Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Bagaimana Seorang Muslim Meniatkan Semua Kehidupannya Hanya Untuk Allah

Pertanyaan

Saya mempunyai kesulitan dalam memahami masalah, bahwa wajib bagi kita untuk melakukan segala sesuatu karena Allah dan hanya karena-Nya semata, contoh; jika saya ingin mengurangi berat tubuh saya atau hal lainnya. Jika saya melakukannya agar saya terlihat lebih tampan, apakah niat ini salah ?, dan jika salah, maka bagaimanakah niat yang benar yang seharusnya jika saya ingin melakukan suatu hal ?, ketika orang berkata sebaiknya anda menikah karena Allah semata, dan melakukan perbuatan lainnya juga karena Allah semata, maka bagaimanakah penerapannya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Seorang muslim adalah orang yang berserah diri kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- yang terikat dengan syari’at-Nya, perintah dan larangan-Nya, yang menyembah Allah –‘azza wa jalla- karena Dia adalah Rabbnya, Penciptanya, dan Yang berhak disembah. Beriman dengan keagungan-Nya, Ke-Maha Berdiri sendirian-Nya dan Ke Maha Esaan-Nya, Menguasai hati dan jiwanya. Cintanya kepada Rabbnya menjadikannya sebagai tujuan hidup dan tujuan kembalinya. Ia juga mengharap agar Allah menerimanya termasuk hamba-hamba-Nya yang sholih.

Allah –Ta’ala- berfirman:

قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

الأنعام/161-163.

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Al An’am: 161-163)

Barang siapa yang merasakan getaran iman tersebut maka ia akan berusaha untuk menghadirkan niat bertaqarrub karena Allah –ta’ala- pada semua kehidupannya, jika ia tidur maka ia akan menganggap tidurnya karena Allah, agar bisa membantu rehat tubuhnya untuk beribadah setelah bangun dari tidurnya. Dan jika ia makan dan minum ia berniat agar mampu menunaikan hak-hak Allah, dan jika ia menikah berniat untuk menjaga kesucian dirinya dan menyibukkan dirinya dengan yang halal dari pada yang haram, dan jika ia meminta diberi karunia anak, ia ingin anak yang sholeh/sholehah yang akan memakmurkan bumi dengan manhaj Allah, jika ia berucap ia berucap kebaikan, dan jika diam maka diam menahan tidak berbuat keburukan, mengharap dari nafkah kepada diri dan keluarganya berbuah pahala juga, jika ia belajar, membaca, ia juga mengharap pahala, dan demikianlah yang menjadi niat dari semua kehidupannya.

Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang mubah kecuali sesuatu yang akan membantunya dalam ketaatan, menjadikannya sarana dalam ketaatan”. (Majmu’ Fatawa: 10/460-461)

Berikut ini penjelasan ringkas tentang bagaimana seorang muslim berniat dalam kehidupan dan semua perilakunya karena Allah, kami bisa simpulkan dalam dua hal:

  1. Beriltizam (berkomitmen) dengan amalan yang sesuai dengan syari’at, tidak meninggalkan kewajiban dan tidak terjerumus kepada yang dilarang.
  2. Melihat di dalam hatinya bagaimana mungkin untuk menyampaikannya kepada perbuatan ini –meskipun pada dasarnya adalah dalam masalah duniawi- menuju pahala dan dekat dengan Allah.

Mungkin juga mempraktekkan hal itu dengan apa yang tertera di dalam pertanyaan anda, tentang mengurangi berat badan, barang siapa yang dengan upayanya untuk mengurangi berat badan demi menjaga kesehatan agar bisa melaksanakan kewajibannya dan hak-hak Allah yang harus dia kerjakan sesempurna mungkin, atau mengurangi berat badan karena ingin terlihat keren di depan istrinya agar tercipta kebahagiaan dan cinta di antara keduanya, atau ia ngin terlihat keren di depan orang lain agar mudah bisa diterima di tengah-tengah mereka sehingga mudah berinteraksi dengan mereka, tujuan seperti itu adalah adalah tujuan yang baik berpahala in sya Allah Ta’ala.

Sebagaimana perbuatan mubah ini, jika diniatkan oleh pelakunya untuk menyerupai sebagian orang kafir atau agar terlihat keren dan menarik bagi para cewek, atau karena tujuan kotor lainnya, maka hal ini akan mendatangkan dosa dan sanksi.

