Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Hukum Demokrasi, Pemilu Dan Bekerja Dalam Sistemnya

Pertanyaan

Apa hukum demokrasi dan menduduki jabatan di kursi parlemen atau menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan demokrasi? Apa hukum pemungutan suara dan memilih seseorang dengan cara demokratis.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Demokrasi merupakan system duniawi. Yaitu yang berlaku bagi rakyat adalah milik rakyat. Dengan demikian dia bertentangan dengan Islam. Karena hukum milik Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Hak menetapkan perundang-uundangan tidak diberikan kepada seorang manusiapun, siapapun dia.

Disebutkan dalam “Mausu’ah Al-Adyan Wal Mazahib Al-Mu’ashirah” (2/1066 dan 1067)

“Tidak diragukan lagi bahwa system demokrasi merupakan salah satu bentuk syirik modern dalam hal ketaatan, ketundukan dan dalam penetapan konstitusi. Karena hal itu berarti menggugurkan kekuasaan Allah Ta’ala dan haknya yang mutlak dalam menetapkan syariat dengan menjadikannya sebagai hak makhluk.

Allah Ta’ala berfirman,

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سورة يوسف: 40) 

“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." SQ. Yusuf: 40

Allah Ta’ala berfirman,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ  (سورة الأنعام: 57)

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah" SQ> Al-An’am: 57.

Uraian terperinci masalah ini terdapat dalam jawaban soal no. 98134

Kedua:

Siapa yang menyadari kedudukan dan hukum system demokrasi, kemudian dia mencalonkan dirinya atau mencalonkan orang lain dengan mengakui system ini, maka dia berada dalam bahaya besar. Karena system demokrasi menafikan Islam sebagaimana telah disebutkan.

Adapun orang yang mencalonkan dirinya atau mencalonkan orang lain dalam naungan system ini agar dapat ke dalam dewan dan mengingkari para pendukung demokrasi lalu menyampaikan argumenny di hadapan mereka, dan meminimalisir keburukan dan kerusakan semampunya, sehingga medan tidak dikuasi oleh para pendukung kerusakan dan kekufuran untuk berbuat kerusakan di muka bumi serta merusak urusan dunia dan akhirat masyarakat, ini merupakan wilayah ijtihad karena mempertimbangkan kebaikan yang diharapkan dari upaya tersebut.

Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa masuk ke dalam pemilu seperti wajib.

 “Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum pemilu. Beliau menjawab, “Saya berpendapat bahwa pemilu wajib hukumnya. Wajib bagi kita untuk menetapkan orang yang kita anggap baik. Karena jika orang-orang baik, siapa yang menempati posisi mereka? Yang akan menempati posisi mereka adalah para pengusung kemungkaran atau orang-orang yang tidak jelas yang tidak ada kebaikan atau keburukan pada mereka yang hanya mengekor saja. Maka kita harus memilih orang yang kita anggap baik.”

Jika ada yang mengatakan, “Kami telah pilih salah seorang, akan tetapi mayoritas anggota dewan bernilai sebaliknya.” Kita katakan tidak mengapa. Satu orang ini jika Allah berikan keberkahan padanya untuk menyampaikan yang hak di majelis tersebut akan memiliki pengaruh, itu pasti. Akan tetapi yang kurang pada kita adalah jujur kepada Allah. Kita sering hanya bersandar pada perkara-perkara fisik tidak memperhatikan firman Allah Ta’ala. Maka calonkanlah orang yang anda anggap baik dan bertawakkallah kepada Allah.”

(Disadur dari ‘Liqoat Al-Bab Al-Maftuh’)

Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah Lil Ifta’ ditanya, “Apakah dibolehkan memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri? Perlu diketahui bahwa negeri kami tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan?”

Jawab:

“Tidak boleh bagi seseorang untuk mencalonkan diri untuk dapat masuk dalam jajaran pemerintahan yang tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan serta mengamalkan selain syariat Islam. Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk memilihnya atau memilih orang lain dalam pemerintahan ini. Kecuali jika ada seorang muslim mencalonkan diri atau mereka yang  memilihnya bertujuan masuk ke dalamnya untuk merubah pemerintahan beramal dalam syariat Islam serta menjadikan hal tersebut sebagai sarana untuk mengatasi system pemerintahan tersebut. Dengan catatan bahwa orang yang mencalonkan diri tersebut apabila benar-benar telah masuk tidak menjabat jabatan yang yang bertentangan dengan syariat Islam.”

(Syekh Abdulaziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abdullah Ghudayyan, Syekh Abdullah bin Qu’ud – Fatawa Lajnah Daimah, 23/406-407)

Mereka juga ditanya, “Sebagaimana anda ketahui bahwa di Negara kami, Aljazair, terdapat apa yang dikenal sebagai pemilihan anggota parlemen. Ada partai-partai yang menyeru kepada hukum Islam. Adapula partai yang menolak hukum Islam. Apa hukumnya orang yang memilih orang yang menolak hukum Islam, padahal dia shalat?

Mereka menjawab, “Bagi seorang muslim yang tinggal di Negara yang tidak melaksanakan syariat Islam untuk berusaha sekuat tenaga dan semampu mereka untuk berhukum kepada syariat Islam. Dan bekerjasam tolong menolong untuk membantu partai yang diketahui bahwa dia akan menerapkan syariat Islam. Adapun membantu orang yang menyerukan untuk tidak berhukum kepada syariat Islam, maka hal itu tidak boleh. Bahkan dapat mengakibatkan kekufuran pada pelakunya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala, 

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (سورة المائدة: 49-50) 

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” SQ. Al-Maidah: 49-50.

Karena itu, ketika Allah menjelaskan kekufuran orang yang tidak berhukum kepada syariat Allah, Dia memperingatkan agar kaum muslimin jangan membantu mereka dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Lalu Dia perintahkan agar orang-orang beriman bertakwa apabila mereka benar-benar beriman.

Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (سورة المائدة :57) .

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil Jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu Jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” SQ. Al-Maidah: 57.

Wabillahittaufiq wa shallallahu alaa nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shahbihih wa sallam.

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Syekh Abdulaziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdurrazaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudayan.

(Fatawa Lajnah Daimah, 1/373).

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam