Sabtu 22 Jumadil Ula 1446 - 23 November 2024
Indonesian

Tipu Daya Dan Tipu Muslihat Dalam Peperangan

10138

Tanggal Tayang : 15-04-2015

Penampilan-penampilan : 17542

Pertanyaan

Apakah dalam Islam tipu muslihat dan tipu daya waktu perang itu diperbolehkan? Apakah hal itu sama seperti tidak menepati janji dan berkhianat?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Allah mengharamkan tidak menepati janji dan mencela pelakunya seperti dalam firman-Nya:

" الذين عاهدت منهم ثم ينقضون عهدهم في كل مرة وهم لا يتقون " الأنفال 56 .

“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” SQ. Al-Anfal: 56

Dan sabda Nabi sallallahua’alaihi wa sallam:

" لكل غادر لواء يوم القيامة يُعرف به " رواه البخاري (6966) ومسلم (1736).

“Setiap orang yang tidak menepati janji (mempunyai) bendera yang dikenal di hari kiamat.” HR. Bukhori, (6966) dan Muslim, (1736).

Dikeluarkan oleh Bukhori dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

" أربع خلال من كنَّ فيه كان منافقاً خالصاً إذا حدَّث كذب وإذا وعد أخلف وإذا عاهد غدر وإذا خاصم فجر ومن كان فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها " رواه البخاري (3878) ومسلم (58) .

“Empat kerusakan, siapa yang ada pada dirinya, maka dia termasuk benar-benar orang munafik. Kalau berbicara berbohong, kalau berjanji tidak ditepati, kalau bersepakat tidak dipenuhi, kalau berselisih melampaui batas. Siapa yang mempunyai salah satu perangai, maka ia termasuk perangai dari kemunafikan sampai ia meninggalkannya.” HR. Bukhori, (3878) dan Muslim, (58).

Dari Malik berkata, “Disampaikan kepadaku bahwa Abdullah bin Abbas berkata, “Tidaklah suatu kaum ketika tidak menepati janji melainkan Allah akan kuasakan musuh kepadanya. Muwato’ / Bab Ma ja Fil Wafa’ Bil Ahdi.

Meskipun dengan ancaman ketika tidak menepati janji, agama memperbolehkan tipu muslihat dalam peperangan untuk merealisasikan kemenangan. Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama’ bersepakat diperbolehkannya menipu orang kafir dalam peperangan, apapun bentuk tipu muslihat kecuali (tipu muslihat) yang dapat membatalkan perjanjian atau keamanan, maka hal itu tidak diperbolehkan.

Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Perang itu tipu muslihat.” HR. Bukhori, (3029) dan Muslim, (58). Diantara tipu muslihat dalam peperangan adalah memberi kekagetan pada musuh dan memulai penyerangan lebih dahulu sebelum (musuh) siap berperang.

Oleh karena itu dahulu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam mengutus banyak pasukan kecil  dan memberi nasehat agar berjalan waktu malam dan ketika siang bersembunyi agar musuh terperangah. Meskipun diperbolehkan tipu muslihat dalam peperangan Cuma dalam Islam telah menempati ketinggian derajat dalam berkomitmen menepati janji dan melarang mempergunakan profokasi dan tipu muslihat yang meniadakan (komitmen dengan perjanjian). Diantara contoh yang mencengangkan adalah,

Umar bin Khottob menulis surat kepada petugas tentara yang dia utus, “Telah sampai kepadaku bahwa ada orang diantara kamu yang mencari orang kafir non arab, sampai ketika terdesak di gunung dan menahan diri dia mengatakan, “Jangan takut, (akan tetapi) ketika dia dapatkan, dia bunuh. Sesungguhnya jiwaku yang ada di tangan-Nya. Tidaklah sampai kepada diriku ada orang yang melakukan itu, kecuali saya akan penggal lehernya.”

Dari Abu Salamat berkata, Umar bin Khottob berkata,”Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya. Kalau salah seorang diantara kalian memberi isyarat ke langit dengan telunjuknya dan mengarahkankan kepada orang musyrik. Kemudian dia menyerahkan diri kepadanya kemudian dia membunuhnya, pasti saya akan membunuh orang itu.”

Maka Islam mengharamkan pengkhianatan. Pengkhianatan tidak termasuk tipu muslihat yang diperbolehkan dalam peperangan. Sehingga syareat islam, membedakan antara yang diperbolehkan dari sarana tipu muslihat dan yang terkandung pengkhianatan serta merusak perjanjian. Silahkan melihat buku ‘Al-‘Alaqot Al-Khorijiyah Fi Daulah Al-Khilafah (hubungan luar negeri dalam pemerintahan Khilafah), Hal, 197.

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid