Alhamdulillah.
Para ulama’ sepakat (ijma’) bahwa barangsiapa yang berbuka waktu siang hari di Bulan Ramadhan dengan berhubungan badan, maka dia terkena kaffaroh. Dan mereka berbeda pendapat ketika berbuka dengan selain berhubungan badan yaitu dengan makan dan minum.
Imam Abu Hanifah dan Malik rahimahumullah berpendapat, dia terkana kaffaroh. Sementara Imam Syafi’I dan Ahmad rahimahumullah dia tidak terkena kaffarah. Masalah ini berkaitan dengan berbuka kemudian dia tidak berhubungan badan. Akan tetapi kalau dia berbuka kemudian dia berhubungan badan, maka madzhab jumhur (diantaranya Abu Hanifah, Malik dan Ahmad rahimahumullah) maka dia wajib terkena kaffaroh. Pendapat ini yang seharusnya dipegang dan tidak boleh memakai pendapat lain. Diantara dalil yang menunjukkan akan kebenaran pendapat ini adalah :
-
Bahwa orang yang berbuka waktu Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) baik berbuka dengan makan, minum atau yang lainnya. Maka diharuskan menahan dari makan. Kalau dia berhubungan badan, maka dia telah melakukan hubungan badan yang seharusnya dia menahan diri, maka diwajibkan baginya kaffaroh. Sebagaimana orang yang melaksanakan ihrom dalam haji kemudian hajinya rusak. Maka dia harus tetap menyelesaikan ibadah hajinya dan menahan dari larangan-larangan ihrom. Kalau dia melakukan salah satu larangan ihrom, maka dia seperti melaksanakan haji (ihrom) yang benar.
-
Sesunggunya dia telah melakukan kemaksiatan dengan berbuka, kemudian dia melakukan kemaksiatan yang kedua dengan berhubungan badan. Sehingga dia melakukan kemaksiatan dua kali. Maka dia lebih layak terkena kaffarah
-
Kalau seandainya dia tidak dikenakan kaffarah, maka bisa jadi tidak seorangpun mendapatkan hukuman kaffarah. Karena kalau seseorang ingin berhubungan badan, dia bisa makan dahulu kemudian berhubungan badan. Hal ini lebih membantu untuk melakukan apa yang diinginkannya. Bagaimana bisa orang yang berhubungan badan sebelum makan terkena kaffarah ?? sementara kalau dia dan istrinya kalau makan dahulu kemudian berhubungan badan tidak terkena kaffarah ??!!. Hal ini merupakan kebejatan dalam syariat. Dan telah menjadi ketetapan dalam akal dan agama, bahwa setiap kali dosa itu lebih besar, maka hukumannyapun lebih pedih.
Wallahu’alam
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah ( 25 / 260 – 263 ) .