuannya; karena pernikahan adalah perpindahan dari kehidupan pribadi menuju ketenangan, tentram dan kebahagiaan, maka pilihan suami haruslah yang baik untuk merealisasikan cita-cita tersebut.
Seorang ayah yang cerdas dia akan berusaha untuk merealisasikan tujuan yang agung tersebut bagi anak perempuannya, dia tidak akan merasa tenang sampai dia mendapatkan baginya pasangan yang baik akhlak dan agamanya yang akan bertanggung jawab dan memperbaiki keadaannya, dan jika dia sudah mendapatkan, maka janganlah ragu-ragu untuk menawarkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya kepadanya; agar bisa melihat kebahagiaan dan ketenangannya.
Di dalam al Qur’an dan Sunnah banyak terdapat contoh yang mulia yang berasal dari mereka para wali yang memilihkan suami bagi anak-anak perempuan mereka dan saudari-saudari mereka, para wali tersebut menjadi sebab kebahagiaan mereka dan mempersingkat waktu menunggu yang belum pasti.
Allah –subhanahu wa ta’ala- telah menceritakan tentang perjalanan Nabi Musa –‘alaihis salam- pada saat sampai di sumber air di negeri Madyan, beliau membantu meminumkan ternak dari kedua orang wanita dari air tersebut karena merasa kasihan kepada keduanya, dan ketika bapak dari kedua wanita tersebut mengetahui akan amanah dan kuatnya Nabi Musa –‘alaihi wa sallam- sebelum diutus menjadi Rasul, maka dia menawarkan kepadanya salah satu dari kedua anak perempuannya untuk menjadi istrinya, sebagaimana firman Allah yang menceritakan kisah mereka:
) َقالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْراً فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ ) القصص/27
“Berkatalah dia (Syu`aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik". (QS. al Qashash: 27)
Di dalam hadits ada contoh lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori (5122), beliau memberi tema: “Bab seseorang menawarkan anak perempuannya atau saudarinya kepada orang sholeh (untuk dinikahi)”, demikian juga yang diriwayatkan oleh an Nasa’i (3248) beliau memberi tema: “Bab seorang laki-laki menawarkan anak perempuannya kepada seseorang yang disetujuinya”.
Dari Ibnu Umar, dari Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
) تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسٍ يَعْنِي ابْنَ حُذَافَةَ - وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا فَتُوُفِّيَ بِالْمَدِينَةِ - فَلَقِيتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَعَرَضْتُ عَلَيْهِ حَفْصَةَ ، فَقُلْتُ : إِنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ . فَقَالَ : سَأَنْظُرُ فِي ذَلِكَ . فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ فَلَقِيتُهُ فَقَالَ : مَا أُرِيدُ أَنْ أَتَزَوَّجَ يَوْمِي هَذَا . قَالَ عُمَرُ : فَلَقِيتُ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : فَقُلْتُ إِنْ شِئْتَ أَنْكَحْتُكَ حَفْصَةَ . فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيَّ شَيْئًا . فَكُنْتُ عَلَيْهِ أَوْجَدَ مِنِّي عَلَى عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ فَخَطَبَهَا إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ ، فَلَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ : لَعَلَّكَ وَجَدْتَ عَلَيَّ حِينَ عَرَضْتَ عَلَيَّ حَفْصَةَ فَلَمْ أَرْجِعْ إِلَيْكَ شَيْئًا ؟ قُلْتُ : نَعَمْ . قَالَ : فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي حِينَ عَرَضْتَ عَلَيَّ أَنْ أَرْجِعَ إِلَيْكَ شَيْئًا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُهَا ، وَلَمْ أَكُنْ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَوْ تَرَكَهَا نَكَحْتُهَا(
“Pada saat Hafshah binti Umar ditinggal oleh Khunais (Ibnu Hudzafah) –beliau termasuk salah satu sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mengikuti perang Badar- beliau meninggal dunia di Madinah, maka saya menemui Utsman bin Affan untuk menawarkan Hafshah kepadanya (sebagai istrinya), saya berkata: “Jika anda mau, saya akan menikahkan Hafshah dengan anda”, beliau menjawab: “Saya akan pertimbangkan terlebih dahulu”, setelah beberapa malam saya menemuinya lagi, maka beliau berkata: “Saat ini saya belum ingin menikah”. Umar berkata: “maka saya menemui Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- : “Jika anda mau saya akan menikahkan Hafshah dengan anda”, beliau pun tidak memberikan jawaban dan saya kira sama dengan jawaban Utsman –radhiyallahu ‘anhu- . Setelah beberapa malam Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meminangnya, maka saya pun menikahkannya dengan beliau. Seraya Abu Bakar menemui saya setelah itu dan berkata: “Sepertinya anda pada saat menawarkan Hafshah kepada saya, anda berperasangka sesuatu terhadap saya, karena saya tidak menjawabnya ?, saya menjawab: “Ya”, beliau berkata: “Tidak ada yang menghalangi saya untuk menerima tawaran anda pada saat anda menawarkan Hafshah kecuali karena saya telah mendengar bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menyebutkannya, dan saya tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kalau beliau meninggalkannya maka saya akan menikahinya”.
Al Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan beberapa hikmah dari hadits tersebut dalam Fathul Baari (9/222): “Hadits itu menunjukkan bahwa seseorang boleh menawarkan anak perempuannya atau wanita lain yang berada di bawah perwaliannya kepada seseorang yang ia yakini baik dan sholeh; karena manfaatnya akan kembali kepada yang ditawarkan, dan hal itu bukan termasuk yang memalukan”.
Ada banyak contoh dalam sejarah, yang paling menakjubkan adalah apa yang disebutkan oleh Imam adz Dzahabi dalam “Siyar A’lam Nubala’” (4/233) tentang Sa’id bin Musayyib yang menikahkan putrinya dengan muridnya Katsir bin Mutthalib, yaitu; “Saya hadir dalam majelis Sa’id bin Musayyib, namun beberapa hari saya tidak hadir, pada saat saya hadir, beliau bertanya: “Kemana saja kamu ?”, saya menjawab: “Istri saya meninggal dunia, maka saya harus mengurusnya terlebih dahulu”, beliau berkata: “Kenapa tidak memberitahukan kepada kami, hingga kami ikut berta’ziyah”. Lalu beliau berkata: “Apakah kamu mau menikah lagi ?, maka saya menjawab: “Semoga Allah mengasihi anda, siapa yang mau menikahkan (putrinya) dengan saya, sedangkan saya tidak mempunyai kecuali dua atau tiga dirham saja ?”, beliau menjawab: “Saya”, saya berkata: “anda akan melakukannya ?”, beliau menjawab: “Ya, kemudian beliau memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu menikahkannya dengan saya dengan dua atau tiga dirham”, saya pun akhirnya beranjak karena merasa senang, saya pulang ke rumah dan berfikir mau pinjam uang kemana?. Setelah sholat maghrib saya kembali ke rumah, pada hari itu saya berpuasa maka pada saat saya berbuka puasa dengan roti dan minyak, ada seseorang yang mengetuk pintu, saya bertanya: “siapa ?”, dia menjawab: “Sa’id”, Saya berfikir sepertinya tidak ada yang namanya Sa’id kecuali Sa’id bin Musayyib, dan saya tidak pernah melihat beliau selama 40 tahun kecuali berada antara rumahnya dan masjid, saya pun membuka pintu dan ternyata Sa’id yang terlihat ada sesuatu yang ingin disampaikan, saya berkata: “Wahai Abu Muhammad, kenapa anda tidak mengutus seseorang untuk memanggil saya ?, beliau menjawab: “tidak, kamu lebih berhak saya datangi, kamu sebelumnya adalah seorang yang perjaka kemudian menikah, maka saya tidak suka kamu tidur sendirian, dan ini adalah istrimu”. Ternyata dia ikut bersama beliau berdiri di belakangnya sama tingginya dengan beliau, kemudian beliau menyerahkannya di depan pintu, maka perempuan tersebut begitu terlihat malu, ketika ibu saya mengetahui maka beliau berkata: “Saya haram bagimu jika kamu menyentuhnya sebelum saya berfikir selama tiga hari”. Setelah tiga hari saya menemuinya, ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal al Qur’an, paling mengetahui tentang Sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang paling mengetahui hak suami”.
Jadi, rumah tangga agamis, penuh dengan ilmu, etika dan kebahagiaan telah terbentuk dengan jalan seperti di atas, rasa malu tidak lah menjadi halangan untuk mendapatkan suami yang sholeh untuk anak perempuannya atau saudarinya, sifat tawadhu’ menjadi akhlak mereka, mulia dan menepati janji adalah kebiasaan mereka, semoga beberaa contoh di atas menjadi qudwah yang baik bagi generasi pada masa sekarang –Allahul Musta’an-.
Kedua:
Adapun hadits yang disampaikan oleh khotib tersebut:
: ( اختاروا لبناتكم كما تختارون لأبنائكم )
“Pilihkanlah bagi anak-anak perempuan kalian, sebagaimana yang kalian ilihkan bagi anak-anak laki-laki kalian”.
itu bukan hadits dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, saya juga tidak menemukannya dinisbahkan kepada para sahabat atau para tabi’in, sepertinya riwayat tersebut adalah matsal (pepatah) yang menyebar di kalangan masyarakat dari hasil pengalaman mereka, dan barang siapa yang menisbahkan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka dia telah melakukan kesalah besar dan keji, dan telah melampaui batas karena mendustakan sesuatu kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam sabdanya:
( مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ ) رواه البخاري (110) ومسلم (3)
“Barang siapa yang berdusta kepadaku dengan sengaja, maka silahkan mengambil tempat duduknya di neraka”. (HR. Bukhori (110) dan Muslim (3))
Wallahu a’lam.