Demikian pula pada semua perkara yang mubah, pelakunya tidak akan mendapatkan pahala kecuali jika ia mengharap untuk mendapatkan tujuan kebaikan, keutamaan dan pahala. Ibnu Al Hajj –rahimahullah- berkata:

“Perkara mubah itu dengan niat akan berpindah menjadi perkara yang dianjurkan (sunnah)”. (Al Madkhal: 1/21)

Ibnul Qayyim telah menyebutkan bahwa orang-orang khusus yang dekat (dengan Allah) adalah mereka yang merubah dengan niatan dimana perkara-perkara mubah pada diri mereka menjadi ketaatan dan taqarrub. Perkara mubah pada dua sisi tidak sama pada mereka. Akan tetapi perbuatan mereka yang lebih menguatkan (diantara dua sisi tersebut)”. (Madarikus Salikin: 1/107)

Telah diriwayatkan dengan riwayat yang shahih dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahawa beliau bersabda kepada Sa’d bin Abi Waqqas –radhiyallahu ‘anhu-:

  إنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله إلا أجرت عليها حتى ما تجعل في فيِّ امرأتك

رواه البخاري (56) ، ومسلم  1628 

“Sungguh kamu tidak lah memberikan nafkah dengan mengharap ridho Allah, kecuali akan diberi pahala karenanya, termasuk (nafkah) yang diberikan kepada mulut istrimu”. (HR. Bukhori: 56 dan Muslim: 1628)

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata memberi catatan pada hadits di atas sebagai berikut:

“Perkara yang mubah jika diniatkan karena Allah maka akan berubah menjadi sebuah ketaatan yang berpahala, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memperingatkan masalah ini dengan sabdanya:

  حتى اللقمة تجعلها في في امرأتك  

“Termasuk suapan (makanan) kepada mulut istrimu”.

Karena istri seseorang itu termasuk keperluan duniawi yang paling khusus, syahwat dan kenikmatan yang mubah, jika memberikan sesuap (makanan) ke dalam mulutnya maka biasanya dilakukan pada saat bercanda, bercumbu, kenikmatan yang mubah. Kondisi ini jauh dari ketaatan dan urusan akhirat, namun bersamaan dengan itu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyampaikan bahwa jika sesuap (makanan) tersebut ditujukan karena Allah maka ia akan mendapatkan pahala dengan hal itu, maka selain dari kondisi seperti itu lebih berpeluang untuk mendapatkan pahala jika ia berniat karena Allah.

Mencakup hal ini juga jika seseorang telah mengerjakan sesuatu yang hukum asalnya mubah namun ia berniat karena Allah maka ia akan tetap diberikan pahala, seperti; makan dengan niat untuk memperkuat taat kepada Allah, tidur untuk beristirahat agar nantinya bisa giat beribadah, bersenang-senang dengan istri dan budak wanita (yang telah dinikahinya) untuk menjaga diri dan pandangannya dari yang haram, juga untuk menunaikan hak mereka berdua, agar menjadi (sarana)  mendapatkan anak yang sholih, inilah makna sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

  وفي بُضعِ أحدِكم صدقة

شرح مسلم   11/77 

“Dan di dalam kemaluan salah seorang dari kalian ada shedekah”. (Syarah Muslim: 11/77)

As Suyuthi –rahimahullah- berkata:

“Di antara yang menjadi dalil terbaik bahwa seorang hamba akan mendapatkan pahala dengan niat yang baik dalam perkara mubah dan kebiasaan tertentu adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

  ولكل امرئ ما نوى  

“Dan setiap orang sesuai dengan apa yang telah ia niatkan”.

Niat ini akan diberikan pahala kepada pelakunya jika ia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, jika ia tidak berniat demikian maka tidak ada pahala baginya”. (Syarah Suyuthi ‘ala Nasa’i: 1/19)

Penukilan dari para ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali.

Baca juga jawaban soal: 69960

Akan tetapi sebaiknya saudaraku penanya hendaknya anda tahu bahwa apa yang telah kami sebutkan kepada anda dengan niat bertaqarrub kepada Allah –ta’ala- dari semua perbuatan mubah; tidak masuk dalam kategori wajib dan harus. Jika sebuah kewajiban dan keharusan, tidak akan berubah menjadi mubah akan tetapi menjadi wajib yang seseorang akan berdosa jika ia meninggalkannya.

Sementara kalau tidak berniat apa-apa kecuali karena keinginan pribadinya, melampiaskan syahwat atau kebutuhannya atau menikmati yang mubah; maka dalam hal ini tidak masalah dengan apa yang dikerjakannya, selama ia mengetahui bahwa masalah ini termasuk yang diberi keringanan di dalam syari’at dan diizinkan olehnya. Akan tetapi tidak mendapatkan pahala hanya dengan melakukannya, sebagaimana tidak ada dosa hanya dengan melakukannya saja.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam