Alhamdulillah.
Pertama,
Terlambat bertanya tentang hukum agama dalam masa (selama) itu termasuk kelalaian yang jelas. Selayaknya suami anda bertanya setelah terkena musibah patukan (ular). Apalagi seperti yang anda sebutkan hal itu sebari sebelum Ramadan. Maka suami anda harus bertaubat kepada Allah Ta’ala dari keterlambatan ini. Dan menyesal serta bertekad kuat tidak mengulangi lagi. Kami memohon kepada Allah agar menerima taubatnya.
Kedua,
Sakit termasuk uzur yang diperbolehkan untuk berbuka (puasa) di bulan Ramadan sebagaimana secara nash ada dalam Al-Qur’an dan ijma’ ahli ilmu.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Para ulama telah sepakat dibolehkannya berbuka bagi orang sakit secara global. Dalil hal itu adalah firman Allah Ta’la, ‘Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
Sakit yanag dibolehkan berbuka adalah sakit keras, kalau berpuasa akan bertambah sakit atau takut terlambat kesembuhannya."
Barangsiapa yang berbuka disebabkan sakit, maka dilihat masalahnya. Kalau sekiranya sakitnya tidak dapat diharapkan kesembuhan, maka diharuskan membayar fidayah. Yaitu memberi makanan kepada satu orang miskin untuk sehari yang dia berbuka.
Kemudian para ulama berbeda pendapat kalau sekirnya dia miskin lagi kesulitan, apakah diharuskan (membayar fidyah) ketika lapang atau gugur fidayhnya?
Jika sakitnya diharapkan dapat sembuh dan diobati, maka ditunggu sampai sempurna kesembuhannya. Kemudian mengqadha hari-hari yang dia berbuka. Dan tidak perlu membayar fidyah. Tidak diperkenankan baginya pindah ke fidayah dari qadha puasa.
An-Nawawi rahimahullah dalam Majmu, 6/261-262 berkata, "Orang sakit yang lemah tidak dapat berpuasa karena penyakit yang diharapkan kesembuhannya. Maka dia tidak diharuskan berpuasa sekarang, tapi diharuskan mengqadanya (di lain waktu). Hal ini kalau berpuasa berakibat kepayahan yang nampak.’ Selesai.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni, 3/82 berkata, "Orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, dia berbuka dan memberi makan untuk sehari satu orang miskin. Hal ini dipahami kalau tidak memungkinkan mengqadanya. Kalau memungkinkan untuk mengqadhanya, maka tidak perlu fidyah. Yang diwajibkan adalah menunggu untuk dapat mengqadanya jika hal itu mampu dia lakukan, berdasarkan firman Allah Ta’ala, ‘‘Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184). Kembali ke fidyah hanya apabila tidak mampu melakukan qadha."
Yang nampak bagi kami –wallahu’alam- apa yang menimpa suami anda tampaknya sakit yang tiba-tiba dan masih dapat diharapkan kesembuhannya. Dan Allah telah menyembuhkannya. Maka dia harus mengqadanya hari-hari yang dia berbuka yang disebabkan penyakit tersebut. Dan tidak cukup hanya memberi makanan kepada orang miskin sebanyak hari-hari yang dia berbuka. Akan tetapi kalau sekiranya memberi makanan disertai qadha, maka hal itu termasuk suatu kehati-hatian, apalagi seperti yang anda sebutkan kondisinya telah lapang alhamdulilah. Silahkan lihat soal jawab, 26865
Wallahu’alam.